CHAPTER 8

5.8K 340 1
                                    

Baru saja Rose keluar dari Kantor untuk memproses surat kepindahannya, ia sudah si hadang oleh Frans. Ia mengacuhkannya, melanjutkan jalannya menyusuri setiap koridor menuju loker. Frans terus memohon agar dia mendengar penjelasannya. Tapi pendengaranya seakan tuli dengan semua yang Frans katakan.

Berani - beraninya dia menampakan wajahnya di hadapanku. Huh, sungguh tak tau malu. Pikir Rose.

"Rose kumohon, dengarkan dulu penjelasanku"

"Penjelasan apa lagi, Frans? Kau dan Noura memang tak tau malu." Rose tersenyum sinis sambil mengalihkan pandangannya. "Aku tak percaya, aku mencintaimu."

"Rose, aku dijebak oleh Noura. Aku melakukannya dalam keadaan tidak sadar."

"Apa? Dijebak? Yang benar saja, Frans. Kau bahkan kaget saat melihatku membuka pintu kamarmu!" Bentak Rose tidak tahan.

"Rose..."

"Hubungan kita... Berakhir Tuan Watson" ujar Rose tegas.

"Rose tidak bisa, aku sangat mencintaimu!"

"Ah sudahlah, aku tidak peduli. Dan mulai detik ini juga aku sudah tidak akan pernah mencintaimu, Frans." Rose beranjak meninggalkan Frans, tapi baru beberapa langkah Rose membalikan badannya lagi. "Oh, dan satu lagi! Kembalikan semua aset yang pernah ku berikan padamu, Apartement, mobil, dan semuanya. Katakan itu juga pada Pacar tidak tau diri mu itu."

Rose meninggalkan koridor kampusnya dengan puas. Semua orang yang menonton perkelahiannya dengan Frans mengejek Frans setelah mengetahui semua yang ia kenakan adalah pemberian dari Rose. Walau tidak di pungkiri, Rose merasakan sakit yang teramat.

Bagaimanapun juga, Rose mencintai Frans. Dan Noura adalah sahabatnya. Lagi - lagi ia menyayangkan sikap Noura yang tidak bisa jujur padanya.

Baiklah, ini semua akan berakhir, Rose. Batin Rose terus menguatkan. Sungguh sial ia harus mencintai orang seperti Frans.

Sampai di depan lokernya, Rose segera membuka dan mengambil semua barang miliknya yang ada di loker tersebut. Besok adalah hari pertamanya masuk ke Universitas milik Ayahnya. Ia akan membuka halaman baru, dengan Mawar yang lebih segar dan tentunya berbeda. Ya, dia adalah ratunya.

🌹🌹🌹

Sidang skripsi akan di selenggarakan Satu Bulan lagi. Tentunya Nial akan segera hengkang dari Universitas dan akan melanjutkan Bisnis Keluarganya. Ayah dan Ibunya akan menetap di Paris dan menjalankan Perusahaan yang ada disana. Sedangkan ia akan menjalankan Perusahaan yang ada di sini, dan langsung menduduki posisi CEO. Sebenarnya Nial tak ingin langsung menduduki posisi CEO terlebih dahulu, karna ia tak ingin di cibir bisa menduduki posisi tersebut secara instan. Tapi dengan bujukan sang Ibu, akhirnya ia menyerah dan akan mengambil posisi itu. Ia akan membuat Clark Corp lebih maju dari pada saat di bawah pimpinan Ayahnya.

"Salah satu Kolegaku menikah, Dad akan mengenalkanmu pada kolega - kolega bisnis nanti malam." Hans menepuk pundak putra tunggalnya. "Jam Delapan, Supir akan menjemputmu di Mansion. Dad dan Mom akan menunggu di sana."

"Baik, Dad. Kalau begitu, aku akan pulang dan melanjutkan skripsiku." Nial bangkit dari sofa ruangan Ayahnya lalu meninggalkan ruangan tersebut.

Dia anak yang baik dan penurut. Semua yang Orang tuanya mau, ia akan berusaha memenuhinya selama ia mampu. Hanya datang ke acara perayaan pernikahan kolega Ayahnya, bukan masalah besar bukan? Toh, dia yang akan meneruskan memimpin Perusahaan pusat Clark Corp.

Di perjalanannya menuju Mansion, Nial mampir ke salah satu toko buku langganannya. Ia masih butuh banyak referensi untuk menyelesaikan skripsinya. Ia juga akan membeli beberapa buku panduan untuk bekal memimpin Perusahaannya. Okay, masih Perusahaan milik Ayahnya.

Tidak memerlukan banyak waktu, Nial sudah menemukan apa yang ia cari. Tiga Buku dengan ketebalan yang sekitar Dua Ratus lembaran, berada dalam dekapannya. Ia segera membawanya ke kasir dan membayarnya.

Keluar dari toko buku tersebut, Nial merubah tujuannya. Tadinya ia ingin kembali ke mansion dan melanjutkan mengetik skripsinya di dalam kamar. Tapi, coffee shop di sebrang jalan menggodanya. Dia memang pecinta kopi, semua jenis kopi mungkin ia sudah merasakannya. Ia juga memiliki mesin kopi sendiri di rumahnya atau bisa di katakan di kamarnya? Ia belajar meracik kopi secara otodidak. Nial kelewat Jenius.

Nial memilih duduk di sudut dekat jendela setelah memesan kopinya. Kali ini, ia memesan espresso biasa. Sambil menunggu pesanannya datang ia mulai membuka laptop dan beberapa buku referensinya. Baru saja ia mengetik beberapa kata, kursi di depannya bergerak. Ia mendongak.

"Hei, Bro. Sepertinya Tuhan berkehendak agar kita berjodoh." sapa salah satu dari dua orang serupa yang duduk di depannya.

"Mungkin Tuhan berkehendak agar kita berjodoh."

Wanita itu...

"Jangan dengarkan dia, Nial." yang lain menyahuti.

Sedangkan Nial tersenyum tipis. "Kau Darel kan?" ucap Nial menunjuk pada pemuda yang duduk tepat di depannya."Dan kau, Kharel?" tebaknya menatap pemuda di sebelahnya.

"Kau hebat, jarang orang yang bisa membedakan aku dan Kharel. Kau membuatku semakin jatuh cinta, Nial." Darel mengerlingkan matanya pada Nial.

"Abaikan saja kehadiran Darel, Nial. Anggap saja dia tidak ada." Kharel menyeruput kopinya.

"Adik tidak tau di untung." Darel berdecih.

Nial terkekeh pelan. Kembar yang sangat terbalik dengan semua sifatnya. Nial tidak menyangka akan bertemu dengan mereka lagi setelah kejadian menenangkan gadis kecil di halte tempo hari itu.

"Kau kaku sekali, Nial. Mana ada gadis yang mau bersama laki - laki kaku sepertimu." ujar Darel menatap Nial dengan seringai.

"Kau terlalu kaku di depan seorang wanita. Jangan canggung, nanti tidak akan ada yang mau menjadi kekasihmu."

Oh, Nial kembali terngiang ucapan Wanita yang ia temui di lift kemarin. Dua kali Darel mengingatkan Nial pada Wanita cantik itu. Ah, tapi apa urusannya. Kenapa juga ia harus memikirkannya?

"Aku sedang mengerjakan skripsiku, kalian diamlah." Ucap Nial dengan nada datarnya.

"Baiklah - baiklah, silahkan lanjutkan skripsimu." Darel menopang dagu sambil menatap kesekelilingnya mengerlingkan mata pada gadis - gadis yang menatapnya dengan penuh minat.

Di tengah keheningan yang menyelimuti meja yang di tempati ketiga lelaki tampan tersebut, ponsel Darel berdering dengan nyaring.

"Selera nada deringmu buruk, Darel." Nial menatap Darel dengan memincingkan matanya.

Darel hanya menunjukan gigi - gigi rapinya lalu mengangkat telfon tersebut.

"Ya Rose?"

Rose? Rose? Rose yang kemarin bertemu dengannya di lift?

"Namaku Rose, dan aku menyukai bunga Mawar merah."

Damn! Dalam hati, Nial memgumpati dirinya sendiri. Ada apa dengannya? Kenapa ia selalu memikirkan wanita itu? Pengganggu sialan!

"Nial kau tak apa?" Kharel mengibaskan tangannya di hadapan muka Nial.

"Oh, Sorry. Ya bagaimana?" Nial tersenyum tipis.

"Sudah ku katakan dia sedang melamun dan tidak mendengarkan kita, Kharel." Ujar Darel menyeruput sisa kopinya.

"Kita akan pergi dulu, Nial. Kakak kami mengalami kebocoran ban di jalan." Kharel tersenyum.

"Oke, hati - hatilah." pesan Nial lalu memandangi kepergian si kembar serupa tersebut.

Moodnya mendadak tidak enak setelah memikirkan wanita itu. Menutup laptopnya lalu memasukannya kedalam tas, meminum kopinya kembali, dan meletakkan beberapa dolar untuk membayar kopinya. Nial segera pergi dari coffee shop tersebut.

📚📚📚

DARK ROSE ✅Where stories live. Discover now