EPILOG

4.2K 180 53
                                    

Sinar matahari berpendar di cakrawala lautan senja. Sudah tiga bulan waktu berjalan, meninggalkan kenangan dan kesedihan. Semua mulai tertata seperti biasanya, hidup seperti biasa, dan berjalan seperti biasa. Meskipun semua orang meminta waktu untuk berhenti, tapi waktu tidak akan pernah berhenti. Dia akan terus bergerak, berdenting dan membawa dunia baru untuk manusia. Waktu juga akan mengambil sesuatu dari kita, menjadikan kita lemah dan membuat kita meratapi kesedihan yang tiada akhir.

Benar, kehilangan adalah luka terbesar, mungkin lebih dari pengkhianatan dan kebohongan. Semua orang bisa kembali percaya, semua orang bisa mendapatkan kebenaran, tapi mereka tidak bisa mengembalikan apa yang sudah hilang. Saat daun kering jatuh dari dahannya, mungkin dia memang mati, tapi akan ada yang menggantikan tempatnya, tumbuh dan menjadi daun baru. Tentunya lebih kuat, dan memiliki daun yang lebih hijau.

Di sebuah rumah besar, seorang wanita berlari menuruni tangga dan berjalan menuju pintu utama untuk keluar, namun langkahnya terhenti ketika melihat seorang pria yang berdiri tepat di depan pintu.

“Hai, beb!” ucap seseorang dengan senyum lebar.

“Ngapain lo ke sini pagi-pagi?” kesal Nadin setelah melihat wajah Adam.

“Gue mau antar teman gue apel, tuh.” Adam menoleh ke arah Rehan yang duduk di kursi teras.

“Sialan lo!” Rehan berdiri dari duduknya lalu menghampiri kedua orang itu.

“Dari mana kalian tahu kalo gue udah balik?” tanya Nadin dengan penasaran.

“Anak buah Evalor banyak kalik, kita bisa tahu apa pun secepat j and t,” ucap Adam dengan songong.

“Gimana kabar lo?” tanya Rehan, Nadin menatap dengan wajah datar.

“Sorry, gue nggak bawa oleh-oleh. Mending lo pada pergi dari sini,” usir Nadin dengan ketus.

“Gue nggak minta oleh-oleh. Kenapa lo nggak pernah balas chat dan angkat telepon gue?” tanya Rehan.

“Oh, lo chat gue juga? Sorry, gue archived,” ucap Nadin dengan santai. Rehan hanya menghela napas.

“Gimana kabar Nada? Kenapa dia nggak bisa di hubungi? Terakhir kali dia kasih kabar waktu Aluna mau Euthanasia,” ucap Rehan.

So far, kabar dia baik. Masih ngeselin dan tambah nyebelin. Mungkin sebulan lagi balik.”

“Lalu kenapa dia nggak bisa di hubungi sampai sekarang?” tanya Adam dengan penasaran.

“HP-nya mati di banting,” bohong Nadin.

“Syukur, deh,” ucap Rehan dengan datar.

“Syukur karena dia banting HP-nya?”

“Iya, berarti dia udah kembali menjadi Nada yang dulu,” ucap Rehan dengan datar.

“Hah, kasihan Nada. Padahal, gue tahu dia sayang banget sama Aluna, tapi ya mau gimana lagi, namanya juga takdir,” ucap Adam dengan helaan napas, sedangkan Nadin mengerutkan dahinya.

“Maksud lo? Kalian beneran nggak bisa hubungi Nada?” tanya Nadin dengan penasaran.

“Kalo bisa, gue nggak akan ajak raja es kutub ini pagi-pagi apel ke rumah lo cuma buat tanya kabar dia. Kita chat lewat Instagram juga nggak di bales. Lagian kenapa nggak beli HP baru, dia kan kaya,” ucap Adam sambil menyindir Rehan sebagai raja es kutub.

“Bodo amat! Males gue ngomong sama kalian. Mending kalian pergi, gue mau ke kampus,” usir Nadin.

“Gue pamit. Itu ada bingkisan, Adam bilang cewek paling butuh barang itu,” ucap Rehan sambil menunjuk kantung kresek di atas meja teras.

Rehan kemudian melangkah pergi bersama Adam, sedangkan Nadin terlihat kesal dengan kedua pria absurd dan tidak sopan itu. Kemudian, Nadin berjalan mendekati meja lalu membuka kresek itu.

“Emang gila ya ini orang. Nggak ketua, nggak anak buah otaknya pada miring semua. Pembalut anjir! Apa nggak malu dia belinya?” kesal Nadin yang kemudian mengeluarkan satu bungkus pembalut berukuran besar dari kantong kresek.

**AlNa**

Di tempat yang lumayan cukup jauh dari Indonesia, saat ini ada sepasang manusia yang tengah berjalan-jalan di salah satu taman hiburan di Sydney. Mereka terlihat bergandengan tangan dan tertawa bersama. Perempuan itu memakan arum manis dan menunjuk bianglala di depannya, sedangkan cowok di sampingnya tersenyum lebar.

“Gue tahu ini berat, tapi gue harus belajar buat lupain dia. Karena ini nggak akan baik buat hati gue kalo terus gue tahan,” ucap Billa yang mendadak menjadi sendu.

“Lo yakin? Kadang mulut bilang iya, tapi hati masih menahan,” ucap Edo.

“Gue udah putusin buat berhenti mengharapkan Nada. Karena mau selama apa pun gue stay buat Nada, Dia akan terus mencintai Aluna, sampai kapan pun,” ucap Billa, dengan senyum tipis.

“Aluna, sekarang gue nggak tahu dia lagi ada di mana. Gue nggak lagi punya kesempatan untuk genggam tangan dia, atau sekedar berharap dia ada di samping gue. Tapi, sekarang dia jauh lebih bahagia di sana,” ucap Edo dengan senyum sendu.

“Dengar, cerita ini bukan punya kita. Jadi, mungkin kita bisa buat cerita kita masing-masing, mulai dari sekarang,” potong Billa dengan senyum dan Edo pun menatap Billa dengan dahi yang sedikit berkerut.

“Bukannya gue agresif. Cuma gue pikir kita cocok. Kita sama-sama patah hati dan ditinggal sama orang yang kita sayang,” ucap Billa dengan senyum, namun Edo hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan senyum lebarnya.

Setelah mengenal beberapa bulan, akhirnya mereka memilih untuk berteman baik, meski Edo belum bisa melupakan tentang kenangannya bersama Aluna. Sedangkan Abilla, dia jauh lebih ikhlas untuk menerima perasaan dan patah hatinya.

___________

Intinya jangan lupa VOTE
Karena itu berguna banget buat gue

V O T E
V O T E
V O T E

Alunan Nada [Completed]✓Where stories live. Discover now