Tiga Belas

33 10 0
                                    

Rivali terlihat bahagia saat sidangnya selesai hari ini dan dengan hasil memuaskan. Walaupun jadwalnya maju sekitar dua mingguan dari semula. Ia tetap bersyukur. Usaha selama hampir empat tahun berjalan selesai juga.

Getaran di kantong celananya membuat ia menghentikan ia menyentuh starter mobil.

Kak Ana calling....

"Waalaikumsalam Kak. Alhamdulillah sudah selesai. Ini Ali mau langsung pulang."

...

"Oh... ya udah. Dimana?"

....

"Gue langsung ke sana aja ya."

....

Rivali meletakkan kembali gawainya. Ia pun segera meninggalkan kampusnya. Diliriknya jam pada mobilnya. 11.00. Waktu yang cukup untuk menuju alamat yang di maksud. Maklum saja, jarak antara kampus dengan resto lumayan jauh. Kisaran satu jam an.

Memasuki wilayah pusat Jakarta membuat dirinya harus melajukan lambat kendaraannya. Hal ini biasa terjadi pada saat menuju jam makan siang. Rivali mengikuti alur kendaraan yang sepertinya akan menuju tempat yang sama dengannya.

Resto yang dipilih Rifana memang the best. Bukan hanya makanan yang enak. Namun tempat dan suasana di dalamnya memang benar-benar membuat para pengunjung betah. Sehingga pemilik resto membatasi waktu pengunjung khususnya saat makan siang dan malam.

Untung saja ia sudah mereservasi tempat itu. Sehingga mendapatkan area untuk parkir. Karena resto ini umumnya pengunjung memesan via telepon untuk reservasi tempat. Pengunjung datang sesuai waktunya. Walaupun resto menyiapkan tempat untuk pengunjung dadakan dengan resiko mengantri.

Saat keluar dari mobil sebuah panggilan masuk terdengar. Rivali segera mengangkatnya saat melihat siapa yang menghubunginya. Namun wajahnya sedikit berubah saat mendengar bahwa Mama dan Rifana meminta diundur makan siangnya. Setelah pembicaraan selesai dirinya bergegas menuju meja reservasi untuk mencancel.

Rivali berjalan menuju pintu resto dengan cepat. Di saat itulah ia merasakan sesuatu menghantam dadanya yang berbalut kemeja putih itu. Dengan cepat Rivali melihat siapakah yang 'bertabrakan dengannya'.

"Maaf Anda tidak apa-apa?" ujarnya.

Betapa terkejutnya melihat siapa yang kini di hadapannya. Pertemuan kesekian kali dengan peristiwa yang serupa. Ia melihat perempuan di hadapannya tak kalah terkejut.

"Bu... "

Suara itu membuat Rivali dan perempuan di hadapannya sama-sama menoleh. Seorang perempuan berkerudung mendekat.

"Maaf Bu, di sana ada kursi kosong. Masih sekitar 30 menit lagi." Suara perempuan itu terdengar kembali.

"Oke.... Kita ke sana."

Rivali mencoba mencerna pembicaraan mereka. Sepertinya ia menangkap kalimat tersebut.

"Tunggu." Ujar Rivali.

*****

Rivali menyelesaikan makan siangnya. Namun ia melihat perempuan di hadapannya hanya mengaduk-aduk saja mangkok yang berisi mie itu. Ia pun menanyakan apakah perlu dipesankan menu yang lain. Namun perempuan itu menolaknya.

"Bu... maaf saya ke toilet sebentar."

Ia melihat perempuan berkerudung itu meninggalkan kursinya. Rivali melihat perempuan yang di hadapannya menyentuh mangkok dan memasukan sendok ke mulutnya. Namun tiba-tiba, wajah perempuan itu memerah karena tersedak.

Rivali memberikan gelas. Perempuan itu segera mengambil tanpa berkata apa-apa. Namun ia dapat menangkap pasti tenggorokan, hidung, dan telinga perempuan dalam keadaan tidak baik.

"Masih tidak enak?"

Perempuan itu mengangguk. Namun itulah yang ia rasakan. Rivali memberikan gelas miliknya yang memang ia pesan untuk menetralisir aroma kencang mie asal Korea itu. Perlahan wajah memerah perempuan itu kembali normal.

Waktu menunjukan pukul 12.30

Kendaraan yang dikemudikan oleh Rivali berhenti di sebuah gedung perkantoran. Dari pintu penumpang belakang perempuan berkerudung turun seraya mengucapkan terima kasih kepadanya.

Rivali menahan lengan perempuan yang sedang mencoba membuka pintu di sampingnya. Ia mengucapkan terima kasih karena telah menemaninya makan siang. Namun reaksi yang berbeda ditampilkan oleh perempuan itu.

*****

Bersambung

Love (Selesai)Where stories live. Discover now