"Iya-iya," pasrah Luna dengan mata setengah terpejam. Berjalan gontai menuju kamar mandi. "Lagian ngapain udah masuk sekolah, sih? Ngasih hari libur kok nggak ihklas!" dumelnya.

"Kalau jalan melek nanti nabrak," ucap Pamela memperingati.

"Pengennya sih melek, Ma. Tapi matanya nggak mau dimelek— aduh."

"Nah, kan. Makanya kalau Mamanya ngomong itu didengerin bukannya dibantah."

Luna meringis, memagangi jidatnya yang bertubrukan ria dengan tembok. Menikmati sensasi nyut-nyutan manja. Menikmati apannya?! Ya kali sakit dinikmati.

Entah sudah berapa kali jidatnya menubruk tembok. Seharusnya ia mengarahkan tangannya ke depan saja seperti vampir. Untungnya sih temboknya masih bagus dan kuat-kuat saja setelah bertubrukan dengan jidat Luna.

***

"Mau bareng nggak?" tawar Leo yang tengah memanasi motornya di depan garasi.

Luna menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Leo seraya menggeleng pelan. "Enakan jalan kaki," jawabnya kemudian.

Leo mendengus. Sepertinya ia baru saja menanyakan pertanyaan retoris yang sudah jelas jawabannya. Luna selalu saja menolak ajakannya untuk berangkat sekolah bersama dan dengan alasan yang sama pula.

Katanya jalan kaki itu menyenangkan dan bisa membuat badannya sehat sehingga tidak mudah terserang penyakit.

Pamela sering kali berucap, jika Luna memang ingin berjalan kaki menuju sekolah, maka ia harus memakai masker agar tak terkena debu kendaraan atau polusi udara yang bisa dengan mudah menyerang pejalan kaki.

Tentu saja Luna menolak, alasannya karena terlalu alay dan bukan Luna banget. Setiap ingin diantar sekolah oleh siapa pun Luna juga selalu menolak. Dibelikan sepeda juga tidak dipakai. Padahal resiko telat akan menyerangnya dengan mudah ketika berangkat jalan kaki. Tapi syukurlah itu tidak pernah terjadi.

"Jidat kenapa lagi, tuh?"

Luna menunjukkan deretan gigi putihnya. "Kejedot hehe," jawabnya dengan kedua tangan memagangi tali ransel.

Rambut yang biasanya dicepol satu kini sengaja digerai begitu saja. Bukan hanya sekedar untuk penampilan semata sebenarnya, tapi juga untuk menutupi jidatnya yang sedikit benjol. Ahh, tembok kamarnya nakal juga ternyata.

"Lagi?" tanya Leo heran.

Luna hanya mengangguk. Lalu segera keluar area rumah dan menyusuri jalanan komplek. Seolah melakukan hal tersebut bisa membuat Luna sempai di sekolah lebih dulu daripada Leo, padahal mau Luna duluan pun pasti juga Leo yang akan sampai di sekolah duluan.

Tin tin.

Nah kan benar, tau-tau Leo sudah menyalipnya dan menghilang di belokan.

Biasanya Luna selalu bersemangat menyusuri jalan menuju sekolahnya, tapi kali ia merasa sedikit lesu. Biasanya jam-jam segini, kan, ia masih asik di rumah. Kadang masih betah dengan kasur ukuran kingnya, atau kadang tengah menjahili Budhe Mina.

Suara klakson kembali terdengar. Luna lalu menolehkan kepalanya, menatap sebuah mobil yang ada di sampingnya. Si pengemudi terlihat menurunkan kaca mobil. "Naik."

Luna lagi-lagi menggeleng seraya berucap, "nggak mau. Luna mau jalan kaki aja. Tapi kalo uang sakunya ditambah, itu baru Luna mau, Pa hehe."

Darma hanya menatap Luna datar. Membuat senyum Luna perlahan luntur yang kemudian tergantikan oleh bibir menggerucut. "Ya udah deh, Luna berangkat dulu," pamitnya dengan nada berat hati.

Ia kembali melangkahkan kakinya. Baru beberapa langkah, kakinya berhenti lagi saat mendengar suara Darma  "Luna."

Senyumnya mendadak merekah. Ahh, pasti Darma akan memberinya uang saku tambahan. Lagian mumpung tidak ada Leo juga. Memang seharusnya Darma berlaku seperti itu, kan?

 BLUE [Completed]Where stories live. Discover now