Tiga Sembilan

39 10 0
                                    

Rivali tiba kembali di kediamannya pukul lima pagi. Berkali-kali ia menguap. Untung saja ia masih fokus mengendari mobil selama dua jam. Segera diisinya bathup dengan airhangat. Ini dilakukan untuk memfreshkan tubuhnya kembali akibat belum beristirahat. Sekitar tiga puluh menit ia merelaksasi tubuhnya.

Dengan handuk yang menutupi pinggangnya, Rivali berjalan menuju lemari. Diambilnya jeans biru tua dan kaos hitam. Tak lupa kemeja putih dikenakan. Pada bagian lengan digulung hingga siku.

Langkahnya kini beralih pada pantry mini. Ia menyalakan pemanas air. Sambil menuju, ia memasukan dua sendok kopi dan gula ke dalam gelas besarnya. Tak lama suara keluar dari benda hitam itu. Kini di tangannya sudah ada kopi hitam peneman aktifitas paginya.

Tepat jam setengah tujuh, Rivali berangkat menuju proyek. Hari ini dirinya akan menyiapkan segala keperluan yang terkait dengan pembangunan hotel. Sesampainya di tempat terlihat Aditya juga baru keluar dari mobilnya.

Mereka pun berjalan bersama memasuki gedung menuju kantor kerjanya. Saat Rivali meletakkan tas di meja kerjanya terdengar nada pesan di gawainya. Senyumnya merekah saat Ilyana mengirimkan pesan bahwa sarapan yang disiapkan dirinya sudah habis.

Tok... tok...

Pintu terbuka terlihat seorang pria mendekat.

"Maaf Mas Aly. Semua sudah siap."

"Baik Pak. Sebentar lagi saya ke sana." Ujarnya.

"Saya permisi Mas. Pak Adit." Pria itu pun keluar ruangan.

"Dit, ikut?" tanyanya.

"Ga usah. Gue percaya sama Lo. Gue nunggu di sini aja. Aline mau ke sini juga." Jawab Aditya.

****

Pertemuan dengan para penanggung jawab selesai. Rivali pun bergegas menuju ruangannya. Di dalam sudah ada Aline. Terlihat perempuan itu berdiri melihatnya.

"Ly... aku bawain sarapan. Adit dan aku udah makan."

Ia melihat Aline mendekat dan menyerahkan kotak sarapan. Meletakkannya di meja kerjanya.

"Thanks ya Lin." Ujarnya seraya duduk di kursi kerjanya.

Terlihat Aline mengangguk dan kembali duduk di sofa besar. Sedangkan dirinya memilih membuka file. Tak lama Rivali menutup mulutnya yang terbuka akibat menguap. Kantuk mulai menyerangnya. Ia memilih memejamkan matanya sekitar sepuluh menitan. Biasanya cara ini akan ampuh mengusir kantuknya.

Rivali membuka matanya. Saat itu ia terkejut melihat wajah Aline berada sepuluh centi darinya. Begitu juga Aline. Belum sempat ia bangun dari duduknya. Suara keterkejutan lainnya terdengar dari arah pintu.

Ilyana.... Ujarnya dalam hati.

Perlahan dirinya mendekat. Terlihat Ilyana membuang arah wajahnya. Ia tidak ingin perempuan itu berpikiran macam-macam. Di saat bersamaan pintu terbuka dan masuklah Aditya. Setelah saling berkenalan. Aditya mengajak untuk keluar ruangan, guna menemui Mr. Rino.

Rivali melihat kekasihnya selalu menghindar. Ini membuatnya sakit. Terlebih kesedihan dan kekesalan bercampur di wajah manis Ilyana. Bahkan saat berada di lift dan menelusuri tiap lantai. Tiap ruang. Ilyana selalu mengarahkan pandangan ke arah yang lain.

*****

Setelah mandi, Rivali mengambil kaos panjang serta celana bahan. Ia pun menyambar kunci mobil. Tujuan saat ini adalah menemui Ilyana dan menjelaskan apa yang terjadi di kantor.

Tepat pukul delapan tiga puluh, Rivali tiba di hotel tempat Ilyana menginap. Ia menghubungi Ilyana namun tidak mendapatkan respons. Untung saja kala itu, Ilyana memberikan nomor kamar.

Kini dirinya tiba di lantai sepuluh. Perlahan mengikuti petunjuk kamar. Langkahnya terhenti di di kamar 101526. Ditekannya tombol pada pintu. Hampir sepuluh menit dirinya berdiri. Namun tidak ada yang meresponnya.

Hingga... Klik.

Pintu terbuka. Ia melihat Nana dilanda kecemasan.

"Ibu... Pak."

Tanpa menunggu lanjutan ucapan Nana, Rivali segera berlari menuju kamar. Ia tidak mendapati Ilyana di sana. Namun ia melihat pintu kamar mandi terbuka. Betapa paniknya mendapati kekasihnya di dalam bathtube.

Tubuh Ilyana dingin. Bibir mungil itu membiru. Kulit putihnya membuat semakin pucat. Dengan cepat ia mengangkat ke dalam kamar. Pelan-pelan diturunkannya di ranjang miliknya. Ia pun meminta Nana untuk menggantikan handuk basah Ilyana dengan pakaian kering.

Rivali izin untuk mencari pertolongan. Ia menghubungi nomor resepsionis hotel. Kemudian ia memanaskan air. Tak lama suara bel terdengar. Ia membuka pintu. Seorang wanita memperkenalkan diri sebagai tenaga medis hotel. Ia pun mengantarkan wanita itu memasuki kamar.

Wanita itu segera mengecek Ilyana. Dilepaskannya bantal pada kepala Ilyana. Posisi kaki dinaikan hingga melebihi dada. Ia melihat juga wanita itu menekan lengan serta leher Ilyana. Sebuah alat dipasangkan pada lengan atas Ilyana.

"Tidak apa-apa. Hanya Tekanan darah sangat kurang. Apakah pasien makan dengan teratur? Atau istirahat cukup?" tanya wanita itu.

"Kalau tidak salah, Ibu kemarin malam makan salad. Tadi pagi makan sereal. Tapi.... Siang dan malam ini, Ibu tidak makan. Mengeluh tidak enak badan."

Ucapan Nana menampar hati Rivali. Dirinya adalah penyebab Ilyana seperti itu.

"Bisa buatkan teh manis hangat. Supaya pasien memiliki tenaga." Ujar wanita itu seraya memberikan aroma terapi pada hidung Ilyana.

Rivali lega saat melihat kekasihnya itu menggerakan kepala perlahan. Tak lama mata indah itu terbuka. Saat bersamaan Nana datang membawa gelas yang berisikan teh hangat. Rivali ingin menyuapi Ilyana namun ia tau jika perempuannya pasti akan menolaknya.

****

Bersambung

Love (Selesai)Where stories live. Discover now