Lima Tujuh

31 9 0
                                    

Rivali memasuki kamar dengan perlahan. Aroma parfum miliknya tercium. Senyum tergambar dari bibirnya. Padahal ia sendiri sudah hampir satu minggu meninggalkan rumah. Tanpa mengusik sang istri, langkahnya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Sekitar tiga puluh menit, ia menghabiskan waktu di dalam kamar berdinding kaca itu. Kaos hitam dan celana training kini sudah terpasang di tubuhnya. Ia pun menaiki ranjang dengan perlahan. Tak ingin menganggu tidur sang istri yang begitu nyenyak.

Tangannya menyibak helaian rambut yang menutupi wajah cantik di hadapannya. Pipi semakin cubby membuat ia melayangkan bibirnya. Perlahan. Lalu... perlakuan yang sama pada perut Ilyana yang membesar.

Haru...

Senang...

Tumpah ruah pada pikiran Rivali. Tak henti-hentinya ia bersyukur dan berdoa untuk keluarga tercintanya. Bahkan ia teramat bahagia saat sang istri tak mengeluh dengan tubuhnya yang membesar.

Rivali mengarahkan dirinya hingga merengkuh tubuh mungil Ilyana. Kecupan berkali-kali dikirimkan pada kening yang sejajar dengan dadanya.

Seketika Ilyana mengeliat. Namun matanya masih terpejam. Hanya kepala sang istri yang semakin melesak ke pelukannya.

****

"Sayang.... Pelan-pelan aja jalannya."

Rivali melihat Ilyana yang bersemangat jalan pagi di taman kompleks. Ada kekhawatiran mengingat perut sang istri yang semakin membesar. Sehingga sulit melihat benda-benda yang berada di bawah.

Ia melihat peluh mengalir dari wajah. Bahkan kaos besar yang dikenakan Ilyana pun sudah basah.

"Kita istirahat dulu di situ. Jangan dipaksakan."

Seraya menuntun sang istri, langkah mereka menuju kursi taman yang berjarak 50 meter.

Dihapusnya keringat Ilyana.

"Aku capek. Pulang aja langsung ya!" ucap Ilyana seraya berdiri.

Rivali pun mengangguk. Ia tau jika tiba-tiba Ilyana memintanya pulang. Rona merah yang ia suka kembali terlihat pada pipi sang istri. Namun ia tidak ingin membuat malu sang istri.

Berjalan seraya memeluk sang istri membuat dirinya semakin bahagia. Momen ini begitu jarang ia lakukan. Proyek-proyeknya mengalir lancar setelah ia dan Ilyana menikah. Walaupun terkadang dirinya harus pergi meninggalkan sang istri. Ia beruntung Ilyana tidak mempermasalahkan dirinya yang harus berada di luar kota. Tidak bisa menemani menjaga calon jabang bayi. Namun ia tetap menyempatkan waktu menemani Ilyana cek kandungan.

"Ay.... Kita jadi ke rumah Mama ya. Kita jemput Sisi. Terus KITA makan masakan Sunda ya."

Perkataan Ilyana membuat Rivali tersadar. Bahkan dirinya sudah memasuki gerbang rumahnya.

"Iya. Kamu keringkan dulu keringatnya baru mandi. Biar aku siapin air mandinya." Ujarnya seraya mengantarkan Ilyana ke bangku di ruang makan. Lalu ia menuju kamar tidur.

****

Suasana di rumah Mama cukup ramai. Rivali melihat Sisi dan dua keponakan kembarnya yang sudah berjalan berada di ruang tengah. Mereka memonopoli tempat. Dua suster yang menjaga si kembar juga terlihat mengikutinya. Dari arah ruang makan, Mama dan Ilyana membawakan cemilan. Ia tidak tega melihat sang istri dengan kehamilan besarnya masih jalan ke sana ke sini. Namun ia tidak ingin melarang hingga membuat perempuan mungil itu bersedih.

Terlebih Ilyana sudah mengajukan pengunduran diri dari pekerjaannya. Sehingga aktivitas hanya di rumah, menemani Sisi, dan juga ikut mengantarkan sekolah. Rivali tidak ingin Ilyana dilanda kebosanan. Terutama jika ia harus berada jauh dari sang istri.

"Sori gue baru selesai mandi." Terdengar suara Rifana dari arah belakang.

Ia melihat Ilyana dan Rifana saling memeluk. Tangan sang kakak pun mengusap perut Ilyana.

"Sumpah gede banget Ly. Lo ati-ati ah kalo kemana-mana... jangan sendirian. Gue aja yang hamil dua bocah udah rada berat. Apalagi Lo."

"Iya An.... Tetapi Alhamdulillah 'mereka' baik dan tidak merepotkan." Jawab Ilyana.

"Li. Lo kurangi waktu di luar. Apalagi ini udah mau dekat bulannya. Oya Li... ada laki gue minta pendapat Lo. Tapi data ada di ruang kerja. Lo ikut gue dah." Ucap Rifana.

Rivali yang merasa dipanggil pun menoleh. Namun ia melihat ekspresi berbeda pada wajah sang kakak.

"Ily. Gue pinjem adikku gue dulu ya. Bentar. Sepuluh menit."

Rivali melihat sang kakak yang menarik tangannya seraya melihat ke Ilyana dan berkata.

"Ay.... Aku ikut Ka An sebentar ya."

Sesampainya di ruang kerja, ia terkejut Rifana mengunci ruangan.

"Lo duduk."

Wajah sang kakak tidak seperti biasa.

"Siapa Raisya!"

Hah

"Jawab gue. SIAPA RAISYA. Lo kenal dimana? Kok bisa-bisanya."

"Maksud Lo apa si Ka?"

"Nih Lo lihat."

Rivali melihat gawai milik Rifana. Terlihat Vidio yang menggambarkan rumah. Namun ia tidak paham apa yang dimaksudnya.

"Lihat baik-baik."

Pandangan kembali kepada vidio di layar. Terlihat seorang perempuan memasuki ruang tamu dan duduk. Ia juga melihat Rifana mendatangi tamu itu. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun yang membuatnya terkejut saat melihat siapa yang berhadapan dengan sang kakak.

"Lo tau siapa yang ngobrol ma gue?"

"Dia putri Mr. Marko. Raisya. Beliau pemilik RS, proyek gue di Medan kemarin. Info dari Mr. Marko, putri kuliah di Jakarta. Gue ketemu saat diundang makan malam di kediaman Beliau." Ucap Rivali.

"Kenapa sampe bisa ke rumah Mama. Lo kasih alamatnya. Lo chat an?"

"Ya ampun Kak. Mana gue tau. Komunikasi aja ga pernah. Mungkin tanya ke Mr. Marko kali."

"Untung Cuma ada gue di rumah. Mama, Sisi sedang membawa anak gue ke taman kompleks. Gue harap ini ga terjadi lagi. Apalagi sampai yang lain tau."

Tok.... Tokkkk

Baik Rivali dan Rifana melihat ke arah pintu. Ketukan terdengar kembali. Tak ingin membuat yang di luar curiga, Rifana pun membuka pintu. Wajahnya pias saat melihat Ilyana di hadapannya.

"Mama ajak KITA makan. Sori ya kalau Aku ganggu." Ujar Ilyana.

"Ka An... gue duluan. Bilang Bang Rey. Gue ikut aja. Ayo Ay... kita makan."

Rivali meninggalkan Rifana dan berjalan di sisi sang istri menuju ruang makan. Ia berharap peristiwa tadi hanya sebuah kebetulan saja.

****

Bersambung

Love (Selesai)Where stories live. Discover now