PART 18: KONTRAKAN ITU

2.7K 170 2
                                    

Hargai tulisan ini dengan vote dan komen

🌸Terima kasih🌸

Kamila risih dengan perubahan Daffa yang aneh. Entah itu perubahan atau memang sisi asli seorang Daffa Alhusayn, Kamila tak tahu. Pertanyaan Daffa pada Kamila menunjukkan jika sang istri adalah gadis yang pembangkang, Kamila tersinggung. Tak suka dengan pertanyaan menuntut Daffa yang memojokkan Kamila karena terkesan menuduhnya berdusta. 

Di tengah perang dingin seperti ini, Kamila ingin sekali menjauhi Daffa. Tak seperti saat ini, dia tetap harus mengikuti pria itu yang menawarkan salat magrib berjamaah. Padahal Kamila sudah akan takbir, tetapi pria itu terburu-buru masuk kamar dan meminta Kamila menunggu dirinya. 

Sembari menunggu Daffa yang membersihkan diri, Kamila banyak-banyak mengucapkan istigfar. Tak ingin ibadahnya bercampur dengan perasaan dongkol. 

"Peci, aku di mana La?" Kamila yang duduk anteng di sajadah menengok Daffa. 

"Dicuci kak." 

"Kalau sarung aku di mana?" Kamila mendengus, berpikir bagaimana kalau handuk yang menutup pinggang hingga lutut Daffa melorot? Melihat Daffa bergerak ke sana kemari  membuat Kamila takut handuk itu lepas. Lelaki itu melirik ke ranjang dan ladder hanger, tetapi tetap tak menemukan. 

"Dicuci juga, pake yang baru aja kak. Ambil di lemari." Kata Kamila malas. 

"Lain kali disediakan ya La." Ujar Daffa sembari membuka lemari memilih sarung. 

"Hm." 

Setelah mereka salat berjamaah, dilanjutkan dengan membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Suara Daffa mengalun merdu mengucap tiap ayat-ayat suci itu. Rasanya nyaman mendengar suara Daffa, seketika emosi Kamila mudah diredam dengan lantunan firman Tuhan yang dilisankan sang suami. 

Kamila menebak, Daffa akan menyuruh dirinya tadarus. Kamila hendak bangkit dan melihat di bawah Al-Qur'an berwarna hijau, ada novel miliknya yang sudah lama selasai dia baca. 

Novel itu karya Kesya, si sulung. Saudara Kamila. Melihat novel itu, Kamila kembali berputar kembali ke masa lalu. Ketika raga Kesya masih menyertai keluarga mereka. Andaikan Kesya diberi usia yang panjang, ingin sekali Kamila berujar tentang keresahan yang tengah menggerogoti pikirannya. Tak mungkin dia berbagi cerita pada si bungsu Kania karena usianya yang belum mencukupi. 

Kesya selalu membuat Kamila kagum, kakaknya itu pandai merangkai kata menjadi untaian kalimat yang menarik. Meski semasa hidupnya baru dapat menerbitkan dua novel secara Self Publishing. Kamila yang menggemari banyak karya fiksi pun tertarik mengikuti jejak Kesya. Kamila ingin mengasah keterampilan menulis dengan masuk ke jurusan pendidikan bahasa Indonesia. Untuk yang satu itu dia berbeda dengan sang kakak. Kesya dulu mendaftar di jurusan sastra Indonesia. Kelihatannya mirip, tetapi sejatinya berbeda. Kesya yang jago bermain kata-kata tentu memilih jurusan murni terkait sastra, sedangkan Kamila memantapkan pilihan sesuai cita-citanya sejak dulu. Bertekat menjadi seorang guru. 

Ya begitulah, dulu Kesya di jurusan sastra murni dan sekarang Kamila di jurusan pendidikan terkait sastra. 

"Ambil Al-Qur'annya La, kamu masih harus lancarkan bacaan surah Al-Mulk. Nanti gak sempat baca loh, entar azan Isya. Terus habis isya kamu ngerjain tugas kamu yang belum selesai, terus tidur? Gak jadi-jadi deh kamu lancarin bacaan. Mumpung aku di sini, koreksi bacaan kamu." Daffa menepuk pelan pinggul Kamila yang sejak tadi memasang pandangan kosong. Memberi bahasa tubuh agar Kamila lekas mengambil Al-Qur'an. 

"Iya... iya.... gak usah ngomel kak." Sahut Kamila dengan roman cemberut. Daffa tergelitik mengamati ekspresi Kamila, bibir perempuan itu mengerucut maju karena kesal. 

Di awal pernikahan mereka, Kamila sempat mencurahkan kegelisahan hatinya yang tak lancar membaca Al-Qur'an. Dengan berat hati meminta Daffa mengajarinya. Daffa tentu dengan sepenuh hati mau membantu Kamila, tetapi berbeda untuk kali ini. Daffa membaca raut Kamila yang enggan banyak bicara. Tampang marahnya bertahan, apalagi tadi dia menambah kekesalan Kamila. Untungnya tidak membuat sang istri meneteskan air mata. 

Gak ada rasa sungkan kah kak Daffa habis ngomong enggak-enggak ke aku di tangga tadi? Enteng banget ngajak ngaji bareng lagi. Lupa apa ya kalau aku sama dia masih kemusuhan! Atau kak Daffa merasa itu hal sepele? Tapi kenapa tadi marah-marah gitu? Ih ngeselin nih om-om!! Celoteh batin Kamila, wajah perempuan itu masih ditekuk, mungkin lupa dengan ucapan-ucapan istigfarnya sebelum salat magrib tadi. 

Kamila pun mulai melisankan untaian ayat-ayat suci, Daffa di sebelahnya duduk menyimak. 

Abdullah bin Mas'ud mengatakan: "Barangsiapa membaca surat Tabarokalladi bi yadihil mulk setiap malam, maka Allah azza wajalla menghindarkannya dari azab kubur, dan dahulu kami (para sahabat) di saat Rasulullah SAW (masih hidup) menamainya 'al-Mani'ah' (penghindar/penghalang). Sungguh surat tersebut ada dalam Kitabullah, barangsiapa membacanya dalam suatu malam, maka ia telah banyak berbuat kebaikan." (HR. Nasa'i) 

Keutumaan membaca surah Al-Mulk itu yang mendorong Kamila untuk bisa melancarkan dan menghafalkan. Tidak ada seorang pun insan yang mau jika diberi siksaan pedih di alam kubur, Kamila tak bisa membayangkan betapa tersiksa dirinya di alam selanjutkan jika terus tak peduli pada kitab pedoman umat itu. 

Bukankah ini memalukan? Dulu saat dia mengaku pada Daffa dia sangat malu. Bagaimana jika diusia semuda itu malaikat maut lekas menjemput? Sedangkan dia belum banyak menabungkan amalan? 

Malah dosa-dosa yang membukit dibawa ke liang lahat. Sungguh menyeramkan! Diusia masuk kepala dua dan sudah menikah masih terbata-bata. Napas Kamila masih terputus-terputus, tak dapat membaca satu ayat dalam satu tarikan napas. Terkadang pula ada kata yang dia ulang-ulang karena tak puas padahal sudah benar. Daffa akan mengusap punggung kecil itu agar sabar dan tidak menyerah saat melancarkan bacaannya. 

***
Daffa mengamati rumah kontrakan sederhana yang sudah lama sekali lepas dari pandangan. Dia mengantar Kamila ke kontrakan itu. 

Kontrakan yang catnya tampak mengelupas di mana-mana. Di sekitar kontrakan itu masih sama, masih ramai dengan tetangga yang berbincang ria di teras. Para ibu-ibu muda yang mengenakan daster selutut tengah menimang bayi sembari menyantap gorengan. Anak-anak kecil yang bermain lompat tali dan kelereng tanpa mengenakan alas kaki. Serta kucing kampung yang berlalu-lalang. Suasana itu masih sama, meski ada yang berubah setelah beberapa tahun lamanya. 
Perubahan itu tertangkap di kedua netra Daffa. Alis tebal Daffa agak menukik dan matanya menyipit melihat ada baby walker dan stroller bayi di teras kontrakan itu. 

Pintu kayu ulin kontrakan itu perlahan terbuka, menampilkan wanita dengan daster tengah menggendong bayi di tangan kanan. Tangan kirinya memegang ponsel yang didekatkan ke telinga. 

"Oh itu kak Eca! Aku lihat kak Eca dari dalam mobil. Kakak lagi gendong Yayadkan?" Balas Kamila yang memandang ke luar jendela, mengamati wanita itu yang menengok kanan-kiri mencari saudara sepupunya. Kamila lekas mematikan sambungan telepon, dia bersiap keluar dari mobil. 

Sudah lama sekali, Kamila tidak bertemu dengan Eca. Jelas saja, sepupunya yang lebih tua tersebut kuliah bahkan sekarang bekerja di luar kota sejak dia masih duduk di bangku SMP. 

Akhirnya Eca melihat mobil Daffa yang memang agak jauh dari rumah kontrakannya. Eca menunggu Kamila keluar dari mobil itu sembari meletakkan bayinya ke stroller. 

"Kakak mau ikut turun? Yuk ketemu kak Eca." Ajak Kamila meski tak berharap Daffa mau ikut bersama dengannya untuk bertemu sepupunya itu. Sekadar mengajak karena Kamila tahu Eca kenal dengan Daffa, mereka adalah teman kecil. 

"Gak, aku mau langsung ke kafe mau cek laporan stok barang. Kamu aja ya. Nanti pulangnya jangan order ojek online, langsung telpon, tunggu aku." 

"Oke." Kamila meraih tangan Daffa dan mengecup punggung tangan lebar suaminya. 

"Sebentar!" Sahut Daffa. 

"Kenapa?" Baru saja Kamila hendak mendorong pintu mobil. 

"Sini" Kamila terdiam dan mengernyit, dia membiarkan Daffa mendekat ke arahnya. Jemari Daffa menyentuh pinggir wajah Kamila, ada anak rambut yang terlihat di pelipis dan sisi wajah gadis itu. Dengan hati-hati Daffa mendorong masuk anak-anak rambut itu ke dalam hijab. Kamila memejamkan mata merasakan permukaan jemari Daffa yang terasa kasar di wajahnya. Juga napas Daffa yang menerpa wajah Kamila terasa hangat. 

Daffa mengusap sebentar alis dan kelopak mata Kamila yang terpejam, ingin mengecup, tetapi takut Kamila menjadi risih. Daffa pun memundurkan wajah.

"Oke aku turun ya." 

***

Kedua perempuan dengan selisih usia yang lumayan berjarak itu berpelukan. Eca heran melihat perubahan Kamila yang kini menjadi lebih dewasa, bukan lagi remaja kecil seperti dulu. Tubuh gadis itu pun terbentuk lebih feminim. Walaupun tingginya tetap saja, Kamila tetap gadis kecil. Sepupunya yang mungil. Namun, garis wajah Kamila sekarang kelihatan lebih matang. 

"Kak Heru kerja kak? Kakak gak ngajar?" Tanya Kamila sembari mengambil perhatian Yayad. 

"Iya lagi ngojek, kakak gak masuk karena Yayad rewel dari kemarin. Tengah malam suka bangun, susah tidur kami dibuat, ini aja lagi agak demam dia." Jawab Eca. Mata bayi itu tampak memerah dengan wajah lesuh. 

"Ngomong-ngomong kamu apa kabar nih? Ketemu aku eh udah nikah aja." 

"Alhamdulillah baik kak." Kamila tersenyum. 

"Kalau Daffa gimana kabarnya La?" 

"Kak Daffa alhamdulillah baik juga, cuma sekarang lebih cerewet dan nyebelin." Raut Kamila perlahan berubah kesal mengingat kelakuan Daffa akhir-akhir ini. 

"Ya namanya juga nikah La, dua kepala, dua emosi gak selamanya cocok, ada aja sisi pasangan kita yang bikin jengkel. Gak perlu kaget kalau setelah akad nemu ada yang beda dari pasangan kita, toh udah akad kita terima apapun itu, buruk baiknya pasangan. Meski tetap aja bakal kaget menghadapi sisi pasangan kita yang malah baru kelihatan setelah beberapa bulan pernikahan. Eh ternyata ngorok pas tidur, kentut sembarangan, suka sentuh sana sini pas tidur, suka meluk, suka letakin barang sembarangan, pasta gigi gak ditutup, asal masuk kamar mandi, hal-hal kayak gitu tuh bikin jengkel dan bikin kaget pas tau ada sisi bobrok kayak gitu di pasangan kita." Jelas Eca diikuti tawa ringannya. 

Ada beberapa pasang mata yang melirik penasaran ke arah Kamila dan Eca yang asik berbincang dan melepas rindu di teras, kedua perempuan itu duduk di kursi kayu. Kamila perlahan peka ke mana lirikan itu tertuju, pada dirinya. Tak ada yang aneh dengan gamis yang dia pakai, juga anak rambut yang terlihat sudah di perbaiki Daffa tadi. 

"Kamu sering-sering ke sini dong La, kita jalan ke big mall atau nyari mie ayam di Samarinda seberang tuh enak-enak. Biar Yayad ayahnya yang jagain kalau kita jalan." 

"Boleh banget kak!" Mata Kamila berbinar senang, tentu dia mengiyakan ajakan Eca. 

Tatapan para tetangga yang penasaran itu tidak berhenti, menatap Kamila dengan rasa ingin tahu yang tinggi. 

"Kok mirip ya? Mirip banget." 
"Iya loh mirip, apa adeknya?" 
"Iya kayaknya adeknya itu. Hidung, alis, bibirnya sama." 
"Moga aja adeknya gak kayak kakaknya ya bu." 


BERSAMBUNG


DIDEKAP KALA ITU (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang