Bagian 17 - Puncak Pinang Awan

Start from the beginning
                                    


"Nih," Mandeh memberikan telur pesanan Damara.


"Makasih, Ndeh," Mandeh mengangguk, "Nin, rebus telur, yuk, disana!" Damara menunjuk kolam sumber mata air panas.


"Yuk!" Aku menerima ajakannya.


"Damar kalo ngerebus telurnya sekalian juga, ya, buat Mandeh dan Mama, cari kami di pemandian dewasa ntar kalo udah," Damara mengangguk sambil ngacungin kedua jari jempolnya ke Mandeh. Setelah itu, kami pun ke tempat perebusan telur. Di sana ada sumber air panas yang mendidih. Uniknya, sumber air panas itu alami. Bukan didihkan pakai api.


"Kamu mau celupin telurnya?" tanya Damara.


"Enggak, ah, kamu aja. Takut kena air panasnya aku,"


"Oke." Damara lalu nyelupin semua telur ke dalam semacam pengait. Setelah menunggu beberapa menit, Damara mengangkat telur itu.


"Udah mateng itu, Dam?" tanyaku.


"Iya. Nih aku kupas, ya." Damara kemudian mengupas setengah kulit telur itu dan yang menakjubkannya ternyata emang sudah matang.


"Ih, matang beneran!" kataku norak.


"Iya, kan?! Nih, cobain," Damara memberikan aku telur yang tadi sudah dikupasnya. Aku mulai memakannya, "gimana?" katanya lagi.


"Apanya?"


"Rasanya,"


"Rasanya, ya, kayak telur. Ya kali tiba-tiba rasa rendang," Damara tertawa mendengar jawabanku.


"Yaudah kita kasih ke Mandeh dan Mama juga, yuk." Kami kemudian mendatangi kolam dewasa. Di sana tampak Mandeh dan Mama sudah asik berendam.

"Ndeh, ini telurnya,"


"Makasih, Buyuang Mandeh." Mandeh mengambil telur itu, "Anin, ayo berendam," ajak Mandeh ke aku.


"Anin nyelupin kaki aja, deh, Ndeh. Lagi males berendam."


"Yahh.. sayang banget. Tapi yaudah, deh," Mandeh tampak kecewa sedikit, tapi segera teralihkan pas mulai makan telur rebus. Aku akhirnya cuman merendamkan kakiku. Disusul oleh Damara yang juga merendamkan kakinya di sampingku.


"Kenapa gak berendam?" tanyanya.


"Males ganti baju," jawabku, "Kamu kenapa gak berendam juga?" Aku balik nanya ke Damara.


"Males ganti baju juga."


"Plagiat!"


"Bukan plagiat, tapi terinspirasi." Aku cuman bisa memutar kedua bolamataku mendengar jawaban dari Damara itu. Setelah merendamkan kaki lumayan lama, kami akhirnya pamit ke Mandeh dan Mama untuk ke Puncak Pinang Awan.

Tentang Kamu dan Rindu ✅Where stories live. Discover now