○41○End

2.3K 141 17
                                    

× bahwa kau adalah hari demi hariku ×

******
Hampir satu tahun penuh sosok Akbar Raka Buana tidak pernah menampakkan senyumnya pada siapapun termasuk teman-temannya. Dia bilang dia tidak ingin menipu perasaannya yang masih kalut dengan kejadian pergi nya Bintang.

Jangan tanyakan siapa yang paling susah untuk di ajak pulang dari makam saat itu. Tentu saja Akbar. Laki-laki itu tak henti-hentinya menatap nisan bertuliskan Bintang Rinda Ayu dengan tatapan yang sangat sendu.

Bahkan Nabila atau mamanya pun tidak bisa membujuk Akbar untuk pulang. Beruntung dengan sedikit ucapan penenang yang dikatakan Adiba Akbar mau pulang walaupun keesokan harinya laki-laki itu tetap kembali menatap makam baru itu dengan lamat.

Perasaan Adiba teriris melihat itu. Adiba tahu Akbar adalah seseorang yang paling merasa kehilangan disini tetapi tidakkah ia mencoba untuk ikhlas agar Bintang di sana bisa tersenyum lega.

"Eh kak Akbar kemana? Enggak ikut ke kantin lagi?" tanya Tari pada double B.

"Enggak. Lo tahu lah hampir setahun ini dia jarang ke kantin bahkan buat ngomong aja masih kayak mau kayak enggak," saut Brama.

"Sebegitu terpukulnya dia. Kasian gue liatnya," lanjut Bima.

Adiba menghela nafasnya sambil mengaduk es teh di depannya, "Apa yang harus kita lakuin supaya dia bisa senyum kaya dulu."

"Itu mah cuma lo yang bisa Dib," ucap Brama membuat Adiba mengerenyit, "Akbar mau ngomong atau cerita sedikit aja sama lo pastinya lo bisa buat dia senyum lagi," lanjutnya.

Adiba terkekeh, "Enggak gitu konsepnya kak. Adiba emang bisa buat dia mau cerita segala tentang kegelisahan dia. Tapi untuk buat dia senyum Adiba udah coba dan itu enggak pernah berhasil," ucap Adiba. Memang belakangan ini Adiba sering membuka google dan mencari tahu bagaimana caranya agar seseorang bisa tersenyum.

Tetapi tetap gagal semua.

"Dia belum makan dari pagi. Lo aja sana Dib yang ngasih apa kek roti mungkin. Kalo gue yang ngasih gabakal di ambil juga," ucap Bima teringat saat Akbar bilang ia terlambat karena bangun kesiangan dan tidak sempat sarapan.

Adiba mengangguk, "Iya."

Adiba berjalan sambil membawa satu bungkus roti coklat kesukaan Akbar dan botol minum berwarna biru mudanya. Sesekali Adiba meyakinkan hatinya kalau Akbar mau bicara padanya. Memang Akbar mau bicara padanya tetapi entah kenapa rasanya Adiba gugup ketika mengajak laki-laki itu bicara.

Adiba menghentikan langkahnya di belakang bangku yang tengah di duduki seseorang itu. Tempat itu sekarang menjadi tempat favorit Akbar menyendiri dan entah kenapa tidak ada juga yang berani duduk di situ. Mungkin takut di usir oleh Akbar?

"Kak.." panggil Adiba membuat laki-laki itu menengok ke arahnya lalu kembali menatap ke depan sana.

Adiba tersenyum kecil lalu duduk di samping Akbar, "Kakak tadi pagi belum sarapan? Kenapa enggak makan siang di kantin? Emang enggak laper?" tanya Adiba bertubi-tubi. Kesal juga Adiba melihat Akbar tidak perduli pada dirinya sendiri begini.

"Enggak."

Adiba mendengus, "Adiba tau kakak bohong," ucap Adiba.

"Enggak."

"Ayo kekantin."

"Enggak."

"Kakak laper kan?"

"Enggak."

"Yaudah ayo kalo laper."

"Enggak Adiba," saut Akbar.

"Enggak apa? Enggak salah lagi kan laper? Ayo ke kantin ya," bujuk Adiba tetapi dibalas gelengan oleh Akbar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 13, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Zero O'clock (Completed✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang