Delapan

35 12 0
                                    

Rivali baru saja keluar dari supermarket. Di tangannya sudah banyak bungkusan belanja bulanan sang mama. Kebetulan kuliah sedang libur dan ia memanfaatkan untuk family time. Alhasil Rifana memaksanya untuk menemani berbelanja.

"Ali, kita ngebut aja. Mau hujan tuh."

Memang saat itu cuaca sudah gelap. Sepertinya hujan akan segera turun. Rivali pun segera meninggalkan gedung itu. Tak lama hujan lebatpun turun. Jalanan sangat sepi hanya beberapa kendaraan yang lalu lalang. Namun ia hati-hati karena jarak pandang sangat terbatas.

Rivali melajukan kendaraan dengan kecepatan minimal. Tak lama kilatan petir terlihat membelah awan. Saat itulah tiba-tiba kendaraan yang berada di hadapan berhenti mendadak. Sontak saja membuat dirinya menginjak rem dengan kencang.

Dug

"Aw... Gila ya Lo. Jidat gue." Teriak Rifana seraya memukul lengan Rivali.

"Noh Liat Kak. Jangan salahin gue." Tunjuknya ke arah depan mobil.

Tit.... Tit....

Rivali menekan klakson. Namun kendaraan itu tetap diam menuju bagian tengah jalan. Tak lama suara klakson kendaraan lain pun terdengar. Anehnya kendaraan yang berhenti tiba-tiba itu tetap tak bergerak. Klakson kembali lagi terdengar.

"Kak, gue lihat dulu ya. Mungkin ada sesuatu di mobil itu." Ucap Rivali.

"Ntar dulu..... nih, pake payung. Lo hati-hati. Cepet balik ke sini. Jangan ambil tindakan sendiri."

Rivali segera keluar dari mobil. Hujan membuatnya harus hati-hati. Terlebih posisinya berada di jalur utama. Sesampainya di samping kaca mobil berhenti itu, Rivali mengetuk. Namun tidak ada respon dari dalam. Ia pun mengetuk kembali lagi. Hingga kaca jendela itu terbuka. Rivali melihat seorang perempuan yang sangat pasi. Seakan akan aliran darah tak mengaliri wajahnya. Saat yang bersamaan suara petir kembali lagi menggema dan kali ini lebih kencang. Di saat itulah Rivali melihat teriakan disertai mata yang tertutup. Tak lama dua telinga perempuan itu ditutup rapat dengan tangannya sendiri. Perempuan itu juga menyembunyikan wajahnya pada dashboard.

Tinnnn.... Tinnnn....

Suara klaskson menyadarkan dirinya.

Dengan cepat ia membuka pintu mobil melalui kaca yang terbuka. Rivali menarik perempuan itu.

"Lo ikutin kata gue. Gue akan bantu. Kasihan mobil di belakang."

Rivali melihat perempuan itu mengangguk. Tak butuh lama, perempuan itu sudah duduk kembali di samping bangku kemudi. Walaupun dengan pakaian yang sedikit basah.

"Tunggu dulu. Gue balik lagi."

Dengan cepat Rivali kembali ke mobil. Ia pun meminta sang kakak untuk mengikuti mobil itu dari belakang. Tanpa menunggu respon Rifana, Rivali pun segera kembali ke mobil putih itu.

Rivali melihat perempuan di sebelahnya masih memejamkan dan menuju telinga saat petir kembali menyambar.

"Gue bantu Lo sampai rumah, tapi Lo kasih tau alamatnya."

Suara ketakutan itu terdengar. Untung saja dirinya tau daerah yang dimaksud. Tanpa berlama-lama, ia melajukan kendaraan. Setelah tiga puluh menit kendaraan berhenti di sebuah rumah bercat putih yang berukuran lumayan besar.

"Kita dah sampai." Rivali membuka suaranya namun tidak mendapatkan respon.

"Hei.... " ucapannya terhenti saat panas tubuh perempuan itu tersentuh olehnya.

"S i s i.... Bun da ... pu lang."

Rivali mendengar ucapan pelan perempuan itu. Namun mata terpejam. Hanya keringat yang mengucur dari wajah itu. Tanpa sadar, Rivali menghapus peluh pada bahi perempuan itu. Namun dengan cepat ia menarik tangannya kembali.

Rivali terkejut saat gerbang tinggi berwarna hitam itu terbuka. Ia pun memilih melajukan kendaraan ke arah garasi yang mulai terlihat.

*****

"Em... bagaimana keadaan Bunda kamu?"

Pertanyaan itu terlontar saat melihat gadis kecil meletakkan dua gelas minuman di meja tamu.

"Alhamdulillah Om. Bunda sudah Si kasih obat penurun panas. Bunda memang seperti itu. Kalau ada petir. Tapi dalam waktu satu atau dua hari pasti sehat kembali. Terima kasih ya Om. Tante."

Celoteh Sisi, gadis kecil itu membuat hati Rivali sedikit tenang.

"Oya Om... jeruk hangatnya diminum ya. Kasihan Om juga pasti kehujanan karena menolong Bunda."

Rivali dan Rifana segera mengambil minuman itu. Dirinya senang bertemu kembali Sisi, sejak pertemuan mereka tanpa sengaja di kota Tua. Tanpa sengaja Rivali melihat wajah Ilyana pada gadis kecil di hadapannya. SERUPA. Hanya rambut Sisi lebih panjang dibandingkan Bundanya.

Taklama suara gawai dari tas Rifana berbunyi. Sepertinya Mama menelponnya. Benar saja, Rifana pun menyenggol tangannya memberikan kode.

"Baiklah Om pamit ya. Sisi berani di rumah... ?" Rivali segera menghentikan perkataannya. Entahlah apa yang membuatnya berani berucap.

"Insya Allah, kompleks ini aman Om. Kan ada Bunda." Jawab Sisi.

"Ayo Ali.... Si kembar udah nangis. Dah Sisi." Rifana pamit duluan.

"Dah... Tante Rifa."

Tak lama Rivali pun menyusul sang kakak. Namun ia segera mengambil sesuatu dari dompetnya. Sebuah kartu nama.

"Kalo ada apa-apa dengan Bunda. Hubungi Om Ali ya."

*****

Bersambung

Love (Selesai)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora