30. Malam penuh kegelapan

Start from the beginning
                                    

"Mungkin Luna bisa merasa sedikit lega kalo Om kasih tahu alasan di balik aturan aneh itu. Tapi selama ini Om cuma bisa menciptakan tanda tanya yang semakin bertambah setiap detiknya."

Darma tidak mengedipkan matanya, tidak mengerakkan tubuhnya walaupun tangannya sudah terasa sangat gatal, tidak juga membuka mulutnya yang mendadak terkatup rapat.

Luna tidak boleh tahu alasannya, semua orang tidak boleh tahu. Darma juga tidak akan membeberkan alasannya sekalipun terhadap Pamela. Tidak boleh ada yang tahu, seorang pun tidak boleh.

"Memang semua kata tanya belum tentu ada jawabannya, tapi apa guna tanda tanya kalau bukan untuk mendapat jawaban?" Rio tahu ia sudah kelewatan dan tidak sopan. Tapi ia juga tahu jika Luna tidak bisa terus dikekang seperti itu.

"Jangan marahin Luna, Om," pinta Rio dengan tatapan sedu, suaranya amat lirih seakan menyiratkan sebuah permohonan yang benar-benar ia harapkan. "Jangan sakiti dia... kalo Om mau marah, silahkan marah sama saya. Silahkan kalo Om mau mukulin saya. Silahkan Om lakukan apa yang Om mau... tapi jangan Luna, Om." Suara cowok tanpa ikat kepala itu terdengar lirih di akhir kalimat.

Darma menggeram tertahan, sebelum akhirnya berhasil membuka mulutnya. "Kamu sudah memberikan pengaruh buruk terhadap anak saya... jauhi Luna."

"Kalau memang Om mau Luna hancur," sahut Rio cepat dengan begitu percaya diri. "Om mungkin bisa lihat Luna hancur, tapi saya enggak, Om."

"Om harus berhenti atau nggak secara perlahan Luna akan jadi seorang introvert yang terlanjur nggak suka bersosialisasi," ucap cowok tanpa ikat kepala itu lagi.

Darma tersenyum sinis, amat tipis dan tidak layak disebut senyum sinis sebenarnya, tapi itulah yang berhasil Rio tangkap dari tatapan matanya.

Apa yang diucapkan bocah ingusan ini ada untungnya juga ternyata. Jika memang begitu, Luna pasti tidak perlu lagi mencoba-coba keluar rumah karena anak gadisnya itu tidak menyukai keramaian.

"Bisa jadi Om nganggep kalo itu hal menguntungkan," tutur Rio seolah membaca pikiran Darma. "Tapi nyatanya enggak sama sekali. Nggak enak kalo apa yang mereka lihat sama sekali nggak sesuai sama kebenarannya."

Ternyata bocah ingusan di hadapannya ini juga sok mengerti tentang kehidupan.

"Itu sama aja kayak... yah, contohnya kalo Om tiba-tiba aja diklaim sebagai orang tua yang nggak berhasil didik anak karena kelakuan Luna yang kelihatan liar."

Selain itu, bocah ingusan itu juga menuduhnya yang tidak-tidak. Sungguh, kurang ajar!

"Padahal nyatanya Om udah bikin peraturan seketat mungkin biar hal-hal yang nggak diinginkan terjadi. Tapi justru orang-orang yang nggak ngerti malah menilai gitu aja dengan mudah."

Tapi tidak bisa dipungkiri jika apa yang diocehkan bocah ingusan itu ada benarnya.

Seperti seorang introvert yang sering dianggap sombong, angkuh, dan juga tidak sopan. Padahal belum tentu mereka seperti itu.

"Maaf Om, tapi saya mohon mulai sekarang Om bisa sedikit terbuka dan berdamai dengan dunia kebebasan yang masih dalam lingkup aturan. Bebas bukan berarti tanpa aturan." Cowok tanpa ikat kepala itu mengambil bunga krisan yang masih tergeletak di bawah motornya.

"Tolong kasihin Luna, Om. Ini punya dia," pinta Rio dengan santai sembari menyodorkan satu pot bunga krisan warna ungu.

Bocah ingusan ini benar-benar tidak tahu malu! Tapi entah bagaimana ceritanya, Darma tetap menjulurkan tangannya, menerima bunga krisan tersebut sebelum akhirnya segera masuk dan bergegas menutup gerbang rumahnya tanpa mengatakan apa pun.

 BLUE [Completed]Where stories live. Discover now