Part 46 Alasan Yang Sebenarnya

4K 188 0
                                    

    Senja bergelayut di langit sore, membawa hawa dingin yang semakin mencengkeram kulit, juga kepahitan yang telah lama terpendam.

    Kedatangan Nada dan Nadin kembali membuat hati Aluna terguncang, setelah dua tahun lamanya dia kabur sebagai pengecut. Kini mereka datang dan membuka ruang duka yang telah dia pendam.

    Aluna bersandar di tembok rumah sakit dengan raut wajah yang cemas. Edo pun beberapa kali menenangkan Aluna, namun dia terus bergerak gelisah.

    Setelah lima belas menit menunggu di luar, Nadin keluar dari ruang ICU bersama seorang dokter. Dokter itu tersenyum pada Aluna lalu berjalan pergi meninggalkan mereka.

    “Aluna.” Nadin menatap Aluna penuh harapan, sedangkan Aluna menatap Nadin dengan datar.

    “Lo masuk aja, gue tunggu di sini.” Ucap Edo pada Aluna.

    Aluna kemudian berjalan masuk ke ruang ICU, di ikuti oleh Nadin. Aluna duduk di kursi sebelah brankar, lalu menatap wajah Nada yang terlihat damai ketika tidur.

    “Udah dua tahun ini, keadaan Nada semakin parah. Ingatannya belum kembali, tapi dia selalu memaksakan dirinya. Setiap kali Nada mulai mengingat sesuatu, kepalanya akan sakit, bahkan sampai pingsan.” Nadin berjalan mendekati Aluna, dan berdiri di ujung brankar. Aluna terlihat diam, dan terus menatap wajah Nada.

    “Dokter bilang, salah satu cara untuk menyembuhkan Nada adalah dengan terapi ingatan, Nada harus mengunjungi tempat-tempat di mana dia punya banyak kenangan yang mungkin akan buat Nada ingat, dan salah satunya Sydney.”

    Aluna kembali menatap Nada dan menggenggam tangannya. Aluna mengusap tangan itu dan tersenyum, tanpa Aluna sadari air mata tiba-tiba lolos begitu saja.

    “Gue belum cerita tentang kejadian dua tahu yang lalu sama Nada. Gue nggak punya jawaban seandainya Nada tanya alasannya. Tapi gue seneng, akhirnya kita ketemu lagi Aluna.” Ucap Nadin dengan senyum juga air mata kebahagiaan.

    Aluna menangis dan mengingat kembali masa-masa saat dia menjadi biang onar di sekolah, saat dia mengecat  Aula dan membersihkan toilet bersama Nada. Saat duduk di rooftop. Bermain basket dan saat di bonceng Nada menggunakan motor di perkebunan teh.

    Aluna mencium tangan Nada sambil terisak. Aluna menangis ketika dia dapat merasakan kembali kenyamanan yang selama ini telah hilang dari hidupnya. Aluna dapat merasakan senang, sedih dan kesal saat berada di dekat Nada.

     “Andai gue penguasa waktu. Gue akan putar waktu satu menit sebelum gue melangkah masuk ke gerbang. Gue harap kita nggak pernah ketemu di koridor, gue harap rasa sakit ini nggak akan pernah terjadi seandainya gue nggak datang.” Ucap Aluna dengan sedih.

    “Gue pengecut Nad. Gue terlalu takut buat hadapi lo. Gue takut keberadaan gue cuma akan buat lo dalam bahaya.” Ucap Aluna dengan air mata yang lagi-lagi lolos tanpa permisi.

    “Aluna. Setiap hari gue selalu mikir, apa alasan yang ngebuat lo pergi jauh. Gue pikir lo nggak mau temenan sama kita, lo ngehindar, makanya lo pergi. Tapi, semua itu sekarang nggak penting, gue udah ketemu sama lo Aluna.” Ucap Nadin dengan senyum tulus.

    “Anggap lo nggak pernah ketemu sama gue di sini.” Aluna berdiri dari duduknya lalu menatap Nadin.

    “Maksud lo apa Al?” Tanya Nadin dengan bingung.

    “Gue udah mati dua tahu yang lalu, dan ini, ini bukan Aluna yang lo kenal.” Aluna menunjuk dirinya sendiri.

    “Enggak, lo tetap Aluna yang gue kenal, dan itu nggak akan berubah. Ada apa sama lo Al? Apa hati lo belum juga luluh setelah lo lihat keadaan Nada? Dia kaya gini karena berkorban buat lo.” Ucap Nadin dengan serius, namun tatapan matanya terlihat sendu.

    “Dua tahun gue pergi sebagai pecundang. Apa lo pikir gue kuat lewati ini semua? Nggak! Setiap waktu yang berlalu, gue selalu di hantui rasa bersalah karena tinggalin dia.” Ucap Aluna dengan emosi dan mata berkaca-kaca.

    “Lalu kenapa lo pergi? Apa alasan yang lo rahasiain ke gue selama ini?” tanya Nadin dengan kesal.

    Aluna menatap Nadin dengan serius. Matanya memerah menahan air mata dan raut wajahnya sangat memperlihatkan jika dia sedang terluka. Nadin menatap Aluna dan menunggu Aluna bercerita.

~AlNa~

    “Kamu sangat cantik Aluna.” Martha mengusap rambut Aluna. Aluna menatap Martha dengan mata yang berkaca-kaca.

     “Aluna. Boleh tante minta sesuatu sama kamu?” Tanya Martha dengan suara yang pelan. Aluna menoleh ke arah Martha.

     “Selama ini. Tante cuma punya Nada dan Devan. Mereka adalah hidup saya. Saya akan melakukan apa saja asal mereka bahagia. Tapi sekarang saya kehilangan Devan dan hampir saja saya kehilangan Nada. Dokter bilang, kemungkinan Nada akan geger otak bahkan amnesia.”

    “Aluna, andai Nada sadar nanti dan dia lupa tentang apapun. Tante mohon, jauhi Nada. Tinggalkan dia dan lupakan dia. Saya tidak mau cinta Nada yang terlalu berlebihan membuat dia mengorbankan nyawanya sendiri. Saya tidak mau kehilangan Nada. Saya yakin kamu bisa mengerti perasaan tante.”

    Waktu itu Aluna tidak bisa berucap apa-apa. Lidahnya kelu. Matanya berair dan sekali lagi dia di tampar oleh sebuah pernyataan yang menyakiti hatinya. Aluna fikir Martha menyukainya, namun ternyata tidak.

     “Tante minta maaf Aluna. Saya hanya tidak ingin Nada terluka lagi. Trimakasih sudah menjaga Devan. Tante harap kamu mengerti.” Martha menyentuh pundak Aluna dan Aluna hanya bisa terdiam dengan perasaan terluka.

~AlNa~

    Nadin terlihat kaget dan tidak percaya dengan cerita Aluna. Namun itulah kenyataannya. Alasan yang membuat Aluna menyerah dari takdirnya dan membuatnya menjadi pengecut karena telah mengingkari janjinya untuk terus menemani Nada.

    “Kenapa lo baru ngomong sekarang Aluna? Kalo waktu itu lo bicara sama gue, kita bisa selesaiin masalah ini bareng-bareng.”

     “Apa yang tante Martha ucapin itu bener, gue cuma pembawa sial. Gue nggak mau Nada terluka lagi kerena gue. Gue nggak mau terus-terusan hidup di rundung penyesalan.”

    “Terus sekarang apa yang mau lo lakuin Al? Lari?” Tanya Nadin. Aluna menatap Nadin dengan sendu.

    “Nada emang lupa. Tapi gue yakin hati dia nggak lupa Al, gue percaya selama ini dia berusaha buat ingat kembali, itu karena dia ngerasa ada yang hilang dari hatinya. Tapi dia nggak tau apa yang hilang.” Nadin menggenggam tangan Aluna dengan erat.

    “Andai, ini cuma mimpi buruk. Gue nggak akan minta bintang itu datang tadi malam.” Ucap Aluna yang kemudian melepas tangan Nadin dan berjalan keluar dari ruang ICU.

📖📖📖
978 words
Almost ending guys

Alunan Nada [Completed]✓Where stories live. Discover now