Empat Satu

33 10 0
                                    

Rivali senang melihat Ilyana yang tidak menjarak kepadanya. Walaupun selama perjalanan di pesawat perempuan itu memilih diam. Bahkan hingga di Jakarta.

"Terima kasih. Maaf saya lelah. Sebaiknya Kamu pulang." Ujar Ilyana seraya memasuki kamarnya.

Rivali menahan langkah Ilyana. Digenggamnya kedua tangan perempuan itu. Terlihat Ilyana menundukkan wajahnya. Disentuhnya dagu itu hingga mata mereka saling bertatapan.

"Pagi-pagi sekali aku berangkat. Sebelum aku pergi. Hilangkan ganjalan di hati. Aku tidak ingin selama jauh menjadi tidak tenang. Peristiwa yang Kamu lihat saat itu.... Aku .... ."

Dilihatnya Ilyana mengacuhkan ucapannya. Rivali pun menyerahkan sesuatu yang diharapkan dapat membuat kekasihnya itu membaik.

"Apa ini?" Kalimat serta tatapan tajam terlontar dari bibir tipis Ilyana.

"Bukalah. Semoga ini membuat Kamu percaya."

Rivali memperhatikan perempuannya membuat amplop besar berwarna merah. Dibacanya kalimat yang tertera di undangan itu. Tanpa disadari wajah Ilyana tersenyum. Namun dengan cepat perempuan itu mengalihkannya.

"Oh... Hubungan dengan Aku?"

Pertanyaan Ilyana muncul seraya mengembalikan amplop itu kepada dirinya. Ekspresi seakan-akan perempuan itu tidak cemburu terlihat. Padahal ia tau jika kekesalan perempuannya karena dirinya dan Aline. Hal itu membuat Rivali ingin tertawa. Namun ia tidak ingin Ilyana semakin kesal dengannya.

"Aline mengundang KITA untuk datang di pernikahannya." Ujarnya.

"Kenapa KITA, Aku tidak kenal."

Sungguh Rivali bahagia melihat Ilyana seperti itu. Betapa perempuan itu mulai membuka hati untuknya. Walaupun bukan dengan cara ini yang diharapkannya.

"Kamu tidak mengenal Aline... tetapi KAMU adalah calon Nyonya Ravendra."

Perkataan dirinya sontak membuat perempuan itu membuka mulutnya.

"Kapan Aku bilang mau jadi istri Kamu?" ujar Ilyana seraya membalik badan dan hendak keluar kamar.

Rivali sudah tak mampu menahan dirinya. Terlebih perempuan itu begitu menggemaskan sejak peristiwa di kantor. Dengan cepat ia menahan langkah Ilyana dan memeluk dari belakang.

****

Senyum mengembang disertai tatapan cinta tak lepas dari wajah Rivali. Disingkirkannya rambut yang menutupi wajah Ilyana. Terlihat begitu tenang kekasihnya itu tidur. Bahkan tangan Ilyana memeluknya dengan kencang.

Cup... Dengan penuh sayang Rivali menyentuh kening perempuan itu. Ia bersyukur hubungan dengan Ilyana sudah membaik.

Ehhhmmmm....

Rivali melihat Ilyana menggerakan tubuhnya. Walau mata perempuan itu masih terpejam. Ia tidak ingin mengganggu tidur kekasihnya. Baginya kenyamanan Ilyana adalah hal yang utama. Dirinya berharap peristiwa kemarin tidak aka terulang lagi. Ia tidak ingin perempuannya menangis ataupun sakit karena perbuatannya.

"Jam berapa, Sayang?" suara serak Ilyana menyadarkan lamunannya.

"Lima sore."

Hahhh

Mata hazel perempuan itu terbelalak. Dengan cepat Rivali tersenyum menanggapi ekspresi itu. Pasalnya hampir tujuh jam ia menemani Ilyana yang tertidur pulas.

"Kamu ga bangunin Aku?" ujar perempuan itu seraya melepaskan pelukannya dan berdiri.

"Aku mau lihat di lemari pendingin ada apa aja."

Rivali melihat Ilyana berjalan keluar kamar. Tanpa berkata apapun ia mengikutinya. Pintu lemari tiga pintu itu terbuka. Namun hanya ada makanan beku, susu, yougurt, dan buah-buahan.

"Kita makan di luar atau mau pesan antar aja?" Ujar Rivali.

"Pesan antar aja."

Rivali mengeluarkan gawai dari jeansnya. Lantas memberikan kepada Ilyana.

"Kamu yang pesan menunya. Aku ikut aja." Ujarnya.

*****

Rivali menyelesaikan mandinya. Segera ia berganti pakaian bersih. Untung saja pakaiannya saat itu masih tersimpan oleh Ilyana.

Tak lama terdengar suara bel dari gerbang. Dengan segera ia menuju ke area depan. Terlihat seorang membawa pesanannya. Setelah mengucapkan terima kasih, dirinya pun kembali masuk ke dalam rumah.

Diletakkannya makanan itu di meja makan. Dikeluarkan pesanannya itu.

"Biar Aku aja."

Terlihat Ilyana berjalan cepat dari pintu kamarnya. Pakaiannya santai. Membuat perempuan itu seperti remaja.

"Ga apa-apa. Aku aja, Ay." Ujar Rivali.

Namun ia paham jika Ilyana bukanlah perempuan yang menurut dengan satu perkataannya. Sehingga Rivali membiarkan perempuan itu mengaturnya.

Kini mereka duduk di meja makan. Rivali melihat porsi makanan yang cukup banyak terhidang.

"Kamu harus habisin ya. Aku makan ini dan ini aja." Suara Ilyana membuat Rivali menatapnya.

"Aku ga sanggup kalo makan semuanya, Sayang. Makanan yang tidak termakan, kita bawa aja ke Mama."

Perempuan itu pun mengiyakan kalimatnya. Makan malam berlangsung. Setelah itu, Ilyana merapihkan kotak makanan dan menempatkan kembali di dalam paper bag.

Rivali pun menghubungi Mama dan mengatakan akan ke sana. Setelah satu jam, Ilyana keluar kamar. Mereka pun segera menjemput Sisi.

Perjalanan Jakarta seperti biasanya ramai. Pasalnya ini adalah hari minggu. Orang-orang akan menikmati sisa liburnya sebelum esok beraktifitas kembali. Sekitar jam sembilan malam mereka tiba.

Sorak teriakan Sisi menyambutnya. Bahkan Rivali melihat Sisi membuka pintu mobil Ilyana. Kedua perempuan yang sangat dicintainya itu saling berpelukan. Ciuman bertubi-tubi mereka lontarkan masing-masing.

"Om Ali... "

Rivali yang baru keluar pintu dikejutkan oleh pelukan Sisi. Ia pun membalas dengan mengacak-acak rambut gadis kecilnya.

*****

Bersambung

Love (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang