PART 22: RAGA YANG TAK BEBAS

2.3K 139 1
                                    

Hargai tulisan ini dengan vote dan komen

🌸Terima kasih🌸

Kamila berbaring menelungkup di kasur sembari membaca ulang karya Kesya, saudara perempuannya. Ketertarikannya pada banyak karya fiksi sering membuat Kamila lupa waktu, hingga tugas perkuliahannya tertunda dengan alasan mager dan gabut. Minggu ini dia hanya bisa bersantai sejenak, tidak disesaki oleh pikiran tentang Daffa. Suaminya itu tengah melakukan perjalanan menuju Bandung sejak empat hari lalu, setelah ia bisa memastikan kaki Kamila sepenuhnya pulih.

Lelaki itu merawat Kamila dengan telaten. Ia menggendong gadis itu menuju kamar mandi dengan lengan kekarnya saat Kamila hendak buang air kecil dan lekas mengusir Daffa.

"Tungguin di luar aja kak, katanya ini cuma keseleo ringan kan? bukan cacat. Jadi aku bisa." Kamila mengibaskan tangannya mengusir Daffa.

"Kenapa? malu? Sama suami sendiri kok malu. Harus dibiasakan La, nanti kalau aku sakit kamukan yang bantu aku ganti baju, bantuin aku pake celana. Gak mungkin pak Anwar kan yang bantuin?" Ujar Daffa, lalu berjalan keluar.

Kamila sungkan dengan jarak intim mereka, menempel, dan saling merasakan tubuh satu sama lain. Dia menolak Daffa yang tampak biasa-biasa saja tiap mengangkat tubuhnya, respon lelaki itu hanya diam. Kamila pun paham, saat Daffa tak membalasnya itu artinya Daffa tak menerima penolakan apapun.

Kamila refleks teringat banyak adegan romantis saat Daffa ada di dekatnya. Salahkan Daffa yang membuat Kamila merasa istimewah dan agak merasa seperti bayi besar. Tahu adegan piggyback kan? Itu yang banyak di drama Korea! Tiap Daffa menggendong Kamila dengan posisi itu ketika melewati anak-anak tangga menuju lantai bawah. Kamila selalu hendak terjungkal ke belakang karena dia malu menekan dadanya di punggung lebar suaminya. Kamila yang ragu menempelkan tubuhnya ke tubuh kekar itu, membuat Daffa sesekali menakuti Kamila dengan mengucapkan "Gak bakal jatuh kalau kamu erat pegangnya La, kenapa takut banget sih? Entar jatuh beneran kaki kamu tambah parah." Tidak ingin menambah rasa nyeri di kakinya, Kamila pun sigap mengalungkan erat kedua lengannya di leher Daffa. Mendekap dari belakang tubuh Daffa yang besar.

Status di antara mereka hanya dapat mencemooh, seolah mengutarakan kesia-siaan hubungan halal mereka. Mereka ibadah bersama dalam satu atap, berbagi tempat tidur, tetapi tanpa ada percintaan yang membuat mereka utuh sebagai pasangan yang sah. Daffa tidak tahu pasti kapan dia merasakan surga dunia itu. Nalurinya sebagai seorang laki-laki normal sering kali bergejolak semenjak kehadiran Kamila.

Gadis itu tidak menyadari, tampilan santainya yang mengenakan kaus polos dan celana pendek di atas lutut ketika di rumah sungguh mengundang dan membuat Daffa gelisah. Dia tidak akan rela pemandangan polos gadisnya sampai ke mata pria asing.

Surai legam Kamila menggelitik lekuk leher Daffa, Daffa berusaha agar napasnya tetap berembus tenang. Menyembunyikan rasa yang membuncah karena terjebak dikondisi rentan itu. Dada Kamila yang menempel erat dengan punggungnya menambah ofensif hingga titik-titik keringat pada pelipis Daffa muncul. Kamila yang menangkap roman Daffa yang memerah pun berujar pelan.

"Kak aku berat ya? Kalau gitu mending kita sarapannya di kamar aja. Gak perlu turun ke bawah." Terlanjur menapaki anak tangga terakhir, Daffa pun menoleh ke samping. Tak sengaja bibir itu bersua dengan rahang Kamila, mengecup pelan hingga Kamila terkesiap. Lantas karena terkejut gadis itu spontan makin mengeratkan dekapannya di leher Daffa. Tubuh Kamila menegang, jantungnya berdegup kencang dan dia merasakan embusan napas Daffa di sisi wajahnya. Kamila tak berani menengok, bibir mereka bisa bertemu jika itu terjadi.

"Gak berat La." Sembari mendudukkan gadis itu di kursi, Kamila tak banyak bicara begitupun dengan Daffa. Interaksi intim mereka selalu menjadi hal pertama bagi Kamila, wajar kalau Kamila merasa tak terbiasa.

DIDEKAP KALA ITU (TAMAT)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu