Luna tidak menyahut, kembali sibuk dengan ice creamnya. Tidak masalah dengan Rio yang merangkulnya dan membuat mereka tidak berjarak.

Karena sebenarnya Luna juga suka posisi nempel-nempel begini, enak soalnya.

"Jilat, deh. Sekali aja." Luna memaksa Rio lagi, ia kembali menyodorkan ice cream di depan mulut cowok itu. "Enak, tau."

Rio diam sejenak, memandang Luna sebelum akhirnya melakukan perintah gadis itu. Luna tersenyum senang setelahnya.

"Apa enaknya makan ice cream malem-malem, sih?" Rio bertanya heran.

"Ya enak aja. Sesuatu yang berlawanan itu enak soalnya."

"Contoh lainnya?"

Rio suka sekali memandang wajah cantik Luna dari samping. Ia juga senang dengan wangi rambut Luna yang beraroma strawberry.

Rio bisa saja mencari gadis lain karena tingkah Luna yang kadang menyebalkan. Tapi, persoalannya, di luar sana memang masih sangat banyak cewek cantik dengan kepribadian lebih baik. Yang susah itu, mencari seorang gadis yang bisa menerima apa adanya dan membuatnya merasa nyaman.

Sama halnya ketika kalian punya banyak baju, atau mungkin tas, atau apa pun itu. Tapi yang dipakai cuma itu-itu saja. Alasannya, karena merasa nyaman meskipun mungkin kelihatannya lebih jelek. Padahal kalian masih punya barang lain yang lebih bagus.

Seperti itulah contoh sederhananya.

"Maksiat," bisik Luna tepat di sebelah telinga Rio.

Rio terkekeh kecil. "Dasar tukang maksiat."

Luna ikut tertawa sebelum melahap cone ice craem hingga tandas. Gadis itu menempatkan tangan kanannya di pinggang Rio. Lalu tangan kirinya menyentuh tangan kekar Rio yang ada di pundaknya.

Luna mengernyit heran. Ia lantas menatap Rio dan bertanya, "Tangan kamu kok anget?"

"Anget?"

Sebelum menjawab, Luna memastikan lagi. Menyentuh-nyentuh tangan Rio dan meremasnya pelan. "Iya lho, anget."

"Tapi tangan kamu dingin."

"Mana sini coba." Luna beralih menyentuh leher Rio, kemudian beralih ke jidatnya yang sebagian besar tertutup ikat kepala. Ternyata benar, hangat. "Pusing?"

"Enggak."

"Terus?"

"Nggak pa-pa, kok. Sehat begini."

Tapi Luna merasa tak yakin. "Serius?"

"He'em," jawab Rio begitu yakin.

Luna cemberut. "Jangan sakit."

Rio mengusap sisi wajah Luna begitu lembut. "Enggak, Na."

***

Rio berbohong.

Untuk yang pertama kalinya.

Ah, tidak. Luna sampai lupa. Rio bahkan pernah berbohong sebelumnya.

Perihal merokok kala itu, Rio bilang itu yang pertama kalinya. Karena banyak pikiran.

Halah cowok itu banyak alasan. Kalau sampai dia cepat mati nantinya, Luna juga yang akan dibuat repot. Luna tentu tidak mau, ya.

Lagipula jaman sekarang mencari cowok yang tidak pernah menyentuh barang nikotin tersebut sama halnya dengan mencari jarum dalam jerami. Susah.

Tapi setelah saat itu, kala Luna bersama Rio, gadis itu memang sudah tidak pernah lagi menghirup aroma-aroma pekat semacam rokok dari cowok itu sih. Itu jauh lebih bagus.

 BLUE [Completed]Where stories live. Discover now