1 - Liburan

3.7K 413 83
                                    

"Hp, dompet, passport, tiket sudah semua, Yuki?" Ibu Yuki menanyakan hal yang sama belakangan ini, mengingat putri satu-satunya akan pergi ke luar negeri

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Hp, dompet, passport, tiket sudah semua, Yuki?" Ibu Yuki menanyakan hal yang sama belakangan ini, mengingat putri satu-satunya akan pergi ke luar negeri.

Natasya Miyuki. Namanya terdengar seperti orang Jepang bukan? Apakah dia keturunan darah Jepang? Bukan, dia 100% darah Indonesia asli. Hanya saja ayah dan ibunya menamai putri bungsunya dengan nama itu.

Bukan tanpa alasan, mereka mengambil nama Miyuki karena memiliki arti kebahagiaan yang indah. Kedua orangtua gadis berusia 22 tahun yang akrab dipanggil Yuki itu ingin putrinya selalu bahagia.

"Sudah ibu, semuanya sudah siap. Barang-barang bawaanku juga siap." jawab Yuki meyakinkan.

"Kau yakin akan pergi ke Jepang?"

Raut sang ibu, nampak berubah khawatir. Yuki yang melihatnya pun, menuntun ibunya duduk pada tepi kasur.

Yuki tersenyum sembari memegang tangan ibunya yang sudah nampak keriput seiring berjalannya usia. "Ibu, tentu saja aku yakin. Ini adalah impianku. Aku sudah lama menantikan ini." jelasnya.

"Tapi, tanpa ada yang menemani di sana-- apa kau baik-baik saja?"

"Ibu, aku hanya pergi liburan. Bukan tinggal di sana." jelas Yuki menenangkan.

"Tapi--"

"Ibu ... percayalah, aku akan baik-baik saja."

Impian Yuki yang sudah lama dia impikan, akhirnya bisa terwujud. Jerih payah menabung sejak kecil, sampai bekerja mati-matian, demi mendapatkan gaji yang lebih tinggi. Semua dia lakukan agar bisa pergi berlibur ke Jepang. Karena keluarga Yuki sendiri bukan orang berada yang bisa langsung mewujudkan apapun tanpa memikirkan hal lain. Dan beruntungnya dia sekarang, hidupnya sudah lebih mapan.

Yuki pergi hanya seorang diri. Dia tidak mungkin mengajak ibunya, karena dia khawatir ibu akan kenapa-kenapa selama perjalanan. Sedangkan kakaknya tidak mungkin menemaninya liburan. Mereka memiliki keluarga dan urusannya sendiri. Lagipula, Yuki hanya ingin me time.

Lalu, bagaimana dengan teman-temannya? Semua temannya tidak tertarik dengan Jepang. Mereka semua lebih memilih pergi ke Korea. Bahkan teman-teman Yuki sering menyarankan agar dia pergi ke Korea saja. Tentu saja dia akan menolaknya mentah-mentah.

"Aku pasti akan selalu mengabari ibu." tambahnya.

"Rasanya ibu tidak rela," suara ibunya terdengar parau, diiringi dengan matanya yang mulai menitikkan air mata.

Suasana pun mendadak berubah menjadi haru.

Mata Yuki mulai memanas, ingin turut menitikkan air mata. Namun, sebisa mungkin dia tahan. Tak dapat dipungkiri, dirinya pun sedih karena harus meninggalkan ibunya demi mewujudkan impiannya. Walau hanya sementara, namun tetap akan terasa lama.

"Ibu, izinkan aku pergi, ya?" pintanya, memohon restu---dan langsung disambut anggukan ringan dari ibunya.

"Yuki, sudah siap belum? Ayo berangkat!" seruan dari kakak laki-laki Yuki, terdengar dari luar kamarnya.

"Sudah, kak!" teriak Yuki, sembari bangkit dari duduknya. Lalu mulai membawa koper dan tasnya keluar kamar.

"Ibu juga ikut ke bandara, ya." ajaknya kemudian.

Ibunya mengangguk setuju. Setidaknya Yuki ingin agar ibunya bisa melihat kepergiannya ke Jepang.

Ibu Yuki keluar dari kamar anaknya itu dengan berat hati. Selama beberapa hari ke depan suasana rumah akan sepi tanpa suaranya.

Setelahnya, ibunya berjalan menyusul Yuki yang tengah sibuk memasukkan barang-barang bawaannya ke dalam bagasi mobil milik kakaknya itu.

"Yup, semua sudah siap!" ujar Yuki semangat.

Sebelum pergi, Tak lupa Yuki menghampiri ayahnya yang sejak dari tadi duduk di teras depan rumah dengan secangkir kopi di sampingnya.

"Ayah, aku pergi dulu." pamitnya sembari mencium punggung tangan ayahnya yang sudah keriput karena usia.

"Iya, hati-hati." jawab ayahnya. "Jangan lupa mengabari kalau sudah sampai."

"Iya, ayah." Yuki tidak perlu bersusah payah meminta izin dari ayahnya. Toh, ayahnya tidak keberatan sama sekali. Malah, lebih terlihat tidak peduli. Apapun yang diinginkan anaknya, ayahnya membebaskannya.

"Ayo, ibu!" Yuki merangkul tangan ibunya menuntun berjalan ke mobil.

Dia membukakan pintu mobil belakang untuk ibunya terlebih dahulu. Setelahnya, Yuki memilih duduk pada bangku depan, di samping kemudi.

"Ayah, aku antar Yuki dulu." pamit kakak Yuki.

"Iya, hati-hati."

Kakak Yuki berjalan menuju mobil dan duduk di balik setir kemudi. Lalu, mobil yang sejak tadi dalam keadaan menyala, mulai melaju perlahan meninggalkan pekarangan rumah mereka.

Selama beberapa hari ke depan, Yuki akan sangat merindukan tempat tinggalnya itu.

Hallo Oppa! [END] Where stories live. Discover now