Empat Tiga

30 9 0
                                    

Rivali baru menyelesaikan laporan yang dibutuhkan terkait proyek yang ditanganinya. Barang-barang di meja kerjanya sudah dirapihkan. Ia memastikan tidak ada yang tertinggal sebelum meninggalkan Bali.

Ting

Tangannya mengambil gawai yang berada di saku kemeja birunya. Terlihat calon istrinya mengirimkan pesan.

Bapak dan Ibu sudah sampai rumah. Beliau menanyakan kamu...

Dengan cepat Rivali mengetikan sesuatu

Alhamdulillah. Salam buat Bapak Ibu. Kamu ga tanyain kabar calon suami ini? Ujarnya dengan memberikan emot.

Tak lama pesan kembali masuk

Aliiiii

Iya Sayang

Ia pasti akan bahagia saat melihat langsung ekspresi.

Udah ah. Becanda melulu. Aku mau siapin makan siang dulu ya. Kamu jangan lupa makan ya.

Rivali tersenyum membaca pesan terakhir Ilyana kepadanya. Dirinya semakin yakin jika Ilyana adalah pilihan yang tepat untuk hidupnya.

Menyangkut orang tua Ilyana, pikirannya pun memutar memori dua minggu yang lalu.

Berjalan keluar dari Bandara. Dengan cepat menuju kendaraan yang sudah dipesannya. Ia pun memberitahukan alamat yang dimaksud.

Sekitar dua jam, ia sampai di sebuah rumah kayu yang sangat besar. Terlihat aktifitas puluhan orang di halaman rumah yang asri itu.

Berjalan mendekat ke kerumunan orang.

Assalamualaikum... ujarnya.

Sontak saja orang-orang itu menoleh dan membalas salamnya. Terlihat pria paruh baya berdiri dan mendekatinya.

"Nak Ali!"

"Iya Pak. Ini Ali." Ucapnya seraya mencium tangan pria berkopiah itu.

"Alhamdulillah... sampai juga. Ayo masuk... "

Rivali pun mengikuti langkah pria itu memasuki ruang tamu yang besar.

"Duduklah. Biar Bapak panggil dulu Ibu."

Pria itu berjalan menuju ruang lainnya. Tak lama seorang laki-laki yang mungkin seusia dengannya datang membawakan minuman serta rebusan singkong.

Saat yang sama dari jauh, ia melihat pria tadi berjalan dengan perempuan berkerudung hijau. Melihat itu dirinya pun segera berdiri menyambutnya. Betapa terkejutnya Rivali saat perempuan itu memeluk dan menangis.

"Ibu bahagia, Nak Ali. Ini doa Ibu setiap malam agar Ily mendapatkan pendamping yang baik. Sudah waktunya putri Ibu BAHAGIA."

Rivali tidak mampu berkata apapun. Namun ia merasakan kedua orang tua Ilyana menaruh banyak harapan pada dirinya. Betapa bersyukur dirinya mendapatkan respon yang baik dari mereka.

"Bu, Ali yang paling bahagia di sini. Diterima dengan baik oleh Ibu dan Bapak. Doakan Ali biar bisa membahagiakan Ilyana, Sisi, Ibu, dan juga Ayah." Ujarnya.

*****

Rivali baru saja menyelesaikan makan malamnya. Kini mereka berada di halaman belakang. Setelah Mereka pun duduk di bangku kayu panjang dengan alas busa. Pemandangan indah terpampang di hadapan Rivali. Pasalnya area belakang rumah adalah hamparan padi yang samar terpapar oleh lampu-lampu.

"Ali minta maaf saat melamar Ilyana tanpa membicarakannya ke Bapak dan Ibu terlebih dahulu." Ujarnya.

"Kami tidak apa-apa Nak. Mendengar lewat telepon saja Kami bahagia." ucap Bapak.

"Jadi kapan acaranya mas?" tanya laki-laki yang tadi menyuguhkan minum untuknya.

"Awal Bulan depan. Mohon doa dan restu dari Bapak dan Ibu." Rivali melihat ke arah Bapak, Ibu meminta persetujuaan.

Allhamdulillah

Teriak syukur dari orang-orang yang berada di halaman belakang. Melihatnya Rivali terharu. Bahkan ia melihat tangan Ibu menghapus airmata dari matanya. Namun senyuman diperlihatkan perempuan berkerudung itu.

Ia berharap segala airmata itu adalah tangisan kebahagiaan.

"Sekalian Ali minta maaf, untuk acara ini Ilyana memintanya di Jakarta. Ali rasa Ilyana punya alasan dan Ali menghargai itu."

"Bapak menyerahkan semuanya ke Ilyana. Apapun yang membuatnya bahagia, Kami semua ikut Bahagia."

"Oya... silakan Dodit dan yang lain datang. Kami akan senang." Ujarnya.

"Insya Allah kalo aku nda ada kegiatan. Pasti datang. Doaku buat Mas dan Mba Ily." Ujar laki-laki yang duduk di sebelah Bapak.

Tak lama seorang perempuan paruhbaya mendekat di meja panjang itu.

"Diminum tehnya biar hangat. Maklum kalo di sini dingin." Ujar Ibu seraya menuangkan ke gelas gelas di meja.

Rivali pun mengangguk dan menyeruput perlahan. Kehangatan perlahan turun melalui tenggorokannya. Aroma khas teh melati membuatnya rileks.

"Besok penerbangan jam berapa?" tanya Bapak.

"Jam sepuluh, Pak. Ali juga minta maaf tidak bisa lama. Karena harus menyelesaikan pekerjaan ini." Ucapnya.

"Tidak apa. Kami paham. Kami malah senang, nak Ali berkunjung ke sini. Awalnya Bapak nda percaya kalo Nak Ali akan datang. Terlebih tanpa Ily." Lanjut Bapak.

"Ali yang minta maaf baru dapat berkunjung dan bertemu Ibu juga Bapak. Bahkan saat melamar Ilyana juga tanpa memberitahukan terlebih dahulu."

****

Sekitar jam tujuh pagi, Rivali pamit. Diciumnya punggung tangan kedua orang tua itu. Setelah itu ia memasuki mobil yang terparkir. Rivali memilih duduk di samping Dodit.

"Aku jadi ga enak, ganggu kegiatan Kamu." Ucap Rivali.

"Ga Mas. Kebetulan kalau pagi, para petani belum berkumpul di rumah Pa dhe Bowo." Ucap Dodit seraya memperhatikan kondisi jalan.

"Kabar Mba Ily akan menikah bukan hanya kebahagiaan Pa dhe dan Bu dhe aja. Tetapi kebahagiaan keluar besar KAMI. Mba Ily sudah ku anggap sebagai kakak. Bahkan KAMI juga bersedih bersama."

Rivali melihat mata Dodit berkaca-kaca. Tergambar olehnya bagaimana Ilyana dan keluarga menghadapi masa sulit saat ini. Menerima cobaan besar tanpa pernah diduga. Bahkan Ilyana pergi jauh dari keluarganya agar tidak ikut merasakan penderitaan itu. Membayangkan itu Rivali sesak.

"Mas... tolong bahagiakan Mba Ily. Dia orang baik. Mungkin Mas Ali melihat Mba Ily, seseorang yang kuat. Tapi bagaimana pun kuatnya... Mba Ily sesungguhnya lemah. Memang Mba Ilya pandai menyembunykan semua masalah yang dihadapi karena semata-mata tidak ingin membuat kedua orang tuanya bersedih."

****

Bersambung

Love (Selesai)Where stories live. Discover now