43. Memori masa lampau

Start from the beginning
                                    

"Tapi persis!"

"Tapi bukan!!"

"Tapi satu spesies!"

"Tapi gantengnya Eon!"

"Hilih apaan!" Rio menye-menye. Setelah itu mengusap-usap puncak kepala Reon sembari berucap, "Bae-bae Lo di rumah, nggak usah sekolah. Bye!" Setelah itu setengah berlari keluar rumah.

Tidak usah sekolah tentu saja kalimat yang terdengar mengiurkan di telinga Reon. Tapi ia belum mendapat jawaban dari Ayahnya. Artinya Reon harus bertanya ke Ibu Guru. Tapi kalau ia tidak berangkat, bagaimana bisa bertanya pada Ibu Guru di sekolahnya.

Ah, harusnya ia bertanya pada Rio saja tadi.

Apa sebaiknya Reon tidak perlu sekolah saja, dan bertanya langsung pada Hana yang sibuk di dapur?

Sepertinya itu ide yang bagus. "Bunda!" Anak itu segera ngibrit dengan wajah sumringah. Tampak begitu siap mendapat ilmu baru dari jawaban Hana nantinya.

***

Yang Luna pikir akan menakutkan, ternyata tidak semenakutkan itu. Walaupun masih susah dikontrol, tapi penyakitnya itu sudah tidak separah saat pertama kali datang.

Tapi tetap saja, tidak ada yang mau berdekatan dengan gadis itu. Mungkin mereka juga punya anggapan yang sama dengan Rio, perihal Luna yang diduga gila. Tidak masalah menurutnya, karena Darma sudah menjelaskan hal tersebut kepada Bu Sri.

Tentang tanggapan orang-orang di sekitarnya, itu tidak penting karena orang-orang tersebut juga tidak penting bagi Luna.

Dulu mereka sering kali menyapa Luna dengan senyuman ramah meski ia tidak mengenal dengan baik siapa orang-orang yang menyapanya tersebut, tapi sekarang memandang wajahnya saja seolah jijik. Yah... kecuali tatapan sinis milik mereka.

Luna hidup bukan untuk mereka. Seperti itu kenyataannya.

Matanya memberat dalam keadaan yang riuh. Di jam kosong seperti ini, memang lebih baik Luna tidur daripada kepalanya terus memikirkan banyak hal.

Yang ada bukannya sembuh, penyakitnya malah semakin parah.

Di tengah alam bawah sadarnya. Luna merasa seperti ada yang mengelus tangannya, lalu sebuah suara familier pada detik berikutnya. "Cantik." Berlanjut pada genggaman yang menghangatkan.

Luna sudah berusaha tidak memikirkan Rio, tapi sialnya cowok itu tetap saja mampir di mimpinya. Itu tidak adil. Menyebalkan!

Gadis itu juga ingin tahu apakah Rio juga sering memimpikannya atau justru tidak sama sekali.

Luna ingin sekali membuka mata, setidaknya hanya untuk memastikan, setelah itu kembali melanjutkan tidurnya. Tapi rasa kantuknya sulit sekali diajak kerja sama. Membuat keinginannya hanyalah angan semata.

Entah sudah berapa menit berlalu, barulah mata gadis bersurai lurus itu terbuka. Membelalakkan saat melihat wajah seseorang berada tepat di hadapannya. Sakit kagetnya, Luna lantas mengangkat kepalanya dengan cepat. Meringis pelan saat kepalanya terasa nyeri.

Tapi bukan itu masalahnya, melainkan Rio yang ikut tertidur dengan wajah saling berhadapan. Kalau begini bagaimana bisa Luna tidak memikirkannya!

Tangan gadis itu bergerak, menyentuh pipi Rio secara refleks. Mengusapnya pelan, menikmati kulit halus cowok berikat kepala itu. Mengagumi wajahnya, entah untuk yang ke berapa kalinya.

"Singkirin tangan kotor, Lo!"

Luna tersentak. Menarik tangannya secepat mungkin. Lalu beralih menoleh ke depan, dimana Dove duduk. "Dove," panggil gadis itu kemudian.

 BLUE [Completed]Where stories live. Discover now