Part 51 Aluna Berhembus Pergi

3.9K 165 41
                                    

Angin bersayup-sayup menerpa pohon, membuat dahannya bergoyang dan daun pun jatuh sesuai takdirnya. Pagi datang dengan cepat membawa gundah, kegelisahan, dan ketakutan yang menyeruak di dalam dada. Waktu terus berdetik seolah menggetarkan hati mereka, mendesak mereka dan memaksa mereka untuk berpisah dengan orang yang mereka cinta.

Meski menangis semalaman, merutuki kesalahan, dan menyesali penyesalannya. Laras tetap tidak bisa melakukan apa-apa selain menunggu sampai waktu putrinya habis. Tidak hanya Laras, ternyata Brama pun juga merasakan kesedihan yang sama. Setelah landing tadi malam, Brama langsung menuju rumah sakit dan menjenguk putrinya yang saat ini berada di ambang kematian.

Brama mendekati putrinya dan mencium keningnya. Brama terlihat menahan tangis, meskipun matanya menampakan kesakitan yang luar biasa.

"Maafkan Papa Aluna, Papa sangat sayang sama kamu. Papa rindu sama kamu, sayang," bisik Brama di kuping putrinya. Sungguh, dia tidak sanggup ada disituasi seperti ini. Dia tidak bisa melihat putri semata wayangnya pergi meninggalkan dia untuk selamanya.

Laras menatap wajah Aluna yang pucat. Sungguh, Laras lebih memilih melihat wajah Aluna yang sedang marah dan kesal daripada dia harus melihat wajah Aluna yang putih pucat tanpa tanda-tanda kehidupan.

"Aluna. Mama mohon berikan Mama satu kesempatan untuk menjadi Mama yang sempurna untuk kamu. Mama benar-benar menyesal Aluna," lirih Laras memeluk tubuh Aluna yang terbaring lemah di atas kasur.

Sedangkan di luar ruang ICU. Nada, Edo, Nadin dan Billa tampak menatap ke dalam ruang ICU dengan sedih. Tidak ada air mata, tapi mereka benar-benar mencoba untuk kuat. Nada kembali menghembuskan napas keputusasaan dan matanya mulai berkaca-kaca.

"Apa yang harus gue katakan ke Bagas, Aluna? Gue nggak akan siap untuk kehilangan lo dan lihat lo pergi buat selamanya. Kita udah bersama sejak kecil, banyak hal yang telah kita lalui bersama. Gue nggak akan pernah maafin diri gue sendiri, Al," ucap Edo dengan mata yang berkaca-kaca. Billa pun mengusap punggung Edo.

Nada menempelkan telapak tangan kanannya di kaca ruang ICU, dia memejamkan mata dan kembali merasakan sedih di hatinya. Nadin berjalan mendekati Nada yang berdiri di depan kaca.

"Hidup nggak akan berjalan lama. Waktu yang kita anggap sepele, ternyata adalah boomerang. Bukan kita yang menguasai waktu, jadi jangan patah keyakinan," kata Nadin. Nada menghela napas dengan berat lalu meneteskan air mata.

"Andai gue nggak cari dia dan kejar dia, kecelakaan itu nggak akan terjadi. Ini salah gue," lirih Nada dengan penyesalan.

"Berhenti salahin diri lo sendiri, Nad. Rasa penyesalan cuma akan buat lo nyerah. Mending lo masuk, lima menit lagi dokter akan datang dan lepas alat napas Aluna," saran Nadin dengan tegas, meskipun sebenarnya dia juga sedih. Meski begitu Nadin harus lebih kuat, agar dia bisa menenangkan Nada.

**AlNa**

Nada berjalan masuk ke ruang ICU. Dia duduk di kursi dekat brankar Aluna, awalnya dia hanya diam dan terus memandang wajah dingin itu, namun akhirnya Nada meraih tangan Aluna dan menggenggamnya.

"Gue nggak tahu harus bilang apa buat perpisahan kita yang teragis ini. Gue cuma anak brandal yang kehilangan arah. Gue sering emosi dan melampiaskan kekesalan gue ke siapa pun, termasuk lo. Gue pikir, waktu adalah jalan supaya gue lepas dari masa lalu, tapi ternyata waktu nggak bisa diajak kompromi. Bahkan waktu nggak kasih gue satu kesempatan buat bicara sama lo," ucap Nada yang kemudian mencium tangan Aluna.

Tidak lama itu, beberapa orang masuk ke dalam ruang ICU. Mereka adalah dokter dan suster. Nada berdiri dari duduknya dan membiarkan dokter memeriksa keadaan Aluna.

"There was no change at all in her body. We were forced to remove the medical equipment," ucap dokter pada Brama dan Laras.

"Okay," balas Brama dengan lirih dan penuh kesedihan, sedangkan Laras hanya bisa menangis di pelukan Brama.

Setelah itu, dokter melepas selang oksigen di mulut Aluna, dan menyiapkan suntik yang berisi racun untuk di masukkan ke dalam infuse Aluna, namun belum sampai dokter itu memasukkan cairan itu ke dalam infuse, tiba-tiba tangan seseorang menghentikannya.

"What is wrong?" tanya dokter itu pada laki-laki di sampingnya.

"I won't let you kill her! She will realize. Please belive me," kata Nada dengan yakin.

"Please don't disturb our work," tegas dokter itu, kemudian melepas tangan Nada dari lengannya.

"Nada. Biarkan dokter melakukan tugasnya. Ini yang terbaik untuk Aluna," kata Brama mendekati Nada dan menarik Nada untuk keluar.

"Enggak, Om. Nada yakin Aluna masih mau berjuang. Kalian nggak bisa memutuskan semua ini dengan cepat. Saya nggak mau menyesal," lirih Nada melepas tangan Brama dan menatapnya dengan tajam.

"Semakin kita mengulur waktu itu cuma akan menyakiti Aluna, Nada," balas Brama dengan tajam.

"Tapi dia masih hidup, Om! Dia masih mau berjuang. Kasih dia waktu sebentar lagi."

Nada memohon dengan perasaan yang tidak karuan bahkan matanya sudah berkaca-kaca. Semua orang yang melihatnya merasa sangat iba dan merasakan kesakitan yang sama. Namun, dokter tidak bisa menunda, karena itu akan menyalahkan perjanjian yang telah ditanda tangani keluarga Aluna.

"The patient doesn't respond to whatever tools we give. We just feel sorry for her weakened situation, while her body doesn't respond at all," jelas dokter itu pada Nada.

Nada berjalan mendekati brankar Aluna dengan langkah yang berat. Nada mendekati wajah Aluna dan kembali menangis di dekatnya. Nada menggenggam tangan Aluna dan mengusap rambut wanita cantik itu yang kini sudah pucat pasi.

"Al. Gue tahu lo bisa dengar. Sorry, gue nggak bisa tahan mereka buat nggak ambil nyawa lo." Nada berbisik di kuping Aluna.

"Mungkin gue orang terdingin yang pernah lo kenal. Gue nggak percaya apa itu cinta, tapi gue sadar, ada sesuatu yang melekat dalam hati gue. Gue takut buat hadapi perasaan ini, tapi gue lebih takut kalau gue telat buat ngakuin perasaan ini. Gue jatuh cinta sama lo, Aluna," setelah itu, Nada mencium tangan Aluna cukup lama, lalu Nada berjalan pergi meninggalkan ruang ICU.

"Nada!" Nadin memanggil Nada yang tiba-tiba berjalan pergi meninggalkan mereka.

"Nada butuh waktu sendiri," ujar Billa mencekal lengan tangan Nadin yang ingin mengejar Nada.

Setelah itu, Nadin dan Billa kembali menatap ke arah ICU, di mana dokter sedang menyuntikkan cairan ke dalam infuse Aluna. Edo menangis dengan tatapan mata yang terus memandang Aluna. Ini adalah saat terakhir kalinya dia bisa hidup bersama sukma Aluna, sebelum akhirnya jiwa itu pergi meninggalkan raga.

Aluna selalu mempercayai keajaiban, bahkan dia selalu percaya jika dia masih bisa kembali menemukan Devan dalam hidupnya. Edo harap, kepercayaan Aluna tentang keajaiban memberikan dia kesempatan untuk memiliki ribuan juta detik di dunia ini. Tapi, keajaiban tak datang dengan begitu saja.

__________________________
Hallo ha!!! Part Alunan Nada yang hilang selama bertahun-tahun sudah aku update lagi yaaaaaaa

Jangan lupa komen dan Vote..
Kalo ngak komen ya setidaknya Vote lahhhh.....

Peluk hangat SENJA SATURNUS
@senjasaturnus IG

Vote vote vote

Alunan Nada [Completed]✓Where stories live. Discover now