28. Asterales

Beginne am Anfang
                                    

Tapi tidak lagi, karena ia kini sudah berdiri di depan cermin setelah mengganti baju. Kakinya dibalut celana jeans panjang, tubuhnya terbungkus hoodie dengan kaos pendek di dalamnya.

Kali ini, Luna memutuskan untuk menggerai rambutnya agar terlihat sedikit feminim. Juga sebagai bentuk kewaspadaan jika nanti Rio kembali menciptakan blush on alami di pipinya.

Setelah selesai, ia segera berlari secepat mungkin menuju teras rumah. Merasa beruntung karena ia tidak jatuh di tangga dan menyebabkannya amnesia.

Keningnya mengerut, kembali merasa penasaran dengan Rio dan Mamanya yang tampak sangat akrab.

"Pinjem Luna-nya lagi ya, Tante," ijin cowok itu setelah menyadari keberadaan Luna.

Rio menarik lengan Luna begitu saja setelah urusan perijinannya selesai. Membawanya masuk ke dalam rumah cowok itu.

"Kita mau ke mana, sih?" tanya Luna meminta penjelasan lebih saat Rio masih saja menarik tangannya.

"Udah, ikut aja."

Gadis bersurai lurus itu menatap heran ke arah motor besar yang ada di depan garasi. Bertambah heran saat Rio membawanya mendekat ke arah motor tersebut.

"Lho... kok?"

Rio menoleh, tersenyum tipis tanpa mengatakan apa pun. Cowok itu melepaskan tangannya dari pergelangan Luna setelah sampai di dekat motor besar itu.

"Kenapa kamu nggak pake iket kepala?"

"Karena mau, mungkin," jawab Rio terdengar tak yakin sembari memasangkan helm di kepala Luna.

"Kenapa kita naik motor?" Luna memegang lengan Rio yang tengah mengaitkan helm, mengisyaratkan cowok itu untuk berhenti melakukan aksinya.

Rio harus tahu jika Luna tidak suka naik motor atau pun mobil. Ia juga tak suka dengan benda yang sudah bertengger di atas kepalanya. Bertambah tak suka karena mengingatkannya dengan sosok Helma.

"Karena harus." Rio mulai menaiki motor tersebut setelah selesai memasangkan helm di kepala Luna dengan sedikit paksaan halus.

"Kenapa nggak jalan kaki aja?"

"Nggak bisa, Na."

"Ya udah deh, naik sepeda," nego Luna bersikeras.

"Itu nggak bisa juga."

"Aku deh yang di depan."

"Boleh aja." Cowok tanpa ikat kepala itu beralih memakai helm full facenya. Membuat Luna menyimpulkan sesuatu jika Rio melupakan ikat kepalanya karena ia tak mau ikat kepala biru terang itu merosot turun saat memakai helm. "Tapi aku nggak bakal mau."

"Aku nggak mau naik motor, Yo," rengek Luna. Tak menyetujui sama sekali kemauan cowok tanpa ikat kepala itu.

Rio menoleh, matanya menyipit. Luna bisa menebak jika cowok itu tengah tersenyum di balik helmnya. "Nggak usah takut," ucapnya menenangkan, masih dengan suara lembut yang tidak pernah menghilang.

"Aku emang udah lama nggak naik motor. Tapi aku masih inget kok kalo ini gas," lanjut Rio menjelaskan sembari menghidupkan motornya. "Kalo yang ini rem." Cowok tanpa ikat kepala itu menunjukkan letak rem. "Ahh, iya! Kalo ini klakson. Ada bunyi-bunyinya, bagus deh, coba dengerin." Rio beralih memencet klakson. Menimbulkan sebuah bunyi yang tidak Luna suka.

Luna bukan bocah TK yang tidak mengerti semua itu. Tapi sepertinya Rio menganggap Luna layaknya bayi merah yang baru saja lahir di bumi.

"Ayo." Sebuah lengan kekar terulur, meminta Luna untuk segera naik sebelum malam kian larut.

 BLUE [Completed]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt