Bagian 22 - Cekcok

134 18 11
                                    

Tuhan memberi kita beberapa macam pilihan hidangan dan kita sendiri yang menentukan mau pilih yang mana, lalu kita juga yang mengolah sendiri akan jadi seperti apa nantinya. Yang kamu lihat kelebihan orang lain itu, bukan berarti harus jadi patokan kelebihan yang harus kamu miliki juga.

-Anindia Rinjani-

---


Sepulang dari MOS hari pertama, Kania dan Winanda langsung ikut ke rumahku. Selain penasaran dengan ceritaku selama liburan di Sumatera Barat, mereka tentu juga nagih oleh-oleh khas Minang. Aku ngasih mereka kain sulam Kerancang dan gelang yang pernah aku beli sewaktu di Solok Selatan sama Damara. Aku juga nyuguhin mereka aneka makanan ringan khas Minang yang dibeli Mama pada hari terakhir kami di Sumatera Barat. Mereka tentu seneng. Kini setelah perut terisi, mereka siap mewawancaraiku.

"Ekhm... mungkin langsung aja, kenapa gak pernah cerita ke kita tentang cowok kamu yang namanya Damara itu. Dari mana kalian kenal? Sosmed kah?" tanpa basa-basi tiba-tiba saja Kania malah langsung nanya tentang Damara. Jujur aja, aku gak pengen mereka tahu beberapa kejadian yang aku alami sama Damara secara spesifik. Aku cuman nyeritain secara gamblang yang kira-kira sekadar itu mereka perlu ketahui. Meski kami bersahabat, waktu itu aku rasa masih perlu privasi. Jadi menurutku gak semua hal harus diceritakan kepada mereka meskipun sudah berlabel 'sahabat', begitu pikirku dan kamu boleh saja gak setuju tapi aku pun gak peduli.


"Jadi Damara itu anaknya temen Mama. Kemaren waktu kami di bandara kami dijemput sama Mandehnya Damara dan dia sendiri, Mandeh itu sebutan Ibu dalam Bahasa Minang," kataku mulai cerita, "Aku nginep di rumah mereka, dan selama dua minggu itu aku diajak jalan-jalan dari Padang, Bukittinggi, dan Solok Selatan. Sampai hari terakhir pun kami tetep tinggal di rumah dia karena kata Mandeh, itung-itung biar bisa lebih hemat," kataku menjelaskan.


"Pantes aku liat bisa berduaan," kata Kania.


"Terus kalian beneran udah pacaran?" tanya Winanda penasaran.


"Enggak lah, aku cuman temenan sama dia, kok. Ya.. mungkin aja, kan, dia nganggep aku cuman tamu yang harus dilayani dengan baik," kataku gak yakin. Itu pemikiran yang timbul akibat percakapanku sewaktu dengan Meida di kamar Damara beberapa waktu yang lalu.


"Hah? Aku gak percaya, sih. Soalnya waktu kita video call kemaren, Damar kayak nampakin kalo emang dia emang suka sama kamu." Kania mengajukan pendapatnya.


"Nah iya, aku juga setuju. Emang dari Damar sendiri gak ada ngodein gitu?" tanya Winanda.


"Aku gak yakin dia beneran suka sebatas temen biasa atau lebih. Hari terakhir aku di rumahnya, temen-temennya juga pada nginep di sana. Aku tidur sama temennya cewek, namanya Meida. Kata Meida, Damar itu tipikal orang baik meskipun cuek makanya banyak yang suka sama dia. Dia kaget pas denger Damar lagi deket sama orang Kalsel karena katanya, sama yang satu sekolah pun dia kelihatan gak tertarik." Aku menghela nafas sebentar, "cuman sedikit yang aku tau tentang dia, apalagi kami baru ketemu dan kenal," sambungku.


"Terus perasaan kamu sendiri ke dia gimana?" Kania lanjut nanya.


Aku terdiam sebentar, bingung harus ngejawab apa, akhirnya aku angkat bicara dengan nada seadanya, "Kalo aku dideketin Ardhika, rasanya biasa aja. Gak ada apa-apa. Dengan Damar pun, "mungkin" gitu," kataku. Yang perlu diketahui, itu adalah sebuah kebohongan. Nyatanya sekarang, aku selalu mikirin Damara dan sedikit merindukannya. Tapi aku gak mau orang lain tahu tentang ketidakpastian perasaanku itu yang masih mengawang. Termasuk ke sahabatku sendiri. Biar saja aku simpan untuk beberapa waktu.

Tentang Kamu dan Rindu ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang