26. Tiga cahaya malam

Start from the beginning
                                    

Mungkin benar, sekarang Luna hanya berhak memasang telinga tanpa buka mulut. Sekarang ini, Rio hanya butuh didengarkan, dan juga pelukannya mungkin.

Ingin didengarkan tanpa mau mendengarkan, ingin dimengerti tanpa mau mengerti, ingin dilihat tapi tak mau melihat, ingin diingat tapi tak mau mengingat. Begitu, kan, manusia? Kadang sering lupa timbal balik yang setara. Luna harap, ia tidak pernah melupakan hal itu.

"Kamu yang bisa hapus pikiran kelam selam setahun itu tanpa diminta. Padahal kamu siapa waktu itu? Cuma orang asing." Hatinya seperti tersayat saat ini. Di saat Rio merasa berada di titik terendah yang tidak pernah ia duga, Helma yang berstatus sebagai sosok yang berarti justru memilih pergi begitu saja. Meninggalkan Rio sendirian dalam keterpurukan. "Cuma yang ternyata nggak sekedar cuma," lanjutnya.

"Aku sayang kamu."

"Terlalu banyak... orang yang ngelakuin itu ke Bunda sampai-sampai dia sendiri nggak tahu aku ini anak siapa..." Rio menjeda kalimatnya. "Tapi ada satu orang yang paling dominan, kemungkinan besar dia Ayah kandungku. Tapi gimana aku mau cari dia kalo nama dan wajahnya aja aku nggak tahu. Belum tentu juga setelah ketemu dia aku jadi merasa lega."

Tiga tahi lalat membentuk segitiga di pergelangan tangan, tepat di mana nadi berdenyut. Hanya itu yang Rio tahu tentang seseorang yang ia yakini Ayah kandungnya.

"Ayah udah pacaran sama Bunda dari SMA, saking cintanya sama Bunda, Ayah mau dengan senang hati nerima aku kayak anaknya sendiri." Rio sempat mendengar cerita Ayahnya bagaimana kisah orang tuanya dulu. Bagaimana mereka melukis cerita di kanvas kosong dalam lingkup putih abu-abu. Dari situ ia dapat menyimpulkan alasan Ayahnya mau menerima Rio sampai sekarang.

Rio sudah siap melanjutkan ceritanya kembali sampai tuntas saat suara isakan tertahan memenuhi indra pendengarannya, selanjutnya ia merasa lehernya basah. Tubuh gadis yang masih memeluknya sedikit bergetar.

Cowok berikat kepala itu mengangkat wajah Luna. Memaksakan tatapan mereka bertemu di dimensi yang sama. Tangan besarnya bergerak pelan, menghapus cairan bening yang berhasil mengalir di pipi Luna. "Aku cerita bukan buat ini, Na."

Luna terlalu egois sampai-sampai ia berpikir jika dirinyalah gadis paling menyedihkan yang mempunyai masalah dengan batasan waktu di luar rumah. Tidak menyangka jika di balik kelembutan Rio, menyimpan beban yang terlampau berat sampai-sampai ia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya di posisi cowok itu.

"Sakit," rintih gadis itu di sela-sela tangisnya sembari memeganggi dada. "Sesek."

Rio kembali mendekap Luna sembari mengelus punggung gadis bersurai lurus itu. "Makanya kalo nangis jangan sering ditahan," pintanya lembut. "Sebenernya aku nggak mau bikin kamu nangis, tapi kalo udah begini mau gimana lagi. Nangis aja, jangan ditahan."

Seakan mendapatkan sebuah perijinan, tangis Luna bertambah pecah. Bersama bulan dan taburan bintang yang seolah mempersilahkan mendatangkan hujan dalam dirinya.

Benar kata Leo dan Rio, ia memang sering menangis tertahan sampai-sampai dadanya terasa sesak. Itulah salah satu alasan mengapa Luna selalu mencari Leo saat ia sedang menangis, karena hanya dalam pelukan Leo-lah tangis Luna bisa terasa bebas dan tenang. Dan sekarang, ada satu pelukan lagi yang terasa serupa dengan pelukan Leo. Pelukan yang mungkin lebih bermakna dan tidak pernah sirna.

Harusnya ia menenangkan Rio agar tidak tenggelam dalam kesedihan, tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Keluarga yang ia kira harmonis dan selalu menyimpan kehangatan di dalamnya, ternyata tidak seperti kelihatannya.

"Aku juga sayang sama kamu. Masa cuma karena aku nggak nyaut omongan kamu yang itu, kamu jadi nangis, sih?"

Luna benar-benar tidak mengerti bagaimana jalan pikiran cowok itu. Ia lantas mencubit perut cowok berikat kepala biru terang dengan masih sesenggrukan. Semakin tidak mengerti saat Rio justru terkekeh pelan.

 BLUE [Completed]Where stories live. Discover now