TIGA PULUH EMPAT

7.5K 507 0
                                    


  Suara dentuman gendang mengema diseluruh kerajaan Yun dan juga diibukota, suara gendang itu berasal dari pintu gerbang utama tempat pelaksanaan hukuman eksekusi kepada para pengkhianat kerajaan Yun.

Didepan gerbang utama kerajaan Yun sudah terdapat karpet jerami yang terbentang diatas tanah, disamping jerami itu berdiri beberapa tiang tinggi yang dipergunakan untuk menaruh kepala para penkhianat dengan maksud menunjukan kepada warga kerajaan Yun kekaisaran Yuan tersebut.

Tujuan kaisar Xiao Nai memajang kepala para pengkhianat semata-mata untuk memberi peringatan kepada mereka yang berani-berani berkhianat padanya, selain untuk memberi peringatan kaisar Xiao Nai berharap dengan kejadian ini para warganya mengambil pelajaran dan menjadikan hal tersebut sebagai akibat yang memberi efek jerah.

Suara pukulan gendang terus bertalu-talu, suara nyaring yang dihasilkannya menarik perhatian banyak orang yang berada disekitar.

Semua penduduk yang tinggal disekitar kerajaan Yun kini berkumpul mengelilingi tempat eksekusi untuk menyaksikan pengeksekusian yang akan segera berlangsung. Sebenarnya menyaksikan eksekusi secara langsung bukanlah hal yang patut dilihat, terlebih hukuman yang para pengkhianat itu terima adalah hukuman pengal. Selain karna tontonan tersebut sangatlah mengerikan dan menakutkan namun karna pada dasarnya seorang manusia yang memiliki tingkat rasa penasaran yang tinggi, membuat mereka memilih menyaksikan dan menonton pengeksekusian walaupun pada akhirnya mereka akan terus terbayang-bayang dengan hal mengerikan yang mereka lihat.

Tak berapa lama para algojo memasuki tempat eksekusi, dibelakannya menyusul sekelompok prajurit yang menyeret para pengkhianat menuju tempat hukuman.

Sebagian prajurit mengamankan sekeliling tempat dan memberi arahan kepada para penduduk agar mundur beberapa langkah guna memberi cukup banyak ruang kepada para algojo untuk melaksanakan tugas mereka.

Dentuman suara gendang kini terhenti saat semua pengkhianat telah didudukan paksa di atas jerami, para algojo mulai melaksanakan tugas mereka setelah salah satu prajurit mengumumkan semua kejahatan mereka. Para algojo pertama- tama menari mengelilingi para pengkhianat dengan pedang besar, mengkilat dan amat sangat tajam guna memberi efek menakutkan, usaha mereka jelas berhasil. Para pengkhianat tersebut kini tubuh mereka mulai gemetar, tak ada henti-hentinya mereka memohon belas kasih dan juga pengampunan namun sayang semuanya telah terlambat. Mereka dijatuhi tuduhan bersalah atas semua bukti yang ada, terlebih percobaan pembunuhan yang dilakukan mentri Li sebelum penangkapannya semakin memberatkan hukuman mereka.

Setelah para algojo menari, mereka pun mulai mengayungkan pedang besar mereka dan menebas leher para pengkhianat hingga terputus dari tubuh mereka.

Crass!

Crass!!

Crass!!!

Semua orang yang menyaksikan hal tersebut menjerit, bahkan sampai ada yang tidak sadarkan diri. Apa yang mereka lihat amat sangat mengerikan, sehingga mereka jelas akan berpikir berulang kali jika ingin mengikuti jejak para pengkhianat yang merusak kepercayaan kaisar Xiao Nai jika pada akhirnya berakhir seperti ini.

.
.
.
.
.

Bagi Wei Wei hari berlalu amat begitu cepat, tak terasa malam kini telah menyapanya. Wei Wei menatap langit malam dibalik jendela, malam ini langit nampak amat cerah dengan rembulan yang bersinar terang tak lupa bintang yang mengelilinginya.

Akhirnya kebenaran telah terungkap, keadilan telah di tegakan. Itu berarti tugasnya telah selesai, hanya tinggal menunggu waktu ia kan meninggalkan kerajaan Yun. Entah mengapa dengan hanya memikirkannya membuat dada Wei Wei sesak, matanya kini memanas dan sebentar lagi cairan bening itu akan mengalir membasahi pipinya.

Wei Wei tidak tahu, mengapa ia merasa sesakit ini. Hanya karna memikirkan ia akan pergi kemasanya dan meninggalkan orang-orang yang ia sayang, membuatnya merasa sesakit ini. Dalam hidupnya, ini kali kedua ia merasakan hal ini. Pertama saat kedua orang tuanya meninggal dan kedua saat ia akan meninggalkan kenangan manis bersama orang-orang yang menyayanginya.

Air mata Wei Wei yang sedari tadi ia tahan kini lolos juga, Wei Wei menangis dalam diam membayangkan seberapa hatinya amat sakit dan tidak rela meninggalkan tempat yang sudah membuatnya amat sangat nyaman.

Wei Wei memukul-mukul dadanya yang masih terasa sesak, ia sadar seharusnya ia tidak seperti ini. Tak seharusnya ia egois seperti ini, walaupun didalam lubuk hatinya yang paling dalam ia ingin tetap tinggal disini bersama orang-orang yang menyayanginya dan juga mencintainya.

"Salahkah jika dilubuk hatiku yang paling dalam, mendukung keegoisanku yang menginginkan aku tinggal?" Gumam Wei Wei

.
.
.
.
.
.
.

TBC

The Empress : Liu Wei Wei (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang