PART 33: DOKTER KARTIKA

2.2K 117 5
                                    

Hargai tulisan ini dengan vote dan komen

🌸Terima kasih🌸

Rasya sudah mempertimbangkan apa yang akan terjadi jika dirinya mengutarakan hal yang telah lama disembunyikan Daffa dari sang ibu. Indi akan langsung menemui Daffa, tetapi wanita itu sadar jika Daffa bukan lagi anak kecil. Daffa kini tumbuh menjadi lelaki dewasa dan telah beristri, anaknya kini memiliki keluarga sendiri. Dia tidak boleh bertindak seenaknya.

Indi tidak menyangka Daffa harus tersiksa oleh trauma karena perundungan di masa kecilnya. PTSD (Post-traumatic Stress Disorder) yang dialami Daffa disebabkan oleh kekerasan verbal dan fisik dari sang nenek. Nini akan berlagak cuek dan tak menganggap kehadiran Daffa yang ternyata diam-diam menyiksa anak itu di belakang Indi dan Hasan. Perlakuan kasar yang diterima Daffa perlahan mengganggu kejiwaan anak itu. Kenangan pahit di rumah itu tak bisa dilupakan begitu saja. Daffa terkungkung oleh masa lalu yang menyakitkan, masa lalu yang terekam jelas dan nyaris selalu terbawa dalam tidurnya.

Ucapan pedas nini tentang dirinya yang tidak pantas berada di tengah keluarga itu terus berputar di dalam mimpi buruknya. Nini mencerca dan menyalahkan dirinya sebagai biang pembawa sial, membuat Daffa dirundung rasa cemas dan bersalah. Rasa bersalah pada kesalahan yang tidak pernah dia perbuat. Daffa tidak mengerti mengapa nini begitu membencinya.

Sehari setelah Rasya mengungkapkan hal yang selama ini disembunyikan oleh Daffa, dia dan ibunya pun terbang ke Samarinda. Tidak untuk menemui Daffa secara langsung, tetapi Indi perlu mendengar penjelasan terkait kondisi Daffa dari psikiater yang menangani anaknya di sana. Rasya sendiri tidak bisa menjelaskan panjang lebar pada ibunya kemarin karena ingatannya yang terbatas tentang diagnosis itu. Biar sang dokter saja yang menjabarkan semuanya.

***

Rasya memarkirkan mobil di pinggir jalan, di depan hunian bertingkat bergaya minimalis. Indi bergerak keluar dan memandang papan berwarna putih yang tergantung pada tiang di depan rumah itu.

Dr. Kartika Jusuf, spKJ

Psikiater

Praktek Menurut Perjanjian

081212*****

Hari Besar/ Minggu Tutup

Rasya mengedarkan pandangannya meneliti rumah itu dari balik pagar besi. Tampak kursi tunggu yang berjajar di balik pintu kaca itu kosong sebab praktik ditutup setiap hari minggu. Tak lama seorang perempuan paruh baya yang tengah menyapu halaman menangkap kehadiran Rasya dan ibunya. Perempuan itu berjalan mendekat ke pagar.

"Cari siapa ya mas?"

"Saya mau ketemu dokter Kartika bu, saya sudah ngasih tau lewat telpon."

"Oh, sebentar ya mas." Perempuan itu berbalik dan masuk ke rumah.

Tak lama, seorang perempuan paruh baya dibalut jilbab bergo dan pakaian santai, tetapi sopan muncul. Perempuan berusia 50 tahun itu membuka pagar dan mempersilakan Rasya dan Indi masuk.

"Loh, Daffanya tidak ikut?" ujar dokter Kartika sambil mempersilakan tamunya duduk.

"Saya masih belum bisa membujuk Daffa kembali dok, jadi... saya memutuskan untuk memberitahu ibu saya tentang penyakit Daffa. Mungkin ibu saya bisa membuat Daffa kembali melanjutkan terapinya." Kartika menganggukan kepalanya mengerti.

"Dok, sebenarnya ada apa dengan anak saya?" tanya Indi dengan suaranya yang gemetar. Kartika tersenyum perihatin melihat tatapan cemas seorang ibu di hadapannya.

"Sebelum saya menjelaskan, saya mau berterima kasih pada Rasya yang sangat peduli pada saudaranya bu. Dia semangat mendampingi Daffa untuk pulih, meski Rasya harus memantau dari jauh. Dia rajin menghubungi saya untuk menanyakan kabar perkembangan kondisi Daffa. Sayangnya, Daffa sampai sekarang tidak lagi muncul."Jelas dokter Kartika. Sejak konsultasi pertama di Jakarta bersama dokter Anin, Daffa selalu didampingi oleh Rasya. Namun, Daffa tidak dapat tinggal dalam waktu yang lama di Jakarta akhirnya dialihkan pada psikiater lain di Samarinda yang merupakan rekan kerja dari tante Anin. Sejak Daffa kembali ke Samarinda, Rasya hanya dapat memantau dari jauh.

"Berdasarkan hasil observasi, riwayat medis atau riwayat pemeriksaan psikiatri sebelumnya dan pemeriksaan status mental Daffa, dia mengalami PTSD, post-traumatic stress disorder, bisa dibilang gangguan stres pascatrauma." Ujar dokter Kartika dengan nada tenangnya.

"Saat proses anamnesis, alhamdulillah Daffa bisa diajak berkomunikasi dengan baik. Dari sana, saya menemukan beberapa faktor yang memicu penyakit tersebut pada Daffa.PTSD yang dia alami karena adanya riwayat gangguan mental dari keluarga dan perundungan yang dia terima semasa kecil." Indi tidak mengira ibunya yang mengidap gangguan jiwa itu adalah penyebab Daffa terserang PTSD. Perempuan itu tertunduk lesu, merasa bersalah. Seharusnya dulu dia setuju dengan saran sang suami agar ibunya dirawat secara intensif di rumah sakit jiwa.

"Kekerasan yang dilakukan neneknya terekam jelas dalam pikiran Daffa, itu yang terus mengejar Daffa dalam tidurnya. Ingatan yang buruk akibat perlakuan neneknya membuat dia trauma. Luka fisik yang dia terima sewaktu kecil memang tidak lagi terlihat, tapi luka batin yang dirasakan Daffa belum sembuh, luka itu tak kasatmata dan mengganggu mentalnya." Jelas dokter Kartika.

"Keluhan Daffa perlahan agak parah saat pacarnya meninggal dunia-" ucapan dokter Kartika terpotong. Indi menginterupsi dengan alis yang bertaut bingung.

"Da-daffa tidak pernah cerita dia punya pacar dok... siapa? Si-" Indi menoleh bingung ke Rasya. Dokter Kartika tersenyum maklum.

"Dengarkan dulu bu." Bisik Rasya sambil mengusap pelan punggung ibunya.

"Pasca pacar Daffa meninggal tiga tahun lalu, Daffa mengeluhkan mimpi buruknya. Mimpi buruk yang membuat dia tertekan secara emosional dan diliputi rasa cemas dan perasaan bersalah. Sebagai pengidap PTSD, dia sering mengingat masa lalu dan menyalahkan dirinya sendiri, dia merasa tidak pantas menjadi bagian dalam keluarganya dan dia menyalahkan dirinya atas kematian pacarnya. Pikiran dan perasaan negatif itu yang membuat Daffa sulit tidur karena mimpi buruk." Mata Indi berkaca-kaca mendengar penjelasan dokter Kartika, suara tenang itu seolah mendongeng kisah tragis yang membuatnya ingin sekali menangis. Indi menarik napasnya pelan dan berusaha menegakkan duduknya. Dia rasanya tidak sanggup menerawang betapa tertekannya sisi kehidupan Daffa yang disembunyikan darinya.

"Pengobatan yang dilalui Daffa sayangnya belum tuntas, dia baru mengikuti cognitive behavioural therapy empat kali. Yang sebenarnya terapi tersebut ada delapan sampai dua belas sesi dan terapi lainnya yang sama sekali belum dia lakukan."

Pertemuan yang lumayan panjang itu entah mengapa terasa melelahkan. Rasya menengok pada ibunya yang sejak meninggalkan hunian praktik gangguan mental itu hanya membisu. Ibu menutup mulut dengan mata yang memerah. Matanya terpaku pada rintik hujan yang perlahan deras dari balik jendela mobil. Rasya meremas kemudinya, dia tahu sekarang pikiran ibu terbebani oleh rasa pilu. Namun, dia tidak ada pilihan lain selain memberitahu semuanya. Setelah ini, dia yakin Daffa tidak akan memaafkannya.

***

Bersambung

Maaf telat ya, karena aku riset dulu hehe terkait gangguan mental yg dialami si Aa' kasep 🥲

Terima kasih sudah baca, vote dan komen :)

Terima kasih sudah baca, vote dan komen :)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
DIDEKAP KALA ITU (TAMAT)Where stories live. Discover now