PART 23: TELEPON DARI MAMA MERTUA

2.1K 142 2
                                    

Hargai tulisan ini dengan vote dan komen

🌸Terima kasih🌸

Kafe Renjana, milik Daffa tidak termasuk dalam jaringan restoran besar seperti milik para artis ibu kota. Namun, keberadaan kafe itu berhasil diperkenalkan oleh Rasya. Adiknya itu gencar mempromosikan kafe miliknya. Tanpa Daffa minta. Perlahan Renjana mengibarkan namanya, bersaing dengan kafe yang punya nama besar.

Relasi Rasya dengan para selebgram ibu kota sangat membantu usaha Daffa. Kunjungan Rasya ke Renjana bersama teman-temannya, tak lupa mengabadikan moment di sana dan membuat banyak orang tertarik untuk datang menguntungkan.

Hari ini adalah hari terakhir Daffa di bandung. Daffa bersama Laden, manajer kafe Renjana cabang kota ini melakukan pertemuan dengan seorang copywriter dan desainer grafis. Pertemuan itu membahas terkait pembuatan daftar menu yang menarik dan pembaruan daftar menu yang dilakukan setiap enam bulan sekali. Mereka banyak membicarakan layout dan desain yang baik untuk pembaruan kali ini, jangan sampai tata letak desain menu tampak membosankan. Seusai pertemuan itu, Daffa mengeluh pada Laden ketika mendapati pemasaran mereka melalui media sosial menurun.

 Seusai pertemuan itu, Daffa mengeluh pada Laden ketika mendapati pemasaran mereka melalui media sosial menurun

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Oh iya kemarin pak Rasya ke sini, nyari bapak." Daffa masih mengabaikan semua panggilan Rasya dan menolak bertemu pria itu.

"Kalau dia nanti datang, bilang aja kalau saya sudah pulang ke Samarinda." Daffa curiga Vega yang memberitahu Rasya jika dirinya saat ini berada di Bandung.

"Baik pak." kata Laden.

"Laden, kembali ke topik kita. Siapa yang pegang instagram kafe Renjana?" ujar Daffa.

"Naila pak." Daffa menghela napas panjang. Dia menumpukan kedua sikunya ke meja sembari memaku pandangan pada layar laptop.

"Kita gak bisa hanya mengandalkan Rasya, kamu tahukan saya tidak pernah membayar jasa Rasya? Dia selalu menolak. Kalau kalian hanya mengandalkan promosi dari dia, begini jadinya. Masa medsos orang lain lebih gencar dibanding medsos kita? Jangan andalkan promosi dia, karena tentu kita juga bisa optimal mempromosikan kafe ini. Lain kali jangan diabaikan." Tegur Daffa dengan suara serius, lalu menyandarkan punggungnya ke senderan kursi.

"Jangan lupa tegur Naila." Sambung Daffa.

"Baik pak."

Lelaki dengan kemeja motif kotak-kotak itu pun pamit, Laden keluar meninggalkan Daffa seorang diri. Pikiran Daffa teralihkan ketika merasakan ponselnya bergetar. Layar ponsel itu menampilkan nama si pemanggil. Mama, Ibu mertuanya. Dengan rasa enggan ia mengangkat panggilan itu.

"Assalamualaikum Ma." Sahut Daffa

"Walaikumsalam, kamu masih lama di Bandung?"

"Besok insha Allah pulang ma."

"Ya, seharusnya begitu. Kamu gak boleh tinggalin Kamila lama-lama. Apalagi sendiri, kamu tau sendiri pergaulan mahasiswa sekarang banyak yang melewati batas. Mama gak mau dia terbawa arus dan merusak dirinya sendiri." Jujur Daffa enggan mendengar suara ibu mertuanya, dia seolah menjadi suami yang tidak becus dan sangat butuh arahan.

Jemari Daffa gemetar mendengar rentetan kalimat mama barusan. Ucapan itu kembali dia dengar. Dia pernah, dia pernah mendengar perkataan itu. Perkataan yang membuatnya dikuliti rasa bersalah dan amat tertekan.

"Iya ma, Daffa besok pasti pulang."

"Oke, Daffa karena kamu sudah menikahi anak mama. Tanggung jawab Kamila sepenuhnya ada di tangan kamu. Kamu tentu tau risiko hidup di kota besar bagaimana, dan kamu tau Kamila tidak besar di kota besar itu dan belum pernah tinggal jauh dari mama. Tolong jaga anak mama, kehormatannya sebagai istri dan perempuan ada di wajah kamu. Kamu boleh bertindak memaksa dia, jika itu memang yang terbaik. Sekali lagi tolong jaga anak mama, jaga istrimu."

Beberapa menit usai panggilan itu terputus dengan salam, Daffa memijat pelan pelipisnya. Dia mengulang tiap perkataan mama mertuanya dalam benak. Hingga Daffa kembali dikungkung oleh rasa bersalah, rasa bersalah yang telah lama terkubur itu kembali menekannya.

***

Kamila benar-benar ingin mengumpat sekarang! Dina melupakan makalah kelompok mereka, sedangkan hari ini mereka harus maju presentasi. Harusnya Kamila tidak menitipkan makalah itu pada Dina jika perempuan itu teledor begini. Pukul delapan pagi kelas akan dimulai dan kelompok mereka yang bertugas memaparkan materi. Solusi satu-satunya adalah Dina harus pulang mengambil makalah itu. Masih ada 60 menit sebelum kelas pertama dimulai. Kamila pun menemani Dina kembali ke rumah dengan gocar.

Kamila tak menyangka Dina beberapa hari ini menginap di hotel yang dekat dengan kampus mereka. Katanya dia bertengkar dengan orang tuanya hingga enggan untuk pulang dan memilih menginap di hotel. Gaya bertengkar orang kaya sungguh berbeda dan memakan duit! Biaya menginap semalam saja bisa setara dengan uang jajan Kamila dalam seminggu, Kamila merasa Dina hanya menghambur-hamburkan uang saja.

Sekarang Kamila duduk di lobi menunggu gadis itu, untungnya jarak hotel yang dekat tidak membuang banyak waktu. Meski begitu Kamila tetap cemas dan harus terburu-buru kembali ke kampus sebelum dosen mereka lebih dulu tiba di kelas. Dina pun muncul dengan langkah tergesa-gesa membawa makalah itu.

"Kamu gak papah?" tanya Kamila yang melihat wajah Dina yang pucat.

"Hm? Gak, aku gak papah. Yuk buruan pesan gocar."

Mereka tiba di kampus dua puluh menit sebelum kelas pertama dimulai.

"Makalahnya ada kan?" Marisa mendekati Kamila dan Dina yang berjalan menuju kelas.

"Ada kok." Kata Kamila.

Merasakan lengannya digandeng erat oleh Dina, perempuan itu menengok dan mendapati wajah Dina yang masih pucat. Dina menyentuh perutnya dan melepaskan tangan Kamila.

"Aku ke toilet bentar ya." Ujarnya. Kamila hanya mengangguk dan ikut masuk ke kelas bersama Marisa.

"Kalian kok cepet? Rumah Dina deket sini La?" tanya Marisa yang mengulurkan tangan meminta makalah itu.

"Gak tau, kami ini dari hotel depan."

"Hah? Ngapain?" lipatan di dahi Marisa semakin dalam, tak mengerti maksud perkataan Kamila.

"Dia nginap di hotel." Kamila sungkan bercerita pada Marisa, alasan Dina tinggal di hotel untuk waktu sementara. Dia tidak berhak menceritakan itu.

"Kok ngi-nginap di hotel?" bisik Veni, dia penasaran setelah mendengar obrolan Kamila dan Marisa.

"Ya mana aku tau, kali aja dia anak yang punya hotel?" balas Kamila. Mencoba membawa pikiran temannya untuk berhenti bertanya.

Begitu Dina masuk kelas dan duduk di sebelah Marisa, Kamila menyodorkan air mineral ke perempuan itu. Marisa menatap khawatir ke wajah Dina yang tidak merona seperti biasanya. Dia takut anggota kelompoknya itu tumbang saat kelompok mereka presentasi di depan.

Bersambung



DIDEKAP KALA ITU (TAMAT)Where stories live. Discover now