PART 35: OMONGAN TETANGGA

Beginne am Anfang
                                    

Biasanya menu yang akan dimasak sesuai suku asal tuan rumah yang menjadi giliran. Eca yang merupakan keturunan suku bugis dari mama dan bapaknya akan menyajikan kapurung, makanan khas Sulawesi. Kamila mengamati bu Mira yang mengupas mangga muda di dapur. Dia ikut mengambil pisau kecil dan mengupas mangga muda itu. Rasanya air liurnya hendak menetes melihat mangga muda yang ia kupas terlepas dari kulit. Pasti mangga itu enak kalau dicolek dengan cabai merah, terasi dan garam yang sudah dicampur dan diberi sedikit air. Kamila menekan mangga muda dikepalan tangan mungilnya. Dia ingin sekali mencecap asam dari daging buah itu.

"Tolong diparutkan ya, saya mau masak ikannya dulu." Kamila meraih alat pemotong sayur serbaguna itu. Sebelum dia memarut beberapa mangga muda yang telah dikupas, dia masukkan semua mangga itu pada wadah kecil. Lalu, mengangkat wadah itu ke kamar mandi. Di kontrakan itu, tidak ada wastafel jadi air harus diambil dari kamar kecil. Kamila mengisi wadah itu dengan air bersih sampai beberapa mangga itu terendam.

"Bu, itu kok mirip banget sama yang pernah tinggal di sini ya? Ibu gak lupakan?" Sayup-sayup terdengar suara seorang wanita. Itu mungkin ibu-ibu yang tadinya bercokol di teras.

"Iya mirip, kata Eca itu sepupuh dia." Balas bu Mira.

"Dulu juga jaman mbak Eca kuliah tinggal di sini sama sepupuhnya ya? Ini berarti saudaranya ya bu?"

"Ya mungkin bu."

"Mukanya mirip banget bu, semoga tingkahnya gak kayak kakaknya yang sering pulang malam, di antar laki-laki yang beda hampir tiap malam." Ujar wanita itu dengan nada ngerinya. Kamila meremas wadah plastik di tangannya. Ucapan yang terdengar dari luar itu seolah menghantam keras dadanya. Kamila meletakkan wadah yang berisi mangga itu pada pinggiran bak mandi. Sebelah telapak tangannya menyentuh dinding, mencari keseimbangan dan kesadaran dari untaian kata yang barusan masuk menusuk telinga. Dia berperang melawan kenyataan berteriak di kepalanya, mencoba abai meski sulit.

Kamila tahu Eca satu universitas dengan Keisya, saudara kandunganya. Mereka juga tinggal dalam satu kontrakan yang sama. Namun, dia tidak banyak tahu bagaimana kehidupan kakaknya di kota ini hingga perempuan itu menjemput ajalnya. Tidak mungkin perkataan barusan menjurus pada Keisya, ketiga anak Mella bahkan masih naif soal cinta. Jadi mustahil Keisya bertindak sejauh itu selama tinggal di kota ini.

"Moga aja gak bu, dari penampilan insha Allah yang ini gak nakal kayak kakaknya." Kata bu Mira.

Kamila keluar dari kamar mandi setelah memastikan perbincangan itu usai sebab telinganya tak lagi mendengar obrolan apapun. Perempuan yang mengenakan daster motif floral dengan tiga kancing di depan itu tersenyum tipis pada Kamila. Kamila tersenyum kikuk, lalu duduk di lantai. Dia memarut semua mangga muda itu. Setelah itu menaburkan garam dan pepsin, lalu mengaduknya sampai rata.

Kamila mengamati bu Mira yang mengambil alih wadah itu. Kamila menyimak pergerakan bu Mira yang menuangkan sedikit kuah ikan masak kuning pada wadah yang berisi parutan mangga muda itu. Kamila tampak serius mengamati, padahal jika diselami pikirannya tengah memutar ulang perkataan wanita itu.

"Kamila." Panggil bu Mira melihat gadis itu melamun di sebelahnya.

"Kamila."

"Eh, iya tante?" Kamila sedikit berjingkat dari posisinya.

"Kok melamun?" tanya bu Mira sambil memberikan wadah itu pada Kamila. Kamila terkekeh pelan dan tidak menjawab.

"Ini taruh di meja ya. Terus tolong ke teras ambil bawang merah dan putih, kayaknya sudah di kupas." Sambung bu Mira. Kamila menganggukkan kepala dan bergegas pergi.

Kamila membungkukkan badan dengan kikuk, tetapi tetap memaksakan dua sudut bibirnya tertarik. Dia tersenyum kikuk sambil meraih baskom tirisan sayur yang berisi bawang yang sudah dikupas. Empat ibu-ibu yang duduk di lantai itu meniliknya penasaran sembari tersenyum ke arahnya. Kamila menundukkan pandangan sebab merasa menjadi buah perhatian. Gadis itu menegakkan badannya dan mengucapkan permisi, lalu pergi dari sana.

"Kata bu Mira, itu sepupuhnya mbak Eca. Ingatkan dulu mbak Eca tinggal di sini sama si pelacur itu. itu adeknya bu!" Kamila menelan salivanya yang terasa kelat. Baru saja dia melewati pintu masuk. Figurnya menghilang dari balik pintu, menghilang dari jangkauan pandangan ibu-ibu yang kini suaranya terdengar samar. Kamila bertahan diposisinya meski kedua tungkainya mendadak terasa lemas mencerna pergunjingan itu. Namun, apa memang itu hanya sekadar pergunjingan belaka?

Dia merapatkan badan pada jendela yang tertutup gorden tebal. Hanya pintu sebagai akses cahaya masuk menyinari ruang tamu yang sempit ini. Dengan segenap keberanian dia berdiri di sana, menajamkan indra pendengarnya.

"Adeknya mbak Eca?"

"Bukan! Itu adeknya si pelacur yang tinggal di sini sama mbak Eca dulu. Aduh siapa sih namanya, aku lupa. Ke... mbak ke...?"

"Mbak Kei toh? yang keguguran itu?" Netra Kamila membulat karena terkejut. Kedua alisnya bertaut diiringi gelengan kepalanya yang merasa tak percaya. Sudah pasti buah bibir yang dimaksud mereka adalah Keisya. Di sisi lain Kamila meneguhkan keyakinannya bahwa perempuan itu bukan Keisya, tetapi tabir kebenaran seolah tersingkap lebar di depan mata.

"Iya! Namanya Kei, mbak Kei. Ndak lupakan bu? Belum ada empat tahun kok semenjak dia meninggal masa lupa sih."

"Gak lupa bu Warsi. Cuma namanya aja yang saya lupa, masih ingat kok saya sama mukanya. Yang ayu itu kan? Sayangnya kelakuannya astagfirullah ya bu. Padahal mbaknya ayu tenan. Dulu suami saya kalau ronda malam sering itu lihat dia diantar pulang laki-laki bertato, tapi beda-beda tiap harinya. Mobil yang antar juga kadang ganti-ganti, masa ada mahasiswa begitu? Pulang jam tiga subuh? Astagfirullah kira-kira ngapain itu?" Kedua rungu perempuan yang sedang menguping itu seakan ditusuk pasak. Kamila memejamkan kedua mata, mencoba kukuh pada rasa yakinnya.

"Bukan cuma suami ibu aja, banyak kok orang diam-diam tau kelakuannya begitu. Pulang subuh diantar laki-laki, pakaiannya kayak habis dugem di diskotik. Dada dan pahanya dipamer ke mana-mana. Dipikir kalau pulang subuh tetangga gak merhatikan kali ya bu? Astaga kelakuan anak muda jaman sekarang. Niat merantau kuliah jauh dari kampung malah jual diri."

"Mbak Eca kok dulu betah ya se-kontrakan sama mbak Kei? Kalau saya pasti sudah saya usir. Amit-amit punya anak kayak gitu ya Allah, naudzubillah min dzalik!"

"Saya penasaran bu, itu bayi anak siapa ya? Kan dulu dia meninggal karena keguguran?"

"Pasti gak jelas siapa bapaknya bu."

Suara langkah kaki dari dalam menyadarkan Kamila agar lekas pergi dari sana. Bu Mira berpapasan dengan Kamila yang melewati ruang keluarga. Wanita itu tadi menunggu Kamila yang tak juga datang menyerahkan baskom itu. Bu Mira akhirnya berjalan keluar dan mendapati Kamila juga melangkahkan kaki menuju dirinya agak terburu-buru.

"Tante, saya mau ke kamar mandi sebentar." Bu Mira mendengar suara Kamila sedikit gemetar dan dia menangkap wajah perempuan muda itu memerah. Kamila menyerahkan baskom tirisan itu pada bu Mira, lalu bergegas pergi.

Kamila membasuh pelan wajahnya. Dia berharap itu dapat melenyapkan raut tak biasa pada romannya akibat rasa terkejutnya. Kamila terpejam merasakan air menyentuh kelopak matanya. Kilasan peristiwa masa lalu kembali berputar di kepala perempuan itu. Malam ketika mama mendapat panggilan mendesak yang mengatakan Keisya masuk rumah sakit, wanita itu langsung terburu-buru pergi disaat azan subuh bahkan belum berkumandang. Tepat dihari yang sama. Hari yang amat menggelisahkan itu membawa kabar duka. Kamila menerima telepon mama yang telah kehilangan suaranya akibat banyak menangis. Kamila tak bisa percaya, tetapi tangisan mama yang penuh keputusasaan itu memperjelas kenyataan yang sulit diterima.

Setelah empat hari, mama pulang kembali ke Bontang dengan penampilan yang kacau.

"Keisya meninggal, anak mama meninggal, dia pergi... Kakak kalian pergi..." Gumam mama dengan nadanya yang gemetar. Wajah mama pucat dan tampak kuyu. Tubuh mama lemas sampai harus dirawat inap selama seminggu. Bahkan setelah sebulan berlalu mama baru berani mengatakan penyebab meninggalnya Keisya. Serangan asma Keisya kata mama terlambat ditangani hingga membuat perempuan itu tak mampu bernapas dengan normal sampai akhirnya maut menjemput.

Jika apa yang dikatakan ibu-ibu itu tidak benar, lantas siapa gerangan yang dimaksud? 'Mbak Kei' siapa? Itu cukup jelas merujuk pada Keisya. Lalu, bagaimana dengan ucapan mama tiga tahun lalu?

Jika orang yang dimaksud mereka dan mama adalah orang yang sama. Namun, mengapa ada dua sisi cerita yang berbeda?

Bersambung

DIDEKAP KALA ITU (TAMAT)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt