Enam Lima

38 8 0
                                    

Dingin. Itulah yang dirasakan oleh Rivali. Menatap sang istri yang selalu berada di sisinya namun ia kehilangan sesuatu pada diri Ilyana. Tidak ada lagi lontaran dari bibir mungil itu. Hanya satu dua kata saja yang terucap. Bahkan saat merawat, menyuapi, hingga membantu membersihkan tubuhnya, Ilyana tidak pernah memandang sedikit pun.

Rivali memilih diam. Ia tidak ingin menambah luas masalah ini. Biar bagaimana pun, dirinya lah yang menyebabkan ini semua terjadi. Jika saja ia pandai mengatur waktu istirahat dan pola makan tentu saja kondisi akan baik-baik saja.

"Permisi. Bapak sudah boleh pulang."

Suara perawat menghentikan kebisuaan antara dirinya dan Ilyana. Tak lama Ilyana hendak memegang kursi roda.

"Ay... jangan Kamu. Berat." Sontak saja, Rivali memegang tangan Ilyana.

"Benar Ibu. Biar saya saja."

Tak lama salah satu dari mereka mendekat ke kursi roda. Di saat itu ia melihat tatapan Ilyana penuh kekecawaan. Sepertinya sang istri salah menangkap maksud ucapannya.

"Mari saya bantu."

"Maaf suster. Saya sedang menunggu seseorang." Ucap Rivali.

Tak lama nampak Bonan dan Narto memasuki ruang perawatan. Bonan langsung mengambil alih tugas perawat yang bersiap mendorongnya. Sedangkan Narto ditugasi membawa tas yang berisi keperluan selama di rumah sakit. Setelah mengecek tidak ada yang tertinggal, para suster keluar ruangan terlebih dahulu. Lalu diikuti oleh Narto, Bonan, dan sang istri.

****

Dipandangi Ilyana yang sedari tadi memejamkan mata. Ia tau jika sang istri tidak tidur. Entah sampai kapan... mereka seperti ini. Bukannya Rivali tidak ingin menjelaskan apa yang terjadi antara dirinya dengan Raisya. Namun melihat keadaan Ilyana, ia tidak ingin menambah masalahnya. Ia akan membicarakan semuanya jika Ilyana benar-benar siap diajak bicara.

Sisi lain pertemuan tak sengaja antara sang istri dengan anak pak Marko bagi Rivali adalah positif. Di situlah ia mengenalkan kepada Raisya, siapa istrinya. Bagaimanapun Rivali sedikit banyak tau perasaan gadis itu kepadanya. Ia ingin menghentikan semuanya. Mungkin ini sudah jalan Tuhan. Gadis itu mengetahui statusnya.

Akan tetapi lain halnya untuk Ilyana. Sang istri nampak terkejut. Bahkan ekspresi ketakutan pada diri Ilyana begitu terlihat. Hal ini mengingatkan dirinya pada pertemuan-pertemuan awal dengan sang istri. Begitu dingin.

"Maaf Pak. Kita sudah sampai."

Suara Narto menyadarkan lamunannya. Ia melihat Ilyana sudah membuka pintunya.

"Tolong bantu Bapak ke kamar."

"Baik Bu."

"Tidak usah. Saya bisa jalan sendiri. Itung-itung olah raga. Kalian bawa saja barang-barang serahkan ke Bibi ya."

Rivali keluar dari mobil. Tubuhnya masih sedikit lemas. Namun ia mencoba untuk kuat. Pulang ke rumah adalah vitamin ampuh yang tidak dapat dibeli dimanapun. Bertemu seluruh orang yang dicintainya.

Daddy....

Teriakan serta pelukan Sisi membuat hati Rivali menghangat. Ia bersyukur mendapatkan Sisi yang begitu menghormati dan menyayanginya. Bahkan anak gadisnya selalu menceritakan keadaan teman-teman di sekolahnya.

"Maaf ya Si ga jagain Daddy di rumah sakit karena lagi banyak tambahan materi. Tapi Daddy udah sehat ya. Bilang ke Sisi kalau Daddy mau makan apa?"

Celotehan Sisi membuat Rivali tersenyum. Lalu ia pun mengangguk.

"Jagoan Daddy tidur ya?"

"Lagi disuapi sama suster Dad."

***

Sehabis melihat Keenan, Keynaro, dan Kenzo, Rivali tidak mendapatkan Ilyana di dalam kamar. Namun matanya menangkap pintu balkon sedikit terbuka. Ia berjalan mendekat. Nampak sang istri menatap ke langit malam.

"Kenapa tidak di dalam?" tanyanya.

Ia melihat Ilyana menoleh. Lalu, sang istri hendak memasuki kamar. Pencahayaan yang kurang dapat menangkap mata sembab itu. Melihat sang istri seperti itu, Rivali teriris-iris. Bagaimana bisa ia menyebabkan ibu dari anak-anaknya terluka.

"Maafkan Aku, Sayang. Jangan seperti ini. Kamu boleh marah. Luapkan semua kekesalan Kamu... jangan dipendam sendiri. Melukai diri Kamu sendiri."

Rivali memeluk tubuh Ilyana. Perempuan itu masih terdiam. Kaku. Sadar dengan kondisi yang terjadi, Rivali semakin memeluk tubuh sang istri. Entah luka sedalam apa yang telah ditancapkan.

Perlahan dirinya merasakan hujan turun. Sedikit demi sedikit membasahi kepala hingga tubuh bagian belakang.

"Lepaskan."

"Kondisi Kamu masih belum pulih betul."

Suara Ilyana terdengar. Bahkan tangan mungil itu berusaha melepaskan diri. Rivali memilih bertahan. Ia tidak ingin masalh ini menguap begitu saja. Bagaimana pun dirinya tidak tenang atas sikap sang istri yang menutup diri dalam dalam.

"KITA sakit sama-sama." Ucap Rivali.

"Hah... jangan bodoh. Kamu baru pulang dari rumah sakit. Dokter bilang harus banyak istirahat."

Hujan semakin deras. Rivali memilih masih bertahan. Namun ia menyembunyikan tubuh mungil istrinya dalam dekapannya.

"Ayoo masuk. Hujan tambah deras." Ucap Ilyana.

Rivali memilih untuk tetap di tempatnya.

"Jangan kayak anak kecil. Masuk ke kamar. Aku siapkan air hangat."

Mendengar ucapan Ilyana yang meninggi, Rivali sontak merenggangkan pelukannya. Ia pun menatap wajah Ilyana yang terlihat khawatir. Mata indah nampak berkaca-kaca dan penuh harap kepadanya.

"Please, masuklah ke kamar."

Rivali melihat airmata meluncur dari sang istri. Namun satu sisi ia bahagia, sang istri tidak dingin lagi kepadanya. Rivali mengangkat tubuh istrinya hingga sejajar dengannya. Lalu perlahan menyentuh bibir merah sang istri.

Terima kasih Sayang, I love you so much. Kamu... buat Aku, segalanya. Aku tidak akan menukar dengan apapun. Tidak ada harta yang paling berharga buat Aku selain, Kamu dan anak-anak. Kamu ... Hanya Kamu, Sayang.

Sekali lagi Rivali meletakkan bibirnya. Memberikan pembuktian kepada Ilyana. Perempuan yang selalu membuatnya bahagia. Perempuan yang mendatangkan jutaan kupu-kupu kepadanya. Bahkan membuatnya jatuh cinta layaknya laki-laki yang baru mengenal cinta.

****

Bersambung

Love (Selesai)Where stories live. Discover now