Beauty Psycho 55 :

1K 221 6
                                    

Halo, semuanya. Besok saya ngga up sampai hari Jumat. Mau istirahat dulu. Terimakasih.

***

"Bagaimana kalau kita menyelinap masuk?"

Tawaran Elisha cukup tidak masuk akal. Elisha yakin, Erick akan memarahi dirinya karena ini. Membawa Sean ke kandang musuh merupakan hal yang sedari dulu ingin Elisha hindari.

Tapi bagaimana lagi? Elisha tidak yakin bisa melakukannya sendiri. Minimal, ia punya tambahan orang terpercaya untuk melakukan sesuatu.

Sean sendiri masih dengan wajah datarnya, menatap penuh minat Elisha yang masih menjeda kalimatnya.

"Untuk akses masuk, lo nggak perlu khawatir. Gue udah pikirin matang-matang tentang rencana ini," kata Elisha.

Sean belum merasa begitu tenang. Apa sih hubungan Elisha dan keluarga Alexander? Mengapa dia bisa semudah ini masuk keluar disana?

Elisha menghela nafas, mengerti kekhawatiran Sean. "Tenang aja, gue udah dapat undangan ke kediaman utama."

Elisha mengeluarkan handphone lalu menunjukkan undangan yang dikirim lewat online itu. Melihat itu, Sean mengerutkan keningnya dan menghela nafas.

"Terus gue masuk gimana? Masuk ke sana aja pakai undangan." Sean menghela nafas, mengapa harus seribet ini sih hanya untuk masuk ke kediaman iblis?

Elisha tersenyum arti membuat Sean merasakan ada sesuatu yang tidak beres. "Diseludupkan," jawab Elisha membuat Sean melotot.

Astagaaa, pikiran konyol mana lagi yang membuat Elisha stres seperti ini? Hiks ... resiko tertangkap pun Elisha sudah memikirkannya. Tapi, Sean tidak boleh menonjol karena ini.

"Gue yakin, lo pasti merencanakan sesuatu, bukan?" tanya Sean, menatap Elisha penasaran.

Elisha mengangguk mengiyakan sambil tersenyum tipis. "Gue nggak tau apa yang ada di sana, tapi, kita bisa cari dokumen rahasia atau rekaman yang mencurigakan gitu."

"Lo mau mencari sesuatu yang mencurigakan gitu?" tanya Sean lagi membuat Elisha kembali mengangguk.

"Gue yakin ada yang disembunyikan, makanya kita cari apa itu."

Semua orang pasti memiliki sisi gelap yang disembunyikan. Entah itu apa, Elisha yakin bahwa ada hal yang lebih besar untuk kehancuran keluarga ini.

Entah ini hanya dugaan atau memang benar harapan yang akan terwujud, Elisha sendiri tidak mampu berpikir sejauh itu.

Nyatanya, semakin Elisha bergerak, semakin gelisah. Kehancuran keluarga Alexander berarti dirinya tamat. Elisha sendiri juga harus menebus semua kesalahannya di masa lalu.

Hidup sebagai Elisha adalah mimpi buruk, tetapi ia tidak menyangkal bahwa dirinya bisa menikmati sedikit kebebasan untuk pergi dari neraka itu.

Walaupun ia dibuat tertekan seperti ini, Elisha tidak menyesal bertemu dengan Sean. Elisha hanya menyesalkan semua kejadian yang membuat mereka harus terlibat seperti ini.

Jika semuanya terungkap, apa yang terjadi? Elisha akan kembali sendirian. Setidaknya, itulah yang bisa ia tangkap sekarang.

Elisha yang asli menanamkan semua kebencian di hati orang. Tapi, mengapa harus dirinya yang menuai semua kesalahan itu?

Dirinya adalah Elena yang hidup tanpa jati diri berarti. Semuanya hanya kepalsuan saja dan itu sungguh memuakkan.

Dan Erick? Dirinya harus bersembunyi seumur hidupnya atau  ... pemuda itu akan lenyap dari bumi ini.

Tidak adil, bukan? Dirinya hidup tertekang dengan semua perasaan tertekan dan Erick hidup dengan ruang tanpa batas tetapi harus berlarian ke sana kemari untuk bersembunyi.

Memangnya apa lagi yang bisa ia lakukan? Elisha sudah beruntung memiliki keluarga mamanya yang memberikan dirinya uang yang banyak sehingga Elisha tidak perlu bekerja sekarang.

"Sebenarnya ... ada satu yang bisa membuat keluarga itu terguncang." Elisha tiba-tiba berucap setelah bermenit-menit terdiam.

"Apa itu?"

Gadis itu meneguk ludahnya. "Gue yakin kakak perempuan Elena punya kelemahan."

Elisha tersenyum getir, untuk membantu Sean menuju jalannya, ia harus mengorbankan diri seperti ini.

Sean memicingkan mata. "Kelemahan? Gadis psycho itu?"

Elisha mengangguk. Melihat itu, Sean berpikir dengan keras. "Bagaimana cara gue menemukan gadis itu?"

Gadis itu ada di depan lo

Seandainya Elisha bisa mengatakan itu. Sekarang, dirinya adalah Elisha. Tapi, ia juga Elena, bukan? Hanya dirinya yang bisa membantu Sean saat ini.

"Gue nggak yakin, tetapi dia sekolah di luar negri," jawab Elisha berusaha tenang. Sean menggeleng tidak percaya. "Dia satu sekolah sama kita, Sha, cuma gue belum bisa mastiin dia yang mana."

"Sejauh ini nggak ada pergerakan yang mencurigakan," sambung Sean menghela nafas.

Bodoh lo Sean! Selama ini gue udah cukup mencurigakan tetapi kenapa lo tetap percaya gue!?

Elisha frustasi, melihat betapa besarnya kepercayaan Sean membuat dirinya merasakan sakit. Elisha tahu betul bagaimana rasanya dikhianati oleh orang yang dipercaya.

Itu sangat menyakitkan.

"Sebenarnya, gue yakin kalau Tuan Edison memiliki anak dari simpanan lain. Dan gue rasa, pengakuan kakak Elena itu perlu banget buat ini," jelas Elisha.

Sean menghela nafas, "Tapi masalahnya kakak Elena itu musuh kita. Dia nggak bakal membantu kita." Sean juga merasa hal itu, ia rasanya ingin sekali menemukan kakak Elena dan membunuhnya.

Iblis itu membunuh adik kecilnya yang malang. Sean tidak akan memaafkannya.

Diam-diam Elisha kembali tersenyum getir. Bahkan dirinya dianggap musuh. Elisha bahkan bisa melihat bagaimana mengeraskan kepalan tangan Sean setelah membicarakan dirinya.

"Sebenarnya ... lo benci Elena, nggak sih?" Elisha menyembunyikan tangannya yang gemetaran.

Sean yang mendengarnya terdiam sejenak sebelum menjawab, "Gue benci."

Elisha tersenyum tipis, menyembunyikan rasa kaget saat mendengar jawaban tak terduga dari Sean. Padahal, selama ini Sean ingin menemuinya.

"Kenapa?"

Sean terkekeh sinis. "Dia pengecut."

Gue pengecut

"Dia meninggalkan gue yang terpuruk sendirian. Dia jahat," sambung Sean menatap kosong jendela kaca.

Benar, Elisha hanya penuh kepura-puraan. Harusnya sekarang ia merangkul Sean dan mengatakan semuanya. Tapi kenapa tidak bisa?

"Dia pergi duluan tanpa bisa bersaksi."

"Lo mencoba memanfaatkan kesempatan?" tanya Elisha seraya memesan kembali lattenya yang telah habis.

Sean terkekeh kecil. "Bisa dibilang begitu, gue memanfaatkan dia, dan dia memanfaatkan gue."

"Kalau misalkan ... dia masih hidup?" Senyum Sean langsung luntur setelah mendengar pertanyaan Elisha yang menurutnya tidak masuk akal.

"Gue bakal lebih membencinya," jawab pemuda itu dingin.

Tangan Elisha yang gemetaran semakin dingin. Ia yang dibicarakan seperti ini merasa begitu gelisah apalagi saat kembali mendengar jawaban Sean.

"Kenapa?" tanyanya pelan.

"Kenapa?" Sean tersenyum sinis, "kalau dia masih hidup, dia harusnya nggak membuat keadaan semakin runyam. Dia harusnya nggak melarikan diri."

Merasa senyumnya mulai menakutkan, Sean mengubah ekspresinya dalam sekejap seperti tidak terjadi apa-apa. "Nah, karena dia udah mati, mending anggap mati aja sekalian. Nggak perlu dibayangkan dia masih hidup."

Kok rasanya sakit, ya?

***

Beauty Psycho (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang