CHAPTER 12

4.8K 285 2
                                    

"Bajuku terkena tumpahan kopi panas dari pelayan tidak becus itu, lalu Nial lebih membelanya. Jadi aku memilih pergi dari cafe itu dan akhirnya Frans datang." Rose bercerita pada intinya.

"Benarkah, Rose? Nial lebih membela pelayan yang menumpahkan kopi panas padamu?" Hans membuka suaranya.

Rise mengangguk. "Tanya saja pada putramu itu, Uncle." Rose tersenyum miring dengan sangat samar.

Hans menggeram menatap Nial. Putranya sungguh memalukan. Bagaimana bisa dia membela pelayan sedangkan ia sedang bersama Rose. Hans benar - benar malu terhadap Thomas.

"Thomas, maafkan putraku ini." Hans menunduk.

"Sudahlah, Hans. Jangan terus - menerus menyalahkan Nial."

"Aku sangat malu dengan sikap putraku." Hans menyugar rambutnya.

"Benar yang di katakan Daddy, Uncle Hans. Yang terpenting sekarang aku sudah tidak apa - apa. Dan terima kasih untuk, Aunty Elina." Rose tersenyum pada wanita paruh baya yang masih terlihat cantik tersebut.

"Aku akan kembali ke kantor, Vanya. Masih banyak pekerjaan yang belum ku selesaikan." Thomas berdiri setelah mencium dahi Istrinya dan menghampiri ranjang perawatan putrinya. "Daddy akan mengunjungimu nanti, Princess."

"Aku juga akan kembali ke kantor, kalian bertiga berjagalah disini." Hans ikut bangkit.

Sepeninggal Thomas dan Hans, Elina mengajak Vanya mencari makan siang untuk mereka berempat dan menyisahkan Rose bersama Nial di dalam ruangan VIP tersebut.

"Apakah pelayan itu jauh lebih cantik dariku, Nial?" Rose menatap sengit pada Nial yang duduk di sofa tak jauh darinya dan membuka laptopnya.

Di abaikan.

Rose di abaikan oleh Nial. "Nial jawab aku!"

"Tidak." Nial menjawabnya singkat.

"Lalu kenapa kau membelanya? Kenapa kau tidak membelaku?"

"Yang ku tau dari Mommy, kau gadis yang manis dan dewasa, tapi kenapa kau yang berada di hadapanku tidak memiliki sifat seperti itu?" Nial menutup laptopnya dan berjalan mendekati Rose. Ia duduk di tepian ranjang Rose.

"Apa aku salah jika aku posesif terhadap orang yang aku cintai?" tanya Rose dengan wajah serius.

"Bukannya kau sendiri yang mengatakan jika hubungan kita hanya untuk memberi pelajaran untuk Grace? Semua itu hanya obsesi semata, Rose." Nial mengatakannya dengan tatapan tajam.

"Aku mencintaimu. Aku tertarik padamu sejak bertemu denganmu di lift, dan pada pesta itu—

Rose memberi jeda. Lalu"—Aku mulai mencintaimu."

"Aku tidak tertarik sama sekali denganmu." Nial menunjukan senyum smirknya.

Sakit, seperti di tusuk ribuan jarum. Tapi bukan Rose jika menunjukan sisi lemahnya. "Aku tidak peduli." Rose tersenyum miring.

"Aku bisa membuatmu tertarik bahkan bisa membuatmu jatuh cinta sampai bertekuk lutut di bawah kakiku." ujar Rose penuh penekanan.

💌💌💌

3 hari sudah Rose berada di Rumah Sakit milik Ayahnya, akhirnya hari ini ia di bolehlan untuk pulang. Hanya Nial yang menjemputnya. Itupun karna perintah dari Hans—Ayahnya.

"Kau cukup mampu berjalan sendiri, Rose." Nial melepas rangkulan tangan Rose pada lengannya.

"Daddy bilang, kita akan segera tunangan Nial." Rose berkata dengan tenang.

"Aku sudah tau..."

"Aku akan berubah untukmu, apa kau bisa berubah untuk ku? Setidaknya hargai perasaanku." Rose menghentikan langkahnya.

"Kau bicara apa? Cepatlah, aku harus menyelesaikan skripsiku." Nial meninggalkan Rose.

Sabar... Rose menghela nafas. Ia sudah bertekad untuk tidak bersikap arogan demi Nial. Ya, hanya untuk Nial. Tapi akan tetap berpengaruh untuk semua yang mengenal Rose.

Nial membukakan pintu untuk Rose, dan Rose hanya diam sejak pembicaraan itu sampai mobil Nial berhenti di pelataran Mansion keluarga Alphard.

Rose turun dan memgambil alih barangnya di tangan Nial. "Terima kasih sudah menjemputku dan merawatku selama di Rumah Sakit. Maaf kalau aku merepotkanmu." Rose memberi senyum tulus.

Hati Nial bergetar. Baru kali ini Rose menunjukan senyum tulusnya. Bukan senyum smirk atau sejenisnya. Ia hanya mengangguk menanggapi ucapan Rose.

"Kau boleh pulang sekarang, semoga harimu menyenangkan. Besok kau tak perlu menjemputku. Aku akan berangkat bersama adikku." Rose meninggalkan Nial yang masih diam mematung melihatnya masuk kedalam Mansion besar itu.

Nial bimbang. Ia berjalan masuk kembali ke mobil dan berjalan meninggalkan mansion tersebut. Ia sendiri tak tahu mengapa hatinya terasa aneh seperti ini.

Sampai di Mansion keluarganya, ia segera menuju ke kamarnya. Ruangan dengan nuansa putih dan silver itu terkesan maskulin dengan wangi parfum khasnya yang menguar di setiap penjuru ruangan tersrbut.

Nial menghempaskan tubuhnya. Tidak ada skripsi yang belum selesai. Semua itu hanya alasan Nial agar segera berpisah dengan Rose. Tapi mengapa sekarang ia merasa ada yang hilang setelah berpisah dengan Rose. Ia mengerjapkan matanya. Apakah ia terlalu jahat? Ah, tidak.

Nial sangat tidak menyukai seseorang yang arogan dan sombong. Entah itu pria atau wanita. Dari perlakuan Rose pada Ellisa kemarin, Nial tau bahwa Rose adalah salah satu wanita dengan dua sifat yang sangat di bencinya tersebut.

Ngomong - ngomong tentang Ellisa, ia sudah memberinya pekerjaan di Clark inc sebagai Office Girl. Dia meminta Ayahnya menerima Ellisa. Sebenarnya Hans tidak terima, tapi baru kali itu Hans melihat Nial memohon. Dan hanya untuk Ellisa.

Ponsel Nial di sakunya berdering.

"Ya, Ellisa... Bisa, kau dimana?... Baiklah, tunggu disana... Jangan sungkan, Ellisa, kau temanku... Aku akan kesana sekarang."

Nial menghela nafas dan beranjak meninggalkan kamarnya untuk menuju ke taman dimana Ellisa dan anaknya berada.

Ellisa sudah memiliki seorang putra, tapi ia tidak memiliki suami. Nial hanya iba dengan keadaan yang Ellisa alami. Di umurnya yang masih muda, ia sudah memiliki anak dan di bebani oleh perekonomian yang semakin mencekiknya. Hidup di New York bukanlah suatu yang mudah, semuanya serba mahal. Ellisa hanya mampu menyewa apartement sederhana dengan satu kamar yang sempit.

Tapi berkat kebaikan Nial, ia bisa mendapatkan pekerjaan baru setelah di pecat dari cafe tempo hari. Berkat Nial pula, ia bisa menyicil biaya apartementnya yang menunggak sampai Lima bulan. Belum lagi Susu formula untuk bayinya yang masih berumur Enam Bulan. Saat Ellisa bekerja, bayinya ia tinggal bersama adiknya, Adriana.

"Maaf aku selalu merepotkanmu, Nial." Ellisa menunduk tidak enak.

"Jangan sungkan meminta bantuan padaku, Ellisa." Nial tersenyum. "Ayo, hari sudah mulai petang dan sepertinya hujan akan turun." Nial berjalan terlebih dahulu.

Mereka memasuki mobil dan mulai meninggalkan taman yang semakin sepi pengunjung.

DARK ROSE ✅Where stories live. Discover now