Tiga Satu

39 8 0
                                    

Rivali kini berada di apartemennya. Kondisinya mulai drop kembali. Padahal saat ia memutuskan untuk meninggalkan rumah Ilyana, keadaannya sedikit membaik.

Kini dirinya sedang duduk di ruang makan. Dihadapannya macam makanan dan minuman tersedia. Untung saja selepas dari rumah Ilyana ia memutuskan untuk singgah di minimarket.

Ia mengambil sereal dan susu. Napsu makannya sedang memburuk. Namun ia berharap makanan yang ada di tangannya dapat mengisi perutnya. Dirinya memasukan suapan sereal ke mulutnya. Tak lama ia berjalan menuju wastafel di sudut ruang makan.

Huekkk.... Huekkkk

Makanan itu dimuntahkan. Tak lama perutnya terasa mual dan teraduk-aduk. Rivali menarik nafas dalam-dalam. Berusaha menghilangkan rasa mualnya. Setelah itu iya kembali ke tempat semula. Perlahan.... Dimasukkan lagi satu sendok sereal ke mulutnya. Hasilnya tak lama perutnya kembali bergejolak.

Rivali mulai lemas. Ia mutuskan memasuki kamarnya dengan satu kotak biscuit di tangannya. Diputuskan untuk istirahat di ranjangnya. Ketika ingin memejamkan mata, rasa mual hadir lagi. Dirinya bangun kembali dengan kondisi tubuh yang enak. Kotak sampah berwarna merah yang terletak di sudut kamar, ditarik hingga berada di dekat ranjangnya.

Huekkkk....

Tangannya mengambil beberapa helai tissue untuk membersihkan yang keluar dari mulutnya. Bukan makanan namun cairan yang berasa pahit. Maklum saja tidak ada satupun makanan yang masuk ke perutnya.

Setelah dirasakan perut tak bergejolak, ia memutuskan merebahkan kembali tubuhnya. Terlebih tenaga dan kekuatannya terkuras. Seraya memejamkan mata, ia memijat kecil kepalanya untuk menetralkan sakit.

Di saat itu, gawainya berbunyi. Dirinya sedikit ragu, terlihat Mama menghubunginya. Rivali mengacuhkannya. Ia berharap Mamanya tidak menghubungi kembali. Namun tak selang lama nampak, gawainya berbunyi kembali. Rivali tetap tidak meresponnya. Ia sedikit lega setelah tidak ada lagi panggilan masuk.

Rivali memang memilih tidak mengangkat panggilan itu. Ia tidak ingin sang Mama menjadi khawatir akan kondisinya. Terlebih baru kali pertama dalam hidupnya, kondisi tubuhnya drop.

*****

Rivali terbangun dari tidurnya. Dilihatnya jam yang tergantung di dinding kamarnya. 13.00.

Diangkatnya punggung hingga menyender pada ranjang. Ia melihat ke nakas di sampingnya. Segelas air pun diambilnya. Beberapa teguk air berhasil masuk ke mulutnya. Akan tetapi tak lama mual mendatanginya. Dengan segera diambil helaian tissue setelah itu membuangnya ke tempat sampah.

Dirinya tidak menyerah. Dicobanya kembali meminum dua teguk air. Hasil sama dengan sebelumnya. Namun Rivali kembali mencoba dan kembali memuntahkannya.

Ini kali pertama dirinya seperti itu. Tidak pernah hingga usianya menginjak 22 tahun mengalami keadaan yang membuatnya lemah. KECUALI memang beberapa bulan belakangan ini, waktu istirahatnya berkurang. Ia juga sering kali mengabaikan waktu makan.

Rivali pun berusaha menenangkan diri. Menghalau apa yang sedang dirasanya saat ini. Telebih Kecemasan sang Mama akan dirinya.

Ia teringat panggilan Rifana beberapa jam yang lalu. Awalnya Rivali mengabaikan semua panggilan namun hatinya menjadi tidak enak saat beberapa kali Mama dan Rifana menghubungi berkali-kali. Dirinya sudah berusaha mengontrol suaranya agar terdengar baik-baik saja. Bahkan dirinya menegaskan tidak terjadi apa-apa kepada sang Mama. Namun seperti ia tidak pandai berbohong karena tiba-tiba mual datang lagi. Suara muntahan terdengar berkali-kali. Hasilnya baik Mama dan sang kakak menjadi cemas.

Ting Tong

Lamunannya terhenti saat mendengar suara dari pintu apartemennya. Ia pun memeriksa CCTV yang terkoneski dengan televisi berlayar besar di kamarnya.

Ia terperangah saat mengetahui siapa yang sedang berdiri di depan pintu. Namun untuk memastikan pandangannya, Rivali menekan tombol suara. Terdengar nama Ilyana di sana.

****

Rivali memandang Ilyana yang berjalan dengan laki-laki berkacamata itu menuju pintu keluar kamarnya. Tak lama pintu itu kembali terbuka, Nampak perempuan itu menuju ke arahnya dengan mangkok di tangannya.

Ia melihat Ilyana merapihkan makanan, kaleng biscuit, dan apapun yang berada di kamarnya. Dirinya melihat perempuan itu keluar masuk dan berjalan ke sana sini. Peluh di tubuh itu terlihat nyata. Namun Rivali tidak dapat berbuat banyak. Terlebih sebuah jarum infusan kini berada di lengan kanannya.

Mual kembali mengoyaknya. Namun tidak seekstrim sebelumnya. Ini dikarena dokter memberikan cairan menetralisir lambung ke dalam infusannya. Di tutupnya mata dan ditariknya napas perlahan lalu dihembuskan kembali untuk menghalau apa yang dirasakannya.

Di saat itu, ia merasakan sesuatu yang lembut menyentuh keningnya. Rivali lantas membuka matanya. Terlihat Ilyana yang sedang serius menghapus keringat di wajahnya. Namun gerakan itu terhenti saat mata hazel Ilyana bertemu dengannya.

"Biar saya bantu."

Rivali mengangguk. Ia melihat Ilyana menahan punggungnya dan menempatkan beberapa bantal di belakang kepalanya. Setelah itu ia melihat perempuan itu menarik kursi di sudut ruang dan meletakkan di tepi ranjang.

"Sekarang buka mulutnya?" ujar Ilyana.

"Nanti saja... biar saya nanti makan sendiri."

Dirinya menolak halus karena tidak ingin memuntahkan bubur yang sudah dibuat Ilyana.

"Perut Kamu harus tetap diisi. Walaupun tidak enak." Ucapan Ilyana terdengar kembali.

"Tapi.... "

"Dimuntahkan? Ga pa pa... nanti makan lagi. Dokter mendiagnosis Kamu kena Typus dan sedikit bermasalah pada lambung. Jika dibiarkan akan tambah parah."

Rivali akhirnya setuju. Memang perkataan Ilyana ada benarnya.

Mulutnya dibuka saat Iyana menyuapi bubur. Tidak sampai hitungan menit, makanan itu keluar lagi. Rivali melihat dengan cepat tangan Ilyana yang berisikan tissue berada di depan mulutnya. Ia pun meminta maaf kepadanya.

"Kita coba lagi."

Ia melihat tangan Ilyana mengarah ke mulutnya dengan satu sendok bubur. Dan Rivali tidak dapat menahannya kembali. Hingga makanan itu meluncur keluar mulutnya. Sekali lagi, tangan Ilyana seolah-oleh sudah memprediksinya.

Namun Rivali melihat Ilyana kembali melakukan itu. Meskipun berkali-kali Rivali memuntahkan makanannya. Hingga benar-benar 'Habis' bubur di mangkoknya.

*****

Bersambung

Love (Selesai)Where stories live. Discover now