tujuh puluh : Alasan

898 101 2
                                    

Suasana pagi yang sepi hari itu benar-benar terwakilkan oleh mendungnya langit hingga siang hari. Seolah penghuni rumah meminta agar semesta ikut merayakan kesedihannya.

Semua sudah kumpul di meja makan dan sarapan dengan tenang. Abin masih tertidur di kamar Dio, sengaja tidak Anya bangunkan. Hanya ada suara Ahza yang mengisi ruang makan, sesekali Gita menyahut. Kesedihan terasa jelas di sana.

"Ibu udah pulang, Tar?" tanya Gita pada Tara. Kemarin Eva dan Arsen memang datang ke sini dan menghadiri pemakaman, mereka baru pulang ketika menjelang malam dan memutuskan untuk menginap di hotel yang jaraknya tidak terlalu jauh dari bandara. Begitupun dengan Kiera.

"Udah, Tante. Tadi subuh. Papa Arsen ada kerjaan," jawab Tara lurus.

Gita mengangguk. "Kalau mertua kamu? Mami Kiera?"

Raka memasang telinganya. Ia ingin mendengar suara Tara lagi. Raka tahu maminya belum pulang, sementara papinya tidak bisa ikut karena saat mendapat kabar itu Bian baru saja masuk ruang operasi dan tidak bisa ditinggalkan.

"Mami nggak ada ngehubungin. Mungkin belum?" Tara melirik pada suaminya. "Mami ada telepon kamu?"

"Nggak." Raka menggeleng. "Nanti aku telepon."

Setelah itu pembicaraan diisi dengan beberapa hal yang harus diurus setelah kepergian Farhan. Dio dan Anya mengucapkan maaf karena tidak bisa lebih lama di sini karena pernikahan mereka tidak bisa diundur. Semua sudah mencapai sembilan puluh lima persen.

Ketika hari beranjak siang, Gita membawa Dio dan Tara memasuki ruang kerja ayahnya. Ada banyak catatan yang pria itu tuliskan entah apa—Gita sendiri tidak pernah membukanya. Farhan hanya mengatakan kalau buku ini untuk anak-anaknya.

Gita membuka laci meja paling bawah, lalu mengeluarkan buku catatan bersampul hitam itu dan menyimpannya di atas meja. "Tante nggak pernah tahu isinya. Papa kalian bilang ini hanya untuk anak-anak. Tapi karena Ahza masih kecil dan nggak mengerti, kalian bisa kasih tahu Tante setelah membaca isinya."

Dio dan Tara menatap buku itu dengan ragu. "Tante nggak mau ikut baca?" tanya Dio.

Gita menggeleng. "Tante keluar dulu, ya."

Setelah peninggalan Gita, Dio dan Tara duduk di sofa panjang yang ada di sana, membaca halaman demi halaman dengan seksama.

🍩

"Raka mau pulang sama Tara, Kek.... Bagaimana pun juga di sini kami masih berduka. Nggak seharusnya Raka pulang dan pergi ke kantor sementara Tara masih diselimuti kesedihan.... Raka nggak bisa.... Di sini kami nggak lagi liburan! Kakek nggak tahu gimana rasanya jadi Raka yang gagal jadi suami." Dengkusan kasar keluar dari pria itu setelah memutuskan telepon dengan sepihak.

Dasar kakek tua menyebalkan! Harusnya dia yang lebih dulu ditinggalkan oleh istrinya lebih paham bagaimana perasaan gue!

"Ka..."

Raka menoleh pada Tara yang kini berjalan ke arahnya. "Kenapa sayang?"

"Kalau kamu mau pulang, nggak pa-pa. Aku masih harus di sini mengurus beberapa hal. Papa ternyata menitipkan perkebunan ini pada salah satu temannya. Aku harus bicarain ini dulu dan mengurusnya sampai beres karena Dio nggak bisa lebih lama di sini."

"Tapi.... " Raka menatap istrinya dengan sedih. "Sayang... kamu punya aku. Apapun yang terjadi aku bisa bantu. Aku nggak akan biarin kamu sendirian." Ia mengamit lengan Tara, membawanya ke depan dada.

"Aku akan minta bantuan kamu untuk jaga Abin selama aku di sini. Kamu pulang sama Abin, ya? Sekretaris kamu pasti kerepotan karena kamu nggak masuk hari ini. Ibu bilang Abin bisa tinggal sama ibu dulu untuk sementara selama aku di sini."

TARAKA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang