Meski kurang fit, nyatanya Salmira tetap melakukan pekerjaannya dengan baik. Hari itu adalah jadwal take video. Salmira sibuk kesana kemari, memeriksa segala yang telah ia rencanakan agar sesuai konsep. Hari itu mereka sedang berada di salah satu tempat glamping di kawasan Megamendung.

Salmira baru saja memberi brief kepada pegawai tempat itu yang akan menjadi support konten mereka. Sebelumnya, Salmira telah diajak berkeliling oleh seorang marketing comunication tempat itu yang sebelumnya telah mengontak Wulan untuk diajak bekerja sama.

Beberapa kali berkeliling tempat itu, memastikan semua sesuai konsep, Salmira merasa sangat kelelahan. Perut bagian bawahnya makin terasa ngilu. Salmira mengcengkram ujung kemejanya ketika rasa sakit yang ia rasakan makin tidak tertahan. Sampai ia merasakan sesuatu bergejolak di rahimnya berbarengan dengan darah yang mengalir di pahanya.

Salmira menangis ketakutan kerika meraba celana kain hitam yang terasa basah dan darah pekat menempel di tangannya.

"Kak," Salmira memanggil Wulan yang sedang merapikan riasannya lirih.

"Sal?" Wulan menghampiri Salmira yang telah menangis menatap telapak tangannya. "Kamu pendarahan?" ucapnya ketika melihat tetesan darah di kaki Salmira yang telah mengenai kaos kakinya.

Tidak lama. Wanita itu ambruk, tidak sadarkan diri.

"Salmira!" Wulan berseru membuat perhatian orang-orang di tempat itu tertuju pada Salmira.

🌻

"Pak Ronan, ini saya Wulan."

"Loh, Mbak Wulan kenapa nelpon pakai handphone istri saya? Salmira baik-baik saja, kan?" tanya Ronan ketika panggilan telepon yang ia terima dari nomor istrinya ternyata dari orang lain.

"Pak, bisa ke rumah sakit Harapan sekarang? Salmira di sini. Saya gak bisa cerita di telepon."

"Oke. Makasi Mbak Wulan. Tolong jaga istri saya sebentar. Saya ke sana sekarang."

Ronan mengemas barang-barangnya. Menyambar kunci mobilnya kemudian melesat meninggalkan kantor. Sebelumya ia berpesan pada Siska- sekretarisnya untuk menunda semua pertemuan dengan siapapun sampai Salmira pulih, dan Ronan akan menganarinya.

Sekitar empat puluh lima menit dalam perjalanan yang lumaian padat, akhirnya Ronan tiba di rumah sakit tempat istrinya dilarikan.

"Sayang!" panggil Ronan ketika memasuki ruang rawat Salmira. Kemudian berlari mendekati istrinya.

Salmira menangis. Isakan dan air mata wanita itu, membuat dada Ronan tersayat. Ia menggenggem erat tangan istrinya meski belum sepenuhnya memahami apa yang terjadi.

"Mas, maafin aku," lirih Salmira. Kemudian kembali meraung. Tangisnya kian pecah ketika melihat wajah suaminya penuh kekhawatiran.

Ronan tertunduk lemas. Ia masih belum mengerti apa yang terjadi. Pagi tadi istrinya masih terlihat baik-baik saja. Masih ceria, bahkan mereka sempat berdebat perkara kotak bekal yang Salmira siapkan untuk Ronan. Berwarna kuning cerah berbentuk minion dan Ronan merasa malu harus menenteng minion ke kantor sehingga membuat Salmira kesal.

"Hey, kenapa minta maaf?" Ronan menghapus air mata di wajah istrinya kemudian mengecup kening Salmira penuh cinta.

"Mas, aku udah bunuh anak kita. Aku gak bisa jaga dia dengan baik." Tangis Salmira kembali pecah. Ingatannya akan rasa sakit di perut bawahnya, darah yang mengalir deras, dan janinnya yang luruh membuat hatinya benar-benar ngilu.

"Anak?" tanya Ronan keheranan. Pasalnya ia sama sekali tidak tahu menahu perihal anak yang Salmira maksud.

"Aku juga gak tahu ada dia di perutku. Maafin aku, Mas. Kalau aja malam itu aku nurut saat kamu ajakin ke rumah sakit...." Salmira menggantungkan ucapannya. Kemudian bangkit dan hendak menghamburkan tubuhnya pada suaminya.

Selamanya [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now