PART 17: KEMBALI BERTENGKAR

3.3K 176 1
                                    

Hargai tulisan ini dengan vote dan komen

🌸Terima kasih🌸

Dengan berat hati dan perasaan dongkol Kamila menuruti kata Daffa yang mengantar dan menjemput gadis itu ke kampus. Gagal sudah acara jalan-jalan ke jalan Pramuka untuk berburu ayam geprek dan es cincau bersama Dina dan Vero. Pria di balik kemudi yang duduk di sebelahnya sangat menyebalkan! Tak menampilkan wajah bersalah dan raut datar Daffa membuat Kamila diam-diam mengumpat gusar. 
Lebih dari seminggu Daffa kembali mengantar dan menjemput dirinya, lebih dari seminggu pula kekesalan Kamila pada pria itu. Awet banget! Daffa tak berusaha membujuk Kamila, malah menambah lonjakan emosi saja! 

"Kalau kelas terakhir selesai, langsung telpon." Perintah Daffa yang menepikan mobilnya di depan gerbang kampus. 

"Iya." Jawab Kamila ketus, memaksakan senyum saat mengambil bekal dan uang jajan dari tangan Daffa. 

"Kamila." Daffa menghentikan Kamila yang bergerak keluar dari mobil. 

"Kenapa?" Kamila melihat tangan Daffa terulur padanya. 

"Duit jajannya mesti ditarik kembali? Maunya kak Daffa tambahin bukan malah gak jadi ngas--" ucapan Kamila terhenti saat Daffa menarik tangan perempuan itu agar mencium punggung tangannya. Kamila malah terdiam, tak mengerti apa yang diinginkan pria itu. 


"Cium dulu." Kamila mengangkat pandangannya, melihat raut Daffa yang menunggu. 

Gadis itu pun menempelkan bibirnya ke punggung tangan Daffa yang terasa hangat pagi itu. Beku sesaat ketika Kamila merasakan usapan dan kecupan di kepalanya yang dibalut hijab. 

"Dihabisin bekalnya ya." Pria itu masih menampilkan tampang datar. 

"Iya, makasih." Kamila segera bergerak menjauh, wajahnya ditekuk. Tetap kesal karena tak diizinkan mengendarai motor ke kampus, entah akan sampai kapan. 

Usai mata kuliah pertama dan kedua, Kamila menolak ajakan Dina yang mengajaknya makan siang di PM. Suasana hati Kamila yang belum membaik karena pertengkarannya dengan Daffa sebenarnya belum ada kata damai, gadis itu malah mager untuk keluar dari area kampus. Memilih membawa bekalnya menuju kantin bergabung dengan Marisa dan Veni yang makan nasi campur. Dina pun mengikut Kamila saja. Perempuan itu duduk di depan Marisa yang tengah melahap makanannya. 

"Tangan dan pelipis kamu kenapa Din?" Kamila baru menyadari ada lebam di pelipis Dina saat perempuan itu menarik anak surainya ke balik telinga. Agak kentara karena kulit Dina yang putih pucat. 

"Kelahi sama siapa ikam*? Anak prodi sebelah?" Sambung Veni. Dina menarik ujung lengan bajunya untuk menutupi pergelangan tangannya yang lebam dan menurunkan topinya agar pelipisnya tak terlihat. Veni, Marisa dan Kamila mengernyitkan kening. 

Ikam*: Kamu 

"Kelahi, sama kakak aku." 

"Ngeri banget Din." Marisa bergidik, tak menyangka saudara Dina bisa melakukan hal sekasar itu. 

"Dah yuk mending kita makan." Dina langsung menyantap bakso yang tadi ia pesan, membungkam perkataan teman-temannya yang sudah diujung lidah. 

***
Lewat 15 menit Kamila menunggu Daffa tak juga datang menjemput. Vero dan Marisa menawarkan tumpangan, tetapi Kamila menolak halus. Takut tiba-tiba Daffa membalas pesannya atau sedang dalam perjalanan menjemputnya. Emang lebih baik dia dibiarkan saja memakai kendaraan sendiri, agar tak perlu menunggu lama seperti ini. Sekarang sudah lewat 20 menit, Kamila melirik arlojinya dengan perasaan tak sabaran. 

"Kok masih di sini? Belum dijemput?" Kamila mendongak, mendapati Pandu yang menurunkan kaca mobil. 

"Belum kak." 

"Yuk ikut aku aja, kamu tinggal di Wisma Sempaja Hijau kan?" 

"Iya, kok kak Pandu tau?" Lelaki itu terkekeh, tentu dia tahu karena dia sempat membaca formulir para anggota baru teater kampus. 

"Tau dong, yuk buruan mau hujan nih bentar lagi paling banjir." Yeah, Samarinda mudah sekali banjir, hujan deras sebentar saja bisa menutup banyak jalan.  Langit sore itu memang tampak menggelap, gumpalan-gumpalan awan hitam menandakan hujan deras akan segera datang. Parkiran kampus juga telah sepi. Banyak yang sejak tadi melajukan kendaraan mereka untuk segera pulang sebelum terjebak di tengah hujan. 

Kamila pun memilih menerima tumpangan Pandu. 

"Kamu dah lama di Samarinda?" Ujar Pandu memecah keheningan di tengah jalan yang padat.  

"Gak, aku bukan orang sini kak. Aku ikut sama suami." Ya, Kamila tidak merahasiakan statusnya sebagai perempuan yang sudah menikah. Meski kenyataannya informasi itu tak banyak yang tahu. Bahkan tak semua teman seangkatan dengan dirinya tahu. 

"Loh sudah nikah?? Serius?" Pandu terkejut, tak menyangka jika gadis disebelahnya adalah istri orang. 

"Serius, emang kenapa kak?" 

"Kamu gak kelihatan kayak mahasiswa yang sudah menikah." 

"Biasanya ketahuan kalau perutnya dah buncit gitu ya?" Kata Kamila sembari tergelak kecil. Setahu Kamila bukan cuma dirinya yang sudah menikah, di kampus ada beberapa mahasiswa baru, juniornya yang sudah sold out. Di kelas pun Kamila tak sendiri, ada beberapa temannya yang juga sudah menikah dan punya bayi. Namun, tak lazim rasanya mahasiswa yang belum menyelesaikan studi sudah mendapat gelar istri bahkan ibu. 

Hampir 30 menit dalam perjalanan, akhirnya Toyota Vios hitam itu berhenti di depan pagar kediaman Kamila. Cakrawala masih meneteskan air hujan sejak 10 menit lalu yang untungnya tidak begitu deras. 

Di belakang Toyota Vios hitam yang berhenti itu, ada mobil Daffa yang juga baru tiba. Daffa mengernyit melihat Kamila bergerak menjauhi mobil hitam itu. 

Daffa duduk gelisah di balik kemudi dengan pandangan yang menajam. Menilik Kamila yang tersenyum ramah pada orang yang mengantarnya sampai rumah. Dengan perasaan tak tenang, tangan kiri Daffa mencengkram stir mobil, sedangkan tangan kanan pria itu meremas kuat ponsel. Dia baru saja memutuskan panggilan secara sepihak dengan Rasya. Adiknya itu terus meneror, menelpon dan mengirim pesan yang sulit sekali diabaikan Daffa. Rasya meminta Daffa untuk kembali rutin dua kali dalam sebulan untuk datang ke Jakarta, tetapi Daffa tetap menolak. Padahal ini demi pria itu, bukan Rasya, tetapi Daffa. 

Usai mobil hitam itu pergi, dia melajukan mobilnya masuk ke carport. 

Kamila terkesiap saat hendak menutup pintu karena mendapati suara mobil Daffa yang masuk, ada pak Anwar yang telah siap membuka pagar. Kamila pun meninggalkan pintu yang terbuka lebar, membuka sepatu dan berjalan menuju kamar. 

Saat akan menginjakkan kaki pada anak tangga, lengannya ditarik lembut agar berbalik. Kamila melihat raut tak bersahabat Daffa seperti malam pertama mereka berdebat. Kali ini apa lagi? 

"Siapa yang antar kamu pulang?" Cengkraman Daffa terasa menguat, tetapi tak menyakiti. 

"Kak Pandu." Kamila melihat Daffa dengan pandangan bingung. 

"Siapa Pandu? Aku udah bilang sama kamu La untuk nunggu kenapa malah pulang sama cowok asing dalam satu mobil pula." nada protes Daffa mengusik rungu Kamila. Kamila dapat melihat kilatan amarah di bola mata Daffa. 

"Kakak tingkat, kating di kampusku. Kak Daffa lama banget, mau hujan. Aku udah nunggu, tapi kakak gak datang. Banyak yang nawarin tumpangan aku tolak, untung masih ada kak Pandu. Jadi ikut nebeng dia." Jelas Kamila dengan tenang. Daffa menyipitkan matanya seolah tak percaya. 

"Kakak curiga? Gak percaya? Merasa aku bohong?" sambar Kamila tak suka.

"Besok cukup tunggu aku, jangan pulang sama cowok itu lagi." Tekan Daffa dengan raut serius.

"Gak mau kalau lama kayak tadi, mending aku ikut pulang bareng teman." 

"Jadi yang tadi teman atau kating kamu?" 

Kamila menghela napas kesal, dia sudah sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan Daffa yang makin hari makin membuatnya pening. Mengapa suaminya menjadi banyak bicara? Dan gemar mencurigai hal yang tidak-tidak. Kamila capek jika begini terus. Daffa mendadak berubah menjadi rongseng, bawel! 

Kamila melerai cengkraman Daffa pelan, pergi tanpa menjawab. Capek duluan kalau harus menjawab pertanyaan suaminya. 

"Kamila! Ini suami kamu nanya, kenapa pergi gitu aja?" Daffa meninggikan suaranya. Kamila pun berbalik ke arah sang suami. 

"Katingku ya temanku juga kak, sama kayak kak Daffa, suamiku yang bisa jadi temanku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


"Katingku ya temanku juga kak, sama kayak kak Daffa, suamiku yang bisa jadi temanku. Gitu! Kenapa sih kakak kok kayak curiga gitu? Makanya biar gak curiga yang aneh-aneh, kakak aku jemput tepat waktu. Apa masalahnya nerima tawarin baik orang lain? seharusnya kak Daffa berterima kasih ke kak Pandu udah anter aku sampai rumah dengan selamat." Kamila melanjutkan langkah kakinya meninggalkan Daffa. 

Daffa melangkahkan tungkainya menuju bilik yang juga menjadi tujuan Kamila. Namun, langkah pria itu terhenti karena ponsel di saku Daffa bergetar, menunjukkan nama "mama" yang merupakan ibu mertuanya. Perasaan gelisah itu kembali, Daffa memegang erat ponselnya. Lalu, mengangkat telpon itu. 

***
Bersambung 

DIDEKAP KALA ITU (TAMAT)Where stories live. Discover now