42. Titik terendah

Start from the beginning
                                    

Rio beranjak dari posisinya. Menegakkan punggungnya dan berdiri di hadapan Luna. "Harusnya Lo sadar dong. Kalo orang gila itu..." Rio menunjuk wajah Luna dengan ujung rokok, seolah tidak takut jika cahaya kemerahan dari bagian ujungnya mengenai wajah Luna. "Nggak pantas ada di lingkungan orang normal."

Pengucapannya memang terlihat begitu santai, tapi bisa begitu menusuk lawan bicaranya.

Rio kembali mengisap rokoknya setelah itu. Puas melihat Luna yang hanya mampu terdiam. Tapi hanya beberapa saat kala gadis bersurai lurus itu menubruk tubuhnya. Jenis pelukan tiba-tiba yang berhasil membuatnya mematung setelahnya. Apalagi saat aroma tubuh Luna memasuki indra penciumannya.

Sial!

Cowok berikat kepala biru terang itu tidak membalas, tidak juga menolak. Dan itu lebih baik untuk Luna.

Gadis bersurai lurus itu menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Rio. Sepertinya memang itu tempat ternyaman Luna dari dulu. Perlahan, Rio bisa merasakan tubuh Luna bergetar. Disusul suara isakkan pelan yang sebenarnya melegakan.

Karena jujur saja, Rio lebih suka suara tangis Luna- meski terdengar begitu pilu, ketimbang suara tawa Luna setelah mendengar ucapan pedasnya.

Kedua tangan gadis itu mengerat, membuat rokok yang terselip di dua jari Rio terjatuh dengan sendirinya. Juga tangannya yang mengepal.

Kalau begini, suara tawa Luna maupun suara tangisnya, sama sekali tidak mengenakkan. Dengan alasan yang begitu egois, Rio hanya ingin melihat senyum Luna. Yang sudah lama menghilang dan ialah salah satu penyebab utamanya.

Kejadian tersebut hanya berselang beberapa menit saja, sampai Luna melepaskan pelukannya dan berlari menjauh tanpa mengatakan apa pun.

Rio kira Luna akan pergi saat tangisnya sudah mereda, ternyata tidak. Mungkin harapannya terlalu tinggi.

"Shit!" Cowok itu mengumpat. Lalu menjadikan tembok sebagai sasaran, menghantamnya tanpa peduli jari-jarinya yang akan terkena imbas setelah itu.

***

Dove melamun, dengan pandangan mengarah pada gelang karetnya.

Bejo tampak asyik menata rambut sembari bercermin, tentu saja cermin hasil pinjaman teman cewek kelasnya. Tapi bukan meminjam namanya karena Bejo tidak ijin terlebih dahulu, melainkan mengambilnya secara diam-diam.

Sebentar lagi, bel masuk pasti akan menggema.

Dove masih memikirkan percakapannya dengan Helma saat itu.

Flashback on

"Selama ini gue takut..." Suara Dove tercekat. "Gue takut kita nggak bisa ketemu lagi."

"Dih." Helma menatap Dove seolah jijik setelah hening sejenak. "Ngigo, Lo!"

Dove melonggo. Ia sudah memasang wajah sedih macam aktor tidak laku, dan reaksi cewek di hadapannya seperti ini? Itu sama sekali tidak masuk dalam skenarionya.

"Kita aja kenal belum lama, jadi jangan ngada-ngada," lanjut Helma. "Atau mungkin Lo naksir gue?"

Rasa-rasanya, Dove ingin menimpuk Helma jika tidak ingat makhluk itu berjenis kelamin perempuan. Apalagi, muka anak ini terlihat butuh tampolan.

"Gue serius nanya! Apa Lo nggak punya temen kecil gitu dulu?" Dove bertanya. Memandang Helma penuh harapan.

Tidak mungkin ia salah mengenali. Tidak ada yang asing dari cewek di hadapannya ini. Termaksud auranya sekalipun. Seperti ada yang menghangat tiap kali di dekatnya, bahkan Helma tidak melakukan apa pun selain duduk manis dan berbicara.

 BLUE [Completed]Where stories live. Discover now