Part 50 Koma

4K 163 2
                                    


    Nada berdiri di depan ruang ICU dengan resah. Dia terus menatap ke dalam ICU dan melihat dokter yang saat ini tengah menangani Aluna. Nada meneteskan air mata dan meletakkan telapak tangannya ke kaca. Seakan Nada ingin membantu Aluna dan memberikan semua kekuatannya untuk dia.

    Cukup sekali Nada kehilangan, Nada tidak ingin kembali merasakan hal itu. Nada tidak ingin perasaannya sia-sia, ini pertama kalinya dia jatuh cinta dan Nada tidak ingin patah hati. Mungkin terdengar egois, tapi Nada benar-benar tidak bisa kehilangan Aluna. Nada ingin bersama Aluna. Nada ingin hidup bersama Aluna dan melewati hari tua mereka bersama.

    “Aluna orang yang kuat. Dia nggak akan mudah menyerah.” Edo berdiri di samping Nada dan menatap ke dalam ICU. Edo terlihat menangis dan menguatkan dirinya sendiri.

    “Gue ikut seneng lo udah sembuh. Jaga Aluna, dia udah terluka selama ini.” Edo menatap Nada dengan sendu, lalu berlalu pergi. Sedangkan Nada masih setia menatap ke arah Aluna.

    Setelah menunggu dua jam di luar ruang ICU, akhirnya dokter keluar juga. Nada mendekati dokter dan langsung bertanya tentang keadaan Aluna.

    “Patients are currently critical. We will re-check the condition after surgery.”

    “Are there any bad possiblities?” Tanya Nada.

    “We haven’t been able to diagnose before the examination after surgery. So please, wait until we finish checking it.” Ucap dokter itu yang kemudian beralalu pergi. Nadin kembali duduk dan menangis, sedangkan Edo dan Nada kembali menatap ke dalam ICU.

** AlNa **

    Waktu terus berdenting. Menggema dan membawa rasa ketakutan yang selalu menyelimuti jiwa dan rasa. Burung berterbangan menari di bawah awan, berputar di antara sang raja siang dan mengepakkan sayap menuju timur. Sudah dua minggu semenjak dokter menyatakan Aluna koma, Nada terus menerus menunggu Aluna di rumah sakit.

    Di ruang putih yang tertata barbagai alat medis dengan rapi. Seorang perempuan terbaring lemah dengan berbagai alat penunjang kehidupan. Suara mesin monitor berbunyi sekan membawa rasa pilu yang dapat merontokan hati.

    Nada mengenggam tangan Aluna dan mengusp-usapnya dengan lembut. Nada menatap gadis berwajah pucat yang tertidur lelap tanpa tanda-tanda dia akan bangun. Nada mengusap pipi Aluna dan merasakan getaran yang dulu pernah dia rasakan saat bersama Aluna. Getaran yang dulu sering dia tampik, tapi sekarang dia benar-benar menikmatinya.

     “Lo adalah sumber masalah yang sengaja Tuhan hadirkan buat gue. Supaya gue belajar, dan lebih mengerti apa itu arti hidup. Lo rubah dunia gue, lo runtuhkan benteng dalam diri gue, dan lo porak-porandakan perasaan gue yang sebelumnya nggak pernah ada satu pun orang yang bisa menyentuhnya.”

    “Gue pikir, gue bisa mengendalikan diri gue. Tapi ternyata perasaan nggak semudah itu untuk di kendalikan.” Nada mengenggam tangan Aluna dan menciumnya.

    Nada kembali meneteskan air mata dan terisak. Rasa menyesal dan takut seakan memenuhi pikirannya. Nada takut kehilangan Aluna. Kehilangan apa yang selama ini membuatnya bertahan hidup.

    Yang mampu membuatnya tertawa lepas dan merasakan bahagia. Tidak peduli seberapa pengecutnya dia, dia akan tetap menunggu dan berharap jika akan ada waktunya Aluna kembali dan tersenyum kepadanya.

    “Nada. Ada yang mau gue bicarakan.” Edo masuk ke dalam ruang ICU. Nada menatap Edo dengan serius lalu berdiri dari duduknya.

** AlNa **

    Saat ini, Nada dan Edo berdiri di luar ruang ICU. Nadin dan Nabila juga ada di sana. Setengah jam yang lalu, Edo menemani Laras ke ruang dokter untuk bertanya tentang keadaan Aluna secara terperinci, dan Edo pun ingin memberitahukan keadaan Aluna pada Nada.

    “Apa yang dokter bilang?” Tanya Nada dengan tidak sabar.

    “Mereka akan segera melepas alat penunjang hidup Aluna dan melakukan langkah Euthanasia.” Ucap Edo. Semua orang terkejut, begitu juga Nada.

    Euthanasia adalah tindakan pengakhiran hidup seseorang yang menderita penyakit, yang tidak dapat di sembuhkan dengan cara memberi suntikan yang mematikan.

    “Enggak.” Ucap Nadin dengan tangis.

    “Selama ini, Aluna mengidap asma, ada peradangan dan penyempitan di saluran pernafasan yang membuat Aluna nggak bisa bernafas normal. Ventilator itu nggak akan buat Aluna bertahan lama.” Ucap Edo dengan mata yang berkaca-kaca. Ventilator adalah alat bantu pernafasan yang menyalurkan udara ke dalam dan keluar dari paru-paru.

    “Gue nggk mau Aluna meninggal Do.” Nadin mendekati Edo.

    “Gue juga nggk mau. Tapi, membiarkan Aluna seperti ini cuma akan nyakitin dia secara perlahan. Tante Laras udah tanda tangani surat itu. Dan besok mereka akan lepas alat pernafasan Aluna.” Ucap Edo yang semakin membuat Nadin menangis. Sedangkan Nada menarik rambutnya frustasi dan segera masuk ke dalam ruang ICU.

    Nada berdiri di samping Aluna dan mengusap rambut Aluna yang tetap indah. Nada tersenyum dan menatap Aluna dengan bahagia. Nada bahagia pernah mengenal Aluna, pernah hidup bersamanya, berjalan berdua, berboncengan bahakan berkelahi. Nada meneteskan air mata dan menangis.

    Nada tidak mampu lagi menahan rasa sakit di hatinya. Nada memukul kasur dan menundukkan kepalanya. Nada belum siap untuk kehilangan, Nada tidak akan pernah siap. Tapi kenapa kenyataan seakan membuatnya harus berusaha menerima. Nada kembali menatap Aluna dan mengusap pipinya.

    “Sebegitu bencinya lo sama gue Aluna? Sampai-sampai lo nggak kasih gue satu kesempatan buat bicara sama lo.” Ucap Nada dengan isak tangis.

    “Gue emang pengecut. Udah buat lo terluka dan bawa lo ke setiap masalah yang gue miliki. Gue begitu bodoh karena percaya ucapan orang lain daripada lo. Tapi apa enggak ada sedikitpun maaf buat gue Al?” Nada kembali menangis dan menundukkan kepala.

    Sedangkan jauh dari ruang ICU. Saat ini Laras tengah duduk di kursi koridor rumah sakit sambil menangis. Dia sama sakitanya seperti Nada. Tapi, rasa sakit yang dia rasa jauh lebih besar.  Selama ini Laras tidak pernah memperdulikan Aluna, tidak pernah perhatian bahkan tidak pernah ada di saat Aluna membutuhkan banuannya.

    Laras benar-benar merasa menyesal juga bersalah. Kini dia pun telah mengambil keputusan untuk menghakhiri kehidupan putrinya. Laras benar-benar merasa gagal menjadi orang tua.

    Laras menangis dan mengingat betapa jahatnya dia menjadi orang tua. Dia selalu memaksa keinginan Aluna, mengekang bahkan dia menginginkan Aluna untuk menjadi sepertinya.

    “Maafkan mama Aluna. Maafkan mama yang tidak bisa menjadi mama yang baik untukmu. Maafkan mama.” Ucap Laras di sela isakan tangisnya.

    Di depan ruang ICU, Nadin pun masih terisak tangis dia bersandar di bahu Nabila. Sedangkan Edo dia duduk di lantai bersandarkan tembok. Dia menatap ke depan dengan mata yang berair.

    Edo merasa gagal menjadi sahabat Aluna. Dia tidak bisa menjaga Aluna dan mengetahui jika selama ini Aluna mengidap asma. Edo mengusap wajahnya lalu berdiri dari duduknya, dia menatap ke arah Nadin yang masih menangis. Setelah itu dia berlalu pergi meninggalkan rumah sakit.

    Edo berjalan menuju sebuah jembatan dan menangis di sana. Edo benar-benar merasa sedih dan takut, dia sangat takut kehilangan Aluna. Meskipun Aluna tidak pernah menganggapnya lebih dari sahabat tapi Edo mencintai Aluna sejak mereka kecil, Aluna adalah cinta pertamanya.

    Edo menundukkan kepala di atas pagar pembatas jalan dan menanggis di antara senja yang mulai membentang di atas lautan cakrawala. Bukankah kehidupan itu rahasia Tuhan? Mati dan hidup manusia ada yang menentukan. Jika memang daun harus gugur dari ranting, lalu manusia bisa apa?

📖📖📖
1130 words

Alunan Nada [Completed]✓Where stories live. Discover now