Ia mulai menceritakan Leo yang pergi, Pamela yang membencinya, dan Rio yang mendadak berubah. Bercerita sesingkat mungkin, tidak terlalu mendetail. Tapi Luna hanya meminta pendapat tentang perubahan Rio saja. Perkara keluarganya, biar ia yang mencari solusi sendiri, yah meski tak yakin jika ia bisa.

"Apa gue bilang, cewek kalo udah terlanjut bucin mah nurut-nurut aja. Makanya sekalipun bucin jangan sampe jadi goblok. Apalagi sampe percaya sama omongannya yang nggak lebih bermutu dari kaleng sarden."

"Ya terus gue kudu gimana?"

"Yang tahu maunya elo, yang cuma diri Lo sendiri."

"Terus dari tadi ngapain gue nyerocos kalo Lo nggak ada saran sama sekali!"

"Luna yang lagi patah hati, gue ada masukan kok. Apa yang diomongin orang lain itu benar, cuma karena kita memposisikan dari tempat yang beda, makanya jadi kelihatan salah. Jadi lain kali Lo harus dengerin omongan orang lain dulu, jangan malah nggak percaya gitu aja! Salah Lo sendiri, yang harus tanggung jawab sendiri!"

Luna sedang sedih, hatinya sedang hancur, kepalanya mumet, tapi bukannya mendapat saran yang sedikit menenangkan, atau setidaknya sedikit hiburan. Luna malah tidak mendapatkannya sama sekali. Yang ada ia merasa jengkel.

Tidak mau membuang-buang waktu, Luna segera mematikan ponselnya. Keluar dari bilik toilet, membasuh wajahnya lebih dulu di depan cermin sebelum memutuskan untuk kembali ke kelas.

Cukup lama ia di toilet, itu artinya Luna tidak punya banyak waktu untuk mengisi perutnya di kantin seperti biasa. Maka pilihan satu-satunya hanya kembali ke kelas, bersiap bertatap muka dengan Rio yang terasa sangat asing. Lebih asing daripada pertemuan pertama mereka.

Gadis bersurai lurus itu menghela nafas lega saat bangku di sebelahnya masih kosong, lega karena tidak harus bertatap muka dengan Rio terlalu cepat. Padahal jam istirahat akan berakhir sebentar lagi, apa cowok itu sengaja menghindar? Atau terlalu asyik dengan gadis lain yang tidak Luna kenal itu?

Tapi ada yang mengalihkan pikirannya kala Luna mendapati siomay Bu Sa di atas mejanya.

Luna segera duduk dan memakannya dengan lahap, senyumnya perlahan terbit. Ternyata, cowok berikat kepala biru terang itu masih peduli terhadapnya. Hal sederhana yang berhasil membuat kesedihannya perlahan pudar.

Tepat saat suapan terakhir masuk ke dalam mulutnya, Dove balik badan, menoleh ke belakang. "Tadi William ke sini, ngasih itu."

Kunyahannya mendadak berhenti. Luna akan meralat, jika yang memudar bukanlah kesedihannya, tapi senyumnya. "Bukan Rio?" tanyanya lirih penuh harapan.

Biasanya William akan memberi coklat sebagai bonus, tapi kali ini tidak. William pernah bilang jika waktu itu coklat terakhir untuk Luna, mungkin itu alasannya kenapa William tidak memberi coklat seperti biasa. Rasanya mulut William lebih bisa dipercaya ketimbang mulut Rio sekarang.

Dove menggeleng lemah. "Kalo ada masalah mending selesain baik-baik."

Luna menghembuskan nafas kasar. "Gue aja nggak tahu ada masalah apa, dia tiba-tiba kayak gitu. Padahal gue ngerasa nggak bikin kesalahan apa pun." Luna menunduk.

"Makanya komunikasi."

"Gimana mau komunikasi kalo diajak ngomong baik-baik aja ngegas terus. Nyakitin ati."

"Taulah, gue males ikut-ikutan. Kagak berpengalaman." Dove bodo amat, kembali membalikkan badan ke depan.

Luna menghela nafas jengah. Ia menghentikan langkah Bejo yang akan keluar membuang sampah, nitip karena malas berjalan. Lalu mengambil botol minumnya, menenggaknya bertepatan dengan datangnya seseorang yang kemudian duduk di sebelah Luna.

 BLUE [Completed]Where stories live. Discover now