Lima Dua

37 10 0
                                    

Pagi-pagi sekali, sang istri menghubunginya. Nampak wajah cantiknya sedikit kesal. Pasalnya dari bibir sang istri mengalir bahwa seluruh pakaian kesayangannya sudah tidak bisa digunakan. Bahkan di ranjang sang istri puluhan pakaian bertebaran.

"Sayang.... Kamu diam aja sihhhh!" suara sang istri terdengar dengan kekuatan penuh pada pendengarannya. 

"Nanti KITA beli baju baru ya, Sayang." Ujar Rivali seraya mengancingkan kemeja birunya.

"Berarti aku GENDUT!!"

Rivali terdiam sejenak. Ia tidak ingin salah dalam berkata. Entahlah akhir-akhir ini Ilyana lebih perasa.

"Tuh kan Kamu diam. BENARKAN AKU GENDUT!"

Wajah sang istri kesal namun ia melihat mata hazel itu berkaca-kaca. Ekspresi ini membuat Rivali menghentikan aktivitasnya sejenak dan duduk di ujung ranjang miliknya.

"Ay... Apapun Kamu...  Ay... . "

Ia terkejut saat melihat sang istri mematikan percakapan. Ia pun menghubungi kembali dan tidak ada balasan. Rivali tak patah semangat ia pun menghubungi Ilyana namun hasilnya tetap sama. Ia pun segera menghubungi rumah. Terdengar suara Bi Nah dari seberang sana. Mengatakan kalo Ilyana baru saja berangkat ke kantor dengan Bonan.

Tentang Bonan, keponakan sopir Mama, Ia sengaja mempekerjakan laki-laki itu untuk mengantar jemput sang istri dan Sisi. Pasalnya putrinya berangkat lebih awal ke sekolah. Sehingga ia kasihan jika Ilyana harus bolak balik. Mengingat jarak antara rumah dan sekolah satu jam. Dari sekolah ke kantor juga satu jam. Belum lagi terjebak kemacetan parah.

Saat ini waktu menunjukkan pukul 12 siang

Rivali menghubungi Ilyana untuk mengingatkan makan siang. Namun tidak ada jawabannya. Ia juga mengirimkan pesan namun hanya ceklist satu saja. Ini tidak seperti biasanya. Walaupun Ilyana sedang kesal ataupun malas berbicara dengannya namun gawainya selalu aktif.

Ia pun menghubungi kantor. Nana mengatakan bahwa Ilyana sedari tiba di ruangan memilih mengunci pintu dan mengatakan tidak ingin siapapun mengganggunya. Rivali pun meminta Nana untuk memesankan makanan buat istrinya.

*****

Berada di proyek dengan cuaca panas membuatnya Berkali-kali menghapus keringat yang membasahi wajah dan rahangnya. Ditambah Bulu yang menutupinya sehingga keringat tak mudah menguap. Seharian ini juga ia berada diterik matahari.

Tok.... Tok...

Berjalan masuk pria berkacamata hitam. Kemudian duduk di hadapannya.

"Li... ntar KITA mau pada keluar. Lo ikutan?"

"Ga deh, Nik. Gue mau siapin laporan buat Mr. Marko. Salam aja buat anak-anak." Ujarnya.

"Kenapa ga nyuruh Meri buat laporan. Dia kan bisa diandalkan."

Rivali melihat Niko dengan saksama. Tiga bulan mengenal pria itu membuat Rivali tau betapa gigihnya orang itu. Ini bukan kali pertama Niko mengajak 'nongkrong'. Namun dirinya sendiri bukanlah tipe laki-laki yang menghabiskan waktu di luar untuk hal yang tidak terlalu urgen.

"Lain kali aja ya. Gue ga bisa untuk saat ini." Ujarnya.

"Oke." Niko pun segera berdiri dan keluar dari ruangannya.

Melirik jam di tangannya.... Segera saja Rivali merapihkan mejanya. Lalu mengambil tas kecilnya dan meninggalkan ruangan. Suasana di luar sudah sepi. Memang dirinya membatasi jam kerja hanya sampai jam lima sore.

Rivali berjalan menuju parkiran. Dua orang penjaga proyek yang berada di area parkir menyambutnya. Ia pun membalas dengan anggukan dan memasuki mobil. Tak lama ia meninggalkan proyek.

*****

Rivali baru saja menyelesaikan laporan bulanannya. Besok ia akan mengadakan pertemuan untuk melaporkan progress pembangunan RS. Ia pun bangun dari duduknya dan menggerakan kepalanya.

Ia kemudian berjalan mengambil minum di pantry. Tanpa sadar matanya melihat jam yang menunjukkan pukul Sebelas malam. Ia pun berjalan kembali ke kamarnya dan mendapati suara panggilan pada gawainya.

Hatinya menciut. Karena telepon rumah jarang digunakan. Ia dan Ilyana juga Sisi lebih menggunakan gawainya untuk berkomunikasi.

Terdengar suara Bi Nah menangis. Sontak Rivali cemas dan ketakutan. Tak lama terdengar suara Mama mengambil alih percakapan itu. Cerita Mama membuat seketika nyawanya tercabut dari tubuhnya. Sang istri tak sadarkan diri depan pintu kamar mandi. Kini ILyana sedang diperiksa oleh dr Abidin.

Rivali menahan perih dan kekecawaan pada dirinya sendiri. Mengapa ia tidak peka menangkap hal lain dari sang istri. Ia pun meminta Mama terus mengabarinya.

Memorinya berputar ke peristiwa sebelumnya.

Ia ingat sekitar jam setengah delapan, Sisi menelponnya dan mengatakan sang Bunda tidak keluar kamar.

"Daddy.... Bunda ga keluar kamar pas makan malam. Padahal Sisi udah ketok kamar Bunda tapi ga dibuka. Bi Nah dan Bi Narti juga udah bujuk Bunda.... Tapi tetap ga ada jawaban. Sisi khawatir karena sudah dua hari Bunda seperti ini."

Ia pun segera menghubungi rumah. Terdengar suara Mba Narti. Dari kejauhan ia juga mendengar Sisi dan Bi Nah memanggil nama sang istri diselingi suara ketukan.

Rivali yang menghubungi gawai sang istri pun tidak bisa.  Mungkin ada masalah dengan alat komunikasi itu. Namun tepat jam Sembilan malam, ia mendapatkan sang istri membuka kamarnya dan Mba Narti membawakan makan malamnya.

Ia menyadarkan diri dari lamunannya. Sebuah pesan dikirimkan kepada Mira untuk menghandel pertemuan esok. Dikirimnya file yang baru saja dikerjakannya. Tangannya pun segera menekan aplikasi pemesanan tiket penebangan pertama ke Jakarta.

*****

Bersambung

Love (Selesai)Where stories live. Discover now