NALLAN

De adanysalsha

20.5M 1.9M 1M

"Tinggal di rumah Alan adalah kesialan se-umur hidup." -Nalla Azzura. //Jangan lupa follow sebelum baca ya🙆... Mai multe

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
53
54
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
INFO GRUP CHAT
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88.
INFO PENTING!

52

213K 19.9K 11.7K
De adanysalsha

Alan itu lebih suka pembuktian,
dari pada hanya berkoar mengucap janji.




_________



"Gue udah tanggung jawab kan? Dan lo kapan penuhi tugas lo sebagai istri, buat gue seneng misalnya."

Ucapan Alan seketika membuat langkah kaki Nalla terhenti.

Nalla mendadak beku di tempat.

Senyap melanda keduanya hingga pada akhirnya Nalla berlari ke atas menuju kamar, menutup pintu dengan keras hingga terdengar oleh Alan.

Cowok itu hanya menahan senyumnya lalu menggeleng-gelengkan kepala, ia tahu Nalla salah tingkah, namun detik berikutnya Alan terdiam. Apa barusan ia mengajak Nalla melakukan hubungan suami istri?

Alan langsung menarik rambutnya, mengapa mulutnya sangat mudah mengatakan hal semacam itu. Pasti Nalla merasa tidak nyaman.

Ting..tong..

Siapa yang bertamu se-sore ini. Padahal beberapa menit lagi matahari akan terbenam.

Alan berjalan ke arah pintu dan segera membukanya. Ia menahan kaget, karena Bryan berdiri di depan pintu sambil membawa sebuah kantong plastik besar.

Pria itu tersenyum ramah kepada Alan. "Nalla ada?" Tanya Bryan langsung.

Alan tersenyum, "masuk Om, Nalla ada di kamarnya." Ucap Alan dengan sopan sambil mempersilahkan Bryan masuk.

Bryan tertawa. Lalu berjalan masuk ke dalam Apartemen sambil menepuk pundak Alan beberapa kali. "Kamu ini, sudah jadi menantu kenapa manggil Om? Aduh, Alan." Ucap Bryan sambil tertawa beberapa kali.

Alan lupa.

"Oh, i-iya, Pa." Jawabnya agak segan dan ini terasa sangat aneh.

"Ya sudah, bisa panggilkan Nalla kesini? Ada yang mau Papa bicarakan." Ucap Bryan.

Alan mengangguk lalu berjalan menuju lantai atas. Tepat di depan pintu kamarnya, ia segera membuka pintu dan melihat Nalla sedang bermain ponselnya di atas ranjang.

"Bokap nyariin." Ucap Alan pelan.

Seketika Nalla langsung kaget mendapati Alan berdiri di ambang pintu. "Lo bisa gak sih di ketok pintu dulu? Gue kaget." Protes Nalla kesal.

"Cepetan."

Nalla menatap Alan bingung, "apaansih?"

Alan memejamkan matanya sebentar, extra sabar menghadapi sang istri. "Bokap."

Apasih, bokap-bokap.

Nalla berdecak kesal, ia kembali bermain ponselnya tak menanggapi Alan. Cowok itu membuatnya kesal sekaligus takut bila menatap matanya.

"Bokap lo nyariin sayang." Mendengar itu Nalla berhenti bermain ponselnya. Matanya kembali menatap Alan yang masih setia di ambang pintu.

"Bo-bokap gue?" Tunjuk Nalla pada dirinya.

Alan mengangguk.

Nalla langsung berdiri, mengikat rambutnya sembarang dan berlari kecil ke arah Alan. "Kok dia bisa disini sih? Kangen ya sama gue? Atau dia sama Chelin? Gak ah, gak mau turun." Ucap Nalla.

"Dia sendiri."

"Gue-" Nalla menarik napas kesal. "Malas ah gue turun."

Tanpa banyak bicara Alan menarik tangan Nalla menuju lantai bawah. Membuat Nalla menahan kekesalannya dan menuruti Alan.

Setelah sampai di lantai utama, bisa Nalla lihat Bryan sedang menatapnya sambil tersenyum.

Nalla dan Alan duduk bersampingan tepat di hadapan Bryan.

"Sayang, gimana kab-" baru saja Bryan ingin mengambil tangan Nalla, Nalla langsung mengelaknya.

"Baik, ada apa Papa kesini?" Cetus Nalla.

"Papa mau minta maaf atas apa yang sudah Chelin lakuin ke kamu, Papa kira kalian berteman baik, tapi-"

"Aku gak mau temenan sama dia." Ujar Nalla.

Bryan mengangguk paham. Lalu ia kembali menatap Nalla dalam. "Sayang, selain dia ngelakuin kemarin malam ke kamu, apa dia ada mengancam kamu selain itu?" Tanya Bryan.

Nalla terdiam.

Lalu detik berikutnya Nalla mendengus. "Cuma itu aja kok." Bohongnya.

Alan menatap Nalla curiga, sepertinya Nalla menyembunyikan sesuatu darinya dan sang Papa.

Bryan kembali mengangguk. "Sayang, sekali lagi maafkan Papa ya, Papa salah mendidik Chelin menjadi anak seperti itu, dia-"

"Papa ngedidik aku gimana?" Tanya Nalla sambil menahan sesuatu dari matanya.

Bryan terdiam.

"Apa Papa pernah datengin orang yang aku buat jahat sama halnya seperti Chelin? Itu artinya Papa peduli sama Chelin. Dari dulu kalo aku berantem di sekolah, Papa gak pernah dateng ataupun-"

"Nalla, itu-"

"Papa kayaknya lebih perhatian sama Chelin." Ucap Nalla menatap sang Papa dengan tatapan yang tak dapat di artikan.

"Papa sayang kalian berdua." Ucap Bryan sambil menatap lekat ke arah putrinya.

"Chelin atau aku?"

"Udah Papa bilang, Papa sayang ka-"

"CHELIN ATAU AKU?"

"Nalla, kamu sudah besar sayang. Kamu harusnya mengerti kondisi kita yang sekarang, Papa juga punya anak tiri, dan kamu anak kandung Papa satu-satunya-"

"Jangan lupain kak Angkasa, Pa."

Bryan terdiam.

"Ralat, lupain aja, Pa. Udah masalalu kan? Sekarang cuma ada aku anak kandung Papa satu-satunya, harusnya Papa lebih kasih perhatian ke aku. Oke, Papa punya anak tiri, aku juga butuh kasih sayang dari Papa, perhatian, Pa." Ucap Nalla dengan gemetar.

"Kasih Papa waktu untuk ngejelasin, Papa-"

"Tinggal jawab aja Pa, Papa lebih sayang aku atau Chelin, gitu doang susah banget ya?" Tanya Nalla yang mulai terisak.

Bryan terdiam, lalu menggeleng. "Papa sayang kalian berdua." Lagi, Nalla tertawa hambar menatap nanar ke arah sang Papa di hadapannya.

Tiba-tiba alunan nada dering dari ponsel Bryan berbunyi, dengan cepat Bryan mengangkatnya.

"Halo, sayang?"

Nalla mengepalkan tangannya mendengar itu.

"Pa, pulang dong. anterin Chelin ke Mall, mobil Chelin soalnya bocor ni."

Nalla dapat mendengarnya, suara itu memanaskan area kedua telingannya.

Bryan hati-hati menatap Nalla, "I-iya, Papa pulang sekarang ya." Jawab Bryan.

Entahlah, Nalla selalu mendapat nasib buruk.

Detik berikutnya Bryan mematikan ponselnya, lalu mengambil kantong plastik besar tadi dan menyerahkan di hadapan Nalla. "Sayang, ini kado permintaan maaf Papa, jangan sungkan lapor ke Papa lagi kalo Chelin macam-macam sama kamu."

Nalla tak memandang kantong plastik itu maupun Bryan.

"Papa, pulang dulu ya sayang." Ucap Bryan menatap sang putrinya. Lalu ia beralih menatap Alan. "Alan, kamu harus jaga Nalla ya, jangan pernah sakiti dia." Pesan Bryan kepada Alan.

"Baik, Pa." jawab Alan.

Bryan beranjak dari tempatnya, menatap Nalla yang sama sekali tak menatapnya. "Alan, Nalla, Papa pulang dulu ya." Ucap Bryan berpamitan.

Alan mengangguk, kemudian ikut berdiri. "Hati-hati Pa." Ucap Alan.

Setelah Bryan benar-benar menghilang dari pandangan Nalla, Nalla berdiri mengambil kantong plastik besar yang ada dihadapannya lalu membukanya dengan kasar.

Isi di dalamnya adalah sepatu bermerek dan tas selempang, Nalla dapat melihat kedua benda ini sepertinya sangat mahal. Ya, kasih sayang tidak dapat dibeli dengan barang mahal seperti ini.

Nalla melemparnya ke lantai sambil menangis, dengan cepat Alan memegang kedua bahu Nalla. "Nal, udah." Ucap Alan menenangkan Nalla yang kini mencoba melepaskan tangan Alan yang bertengger di bahunya.

"Gue gak bisa terima Lan, gue gak bisa terima Chelin lakuin ini ke gue. Gue gak bisa bokap lebih sayang ke dia, gue-gue gak pernah di perhatiin segitunya seperti bokap gue perhatian sama Chelin." Ucap Nalla sambil terus menangis dan terisak.

Dengan cepat Alan memeluknya erat. "Udah, tenangin diri lo."

Nalla terus menangis dipelukan Alan, "gue takut semua orang akan ninggalin gue pada akhirnya, Lan."

"Gue janji gak akan ninggalin lo." Ucap Alan.

"Bokap gue dulu pernah ngomong gitu, tapi apa sekarang?" Ucapan Nalla membuat Alan terdiam beberapa saat.

"Gue takut, lo-lo pasti bakalan jumpa orang yang lebih dari gue. Alan, gue jujur, gue gak bisa hidup sendiri, Mama gue udah sibuk sama bisnisnya, gue gak punya siapapun se-selain lo." Ucap Nalla sambil terus menangis tak berhenti, ia terisak-isak sambil mengeratkan pelukannya di tubuh Alan.

"Gue gak pernah mainin janji." Ujar Alan yang membuat tangisan Nalla mereda.

Alan melepaskan pelukan mereka, lalu menatap Nalla sangat lama.

"Gue pegang janji lo, gue yakin lo beda dari bokap gue," ucap Nalla yang kemudian terdiam sejenak, lalu ia menyeka airmatanya kembali. "Ja-jangan ada ka-kata cerai seperti yang bokap lakuin ke nyokap gue, Lan." Ucap Nalla memelankan suaranya, ia kelihatan gugup mengatakan hal itu apalagi kini Alan menatapnya lekat.

Alan kembali memeluk Nalla dengan erat. "Gue gak bisa janji." Ucap Alan yang membuat Nalla tiba-tiba kaget dan melepas pelukan dari Alan.

"Ha? Maksud lo?"

Alan menatap mata Nalla dengan lekat, lalu kepala Alan maju mendekat ke arah telinga Nalla dan berbisik. "Gue gak bisa janji, tapi gue akan buktiin kalo gue gak bakal ninggalin lo." Leher Nalla merinding ketika napas Alan terasa disana dan juga suara bisikan itu seolah membawa Nalla kedunia berbeda.

Ia terasa ingin terbang, kata-kata Alan tidak sama dengan apa yang cowok lain katakan pada perempuannya. Alan berbeda dari yang lain, apalagi Alan memiliki daya tarik sendiri bagaimana Nalla bisa terjerumus kedalamnya.

Lihatlah sekarang, Nalla ditarik perlahan oleh Alan dan membawanya menuju sofa. Nalla tidak menolak, mata mereka masih saling menatap, Nalla serasa seperti sedang dihipnotis.

Alan mendorong perlahan tubuh Nalla hingga cewek itu terbaring diatas Sofa.

Entah apa yang menghasut keduanya, tangan Alan bergerak membuka kancing baju miliknya perlahan.

Hingga tiba-tiba Nalla memejamkan matanya, menahan malu. Bukan apa-apa, pasalnya baru saja perut Nalla berbunyi, membuat Alan memejamkan matanya kesal, lalu menatap Nalla dengan sebelah alisnya terangkat.

"Gu-gue laper." Ucap Nalla dengan polosnya.


_____________




Pukul 19.15 WIB, Alan mengajak Nalla ke luar untuk mencari makanan. Anggap saja mereka sedang melakukan dinner sebagai pasangan suami istri untuk pertama kalinya.

Namun, baru saja Alan dan Nalla membuka pintu Apartemen, seorang wanita tersenyum manis di hadapan mereka. "Hayo, mau kemana nih kalian? Cie." Ejek Misha sembari memegang dagu Nalla yang menggemaskan.

"Nyari makan, di sini gak ada apa-apa." Jawab Alan.

Misha menatap keduanya kaget, "jadi Nalla belum pandai masak ya? Aduh," ucap Misha sambil memijit pelipisnya.

Nalla meringis. Ia sebenarnya mau saja belajar memasak atau mengikuti kursus memasak, tapi ia malas. Baginya melakukan itu adalah buang-buang waktu saja, toh Alan kan juga banyak uang, ia bisa membeli makanan saji di luar sana.

"Kalian batalin janji makan di luar ya, ayo Nalla ikut Bunda." Ucap Misha yang langsung menarik tangan Nalla menuju ke dalam Apartemen, lebih tepatnya ke arah dapur.

Alan menghela napas, dan menutup pintu kembali. Lalu berjalan mengikuti Mamanya dan Nalla.

"Nalla, kamu itu udah punya suami, masa sih makannya di luar mulu, makanan cepat saji itu gak baik untuk kesehatan, jangan sering-sering loh." Nasihat Misha sembari mengambil sayur-sayuran di kulkas.

Nalla mengangguk paham.

"Bunda ajarin masak sekarang ya, Nalla mau masak apa?" Tanya Bunda yang kini berjalan ke arah meja dan meletakan beberapa sayuran dan semangkuk daging mentah.

Nalla gagu, Ia tiba-tiba saja blank. Memasak? Yakali dia pandai, ia takut masakannya akan terasa hambar atau kelebihan bumbu. Yang ada Alan malah mengejeknya nanti.

"Nalla, ngapain menung? Bingung mau masak apa?" Tanya Misha.

Nalla mengangguk.

"Yaudah, tanya sama suami kamu, dia mau dimasakin apa?"

Nalla mengerjabkan matanya. Huh, ribet sekali jika harus menjadi istri. Apa harus menanyakannya pada Alan?

Nalla tersentak kaget saat membalikan tubuhnya, Alan yang sudah duduk di kursi dengan santainya. Alan menatap Nalla sambil tersenyum miring. "Sup daging." Ujar Alan dengan mengedipkan sebelah matanya.

Menggoda Nalla merupakan hobi terbarunya.

Tentu saja Nalla menggeram, ingin sekali Nalla mengatakan "gak mau, lo masak aja sendiri noh, lo pikir gue babu lo!" Namun Nalla urungkan untuk tidak mengatakan itu. Bisa gawat jika Misha mendengarnya.

"Yaudah, Alan minta sup. Ayo sini deket Bunda." Ujar Misha sembari mulai memotong sayur-sayuran. "Kamu potong dagingnya ya, di cuci dulu." Perintah Misha kepada Nalla.

Nalla mengangguk dan mulai melakukan tugasnya.

Lain halnya dengan Alan, ia melipat kedua tangannya di depan dada dengan santai sambil menatap Nalla tanpa berhenti tersenyum.

Se-enak inikah memiliki istri?

_______________




Nalla merasa bangga pada dirinya, ia bisa mengerjakan tugasnya dengan baik. Ia bahkan terus menatap Alan dengan puas, memberi kode bahwa ia bisa memasak.

"Besok kalau Bunda ada waktu, Bunda bakal ajarin kamu lagi." Ucap Bunda yang kini menyajikan makanan di atas meja.

Nalla hanya mengangguk.

Sementara Alan kini mengambil piringnya, ia tidak sabar merasakan masakan sang Istri. Begitupun Nalla ia juga tidak sabar merasakan masakannya sendiri.

"Gimana masalah kalian berdua? Udah selesai kan?" Tanya Misha sembari mengambil sup daging.

"Udah, Bunda." Ucap Nalla sambil menatap ke arah Alan.

Alan tidak menjawab, ia mengambil sup dan meletakan kepiringnya.

"Bagus, lain kali kalo ada masalah harus cerita atuh ke suaminya, gak boleh di sembunyiin." Nasihat Bunda diangguki oleh Nalla lagi.

Alan mulai memakan sup itu. "Enak."

Nalla menghela napas leganya, untuk saja Alan tidak mengejek masakannya.

"Tapi sayang," ucap Alan menjeda ucapannya. "Dibantuin Mama gue." Lanjut Alan sembari menatap ke Nalla dengan tatapan mengejek.

Nalla mengepalkan tangannya.

"Alan, diakan baru belajar masak. Ya kamu jangan bikin mood nya hilang gitu dong, support dia biar bisa masakin untuk kamu setiap hari." Sergah Misha.

Alan hanya berdehem dan melanjutkan makannya kembali.

"Eh, udah hampir jam setengah sembilan aja, Bunda harus pulang dulu, suami nungguin ni, biasalah." Ucap Misha menahan tawanya.

Alan berhenti makan. Lalu menatap Mamanya yang tengah buru-buru memasukan ponsel ke dalam tasnya. "Ngapain Papa? Oh, Alan tau, pasti-"

Dengan cepat Nalla memijak kaki Alan di bawah meja, Alan langsung meringis.

"Udah deh Alan jangan mulai. Oh iya, besok kamu jangan sekolah dulu ya, Papa minta bantuan di kantor untuk meeting yang tertunda kemarin." Pesan Misha sembari berjalan mendekati Nalla, lalu mengelus kepala Nalla dengan lembut.

"Bunda pulang dulu, Ya sayang." Ujar Misha kepada keduanya.

"Bunda mau di anterin ke depan?" Tanya Nalla.

Misha menggeleng. "Gak usah, kalian lanjut aja makannya. Ingat ya Alan, jangan buat Nalla nangis lagi." Ucap Misha.

Alan hanya berdeham kembali.

"Hati-hati Bunda."

"Hati-hati, Ma."

"Iya." Ucap Misha sambil tersenyum dan bergegas meninggalkan keduanya.

Tinggalah Alan dan Nalla yang berada di meja makan. Cukup lama mereka saling diam, hingga akhirnya Alan membuka percakapan.

"Gimana?" Tanya Alan yang tampak hampir selesai makan.

Nalla menyipitkan matanya. "Gimana? Gimana apanya?" Tanya Nalla kesal.

Alan menggeleng dan hanya menghembuskan napasnya. Istrinya benar-benar tidak peka.

"Gaje banget sih lo!"

Setelah Nalla mengatakan itu, keduanya kembali diam hingga acara makan malam mereka berakhir, namun Alan masih setia di tempatnya sambil memakan buah. Berbeda dengan Nalla yang kini berdiri untuk mencuci piring.

Ia mengambil satu persatu piring dan mencucinya. Jujur saja, Nalla sebenarnya gengsi bila harus mencuci piring di hadapan Alan. Tapi ia menepis kuat gengsi, toh ini pasti akan terjadi disetiap harinya.

Saat Nalla sedang mencuci, ia melihat ke arah Alan yang tak beranjak dari meja makan sedikitpun, Nalla menjadi risih Alan ada disini.

"Alan, lo bisa ke kamar gak? Please, ja-jangan nontonin gue lagi cuci piring." Ucap Nalla sambil meringis malu, ia tidak suka berbuat baik seperti ini menjadi tontonan.

Alan memengerutkan dahinya, kemudian ia melihat gelas yang masih berada di dekatnya. Sebuah ide jailnya muncul. "Oh, iya. Ni satu lagi ketinggalan." Ucap Alan sambil mendekat kearah Nalla.

Lihatlah, raut wajah Nalla tidak sedang baik-baik saja.

Nalla tidak menatap Alan, ia masih setia mencuci piring, lalu tangannya mengadah kebelakang, meminta gelas kosong tadi kepada Alan. "Mana gelasnya?" Tanya Nalla, namun enggan membalikan tubuhnya.

Alan memberikan gelas itu ketangan Nalla lalu detik berikutnya ia memeluk Nalla dari belakang, membuat Nalla merasakan tubuhnya lagi dan lagi seperti terkena sebuah setruman. Kali ini setruman ini sangat kuat, membuat tubuhnya membeku seketika.

Tangan Alan melingkar di pinggang Nalla, setelah itu Alan kembali menyadarkan Nalla dengan suaranya. "Nalla, liat gue." Nalla yang tadi terdiam kaku, kini ia membelokkan kepalanya ke kiri, melihat ke Alan.

Cup!

Untuk yang kesekian kalinya, Nalla merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.

Alan benar-benar tidak bermain dengan ucapannya. ia sudah terhanyut dalam candunya bibir Nalla.

____________



Pagi ini Nalla pergi ke sekolah sendiri di antar oleh sopir pribadi Papa Alan. Ya, Alan sudah menyuruh sopir tersebut untuk datang ke Apartemen mereka pagi tadi karena Alan harus pergi ke kantor untuk mengurus meetingnya yang tertunda kemarin.

Nalla menjadi blushing mengingat hal itu, betapa romantisnya Alan memanggilkan supir untuknya.

Dengan cepat, Nalla langsung menggeleng. "Apaansih gue, alay banget." Ucapnya bergidik ngeri.

"Udah sampai atuh neng." Ucap sang Sopir yang melihat Nalla sedari tadi melamun.

"Eh," Nalla terperanjat kaget, lalu ia segera keluar dari mobil dan mengucapkan terimakasih kepada Pak sopir.

Ia berjalan menuju gerbang sekolah, lain rasanya jika tidak pergi bersama Alan. Entahlah, yang pasti ada rasa tidak nyaman, maybe.

Tiba-tiba ia berpikir untuk mengangumi Alan, suaminya sendiri. Jujur ia bangga mempunyai suami seperti Alan, cowok itu bahkan tidak mengenal lelah dengan bermacam-macam tugas yang ia terima, menjadi Ceo muda di kantor Papanya juga bukanlah hal yang mudah. Apalagi Osis, Nalla berharap akan ada pengganti Osis secepatnya agar Alan bebas dari Organisasi tersebut.

Baru saja Nalla berjalan ke koridor, tiba-tiba tangannya di tarik paksa oleh seseorang. Dengan cepat Nalla menyentaknya namun gagal, kekuatan orang ini tidak biasa.

"Lo apa-apaan sih!" Gertak Nalla setelah melihat siapa yang menarik tangannya.

"Diam aja, ikut gue bentar." Ucap Gibran sambil terus membawa Nalla ke parkiran.

Nalla benar-benar heran, mengapa ia selalu di kelilingi orang-orang jahat.

Setelah sampai di parkiran, tepatnya di sebelah motor ninja berwarna hitam, Gibran menyerahkan satu helm kepada Nalla, sepertinya helm itu sudah disiapkan untuk Nalla.

Nalla tak kunjung mengambil helm itu, ia masih bingung apa mau Gibran saat ini.

Dengan kesal, Gibran langsung memakaikannya ke kepala Nalla setelah itu ia juga langsung memakai helmnya.

Gibran menaiki motor, lalu menghidupkannya.

Namun, Nalla masih diam di tempat, membuat Gibran mengeraskan rahangnya, emosinya menaik. "LO BISA NAIK GAK? LO JANJI KAN SAMA KAKAK GUE BAKAL NEPATIN JANJINYA?" Ucap Gibran dengan keras dan membentak.

Nalla benar-benar kaget.

Lihatlah, semua orang yang baru saja memarkirkan kendaraan mereka langsung melihat ke arah keduanya.

"CEPAT, NAL. KAKAK GUE KRITIS DI RUMAH SAKIT, JANGAN SALAHIN GUE KALO GUE BAKAL KASAR SAMA LO!"

____________

HARGAI TULISAN AURHOR YA☺️
CARANYA CUMA VOTE & COMMENT

CAST PEMAIN AKAN DI UPLOAD DI INSTAGRAM YA, YUK FOLLOW IG :

-@Nallan_Story
-@Adany.Salshaa

DAPAT SALAM DARI ALAN ADRIAN❤️





Continuă lectura

O să-ți placă și

18.9M 1.3M 80
𝐒𝐔𝐃𝐀𝐇 𝐓𝐄𝐑𝐁𝐈𝐓 PART LENGKAP!!! 🚫𝐊𝐀𝐋𝐀𝐔 𝐌𝐀𝐔 𝐇𝐄𝐁𝐀𝐓, 𝐉𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐉𝐀𝐃𝐈 𝐏𝐋𝐀𝐆𝐈𝐀𝐓🚫 AWAS BAPER!! Kolaborasi humoris dan ro...
19.9K 2.1K 16
Dalam Genre Festival terakhir 2018 kali ini, adalah saat yang tepat untuk menangis, dekatkan kotak tisumu dan siapkan hatimu. Cover by @Rayhidayata
2.7M 96.4K 67
Marvin Alfaro Miller, seorang mostwanted sekolah. Memikili wajah yang tampan, badan eksotis yang mampu membuat kaum hawa tergila gila padanya. Rachel...
ALMET BIRU De innraeni

Ficțiune adolescenți

3.5K 849 10
"Tunggu sampai gue ngejar lo balik"