dua belas : Calon pacar

1.3K 153 4
                                    

Sarah sedang mode diam sejak pagi tadi, membuat Tara terheran karena bosnya itu tampak lesu dan banyak melamunnya. Bukan seorang Sarah sekali di saat kerjaan sedang menumpuk ia malah tidak cerewet sama sekali. Edo beberapa kali meliriknya dengan tatapan bertanya, dan tentu saja Tara tidak tahu jawabannya.

Sejak Vian dan Tisha beberapa kali kemari untuk melihat gaun yang masih dalam proses, tuxedo dan beberapa gaun untuk bridesmaid, Sarah memang terlihat enggan meladeni dan menyerahkan seluruhnya pada Tara, padahal ia yang paling senang saat Tara memberitahu soal Tisha. Apa mungkin bosnya itu sedang ada masalah di rumah?

"Mbak Sar, boleh masuk?" Tara mengetuk ruangan bosnya.

"Masuk aja, Tar."

Setelah mendapat izin, Tara masuk ke ruangan yang memang memiliki aura suram itu kini makin gelap. Sepertinya salah menumbalkan dirinya ke kandang macan.

"Kenapa? Ada masalah?" tanyanya dengan tatapan terarah pada komputer di depannya yang menyala.

"Gue dapat email dari Vian, kakaknya Tisha, karena ini jadi urusan dia selama kedua calon mempelai masih sibuk, katanya bakal ada bridesmaid yang mau fitting ke sini."

Sarah beralih menatapnya datar. "Apa yang kayak gitu aja harus laporan ke gue?"

Tara menggeleng.

"Terus?"

Sialan.

"Mungkin mbak mau ketemu langsung sama klien kita?" Ia bertanya ragu.

"Nggak."

"Oke, Mbak. Gue infoin dulu kapan mereka datang."

Sarah tak menjawab. Ia menggerakan dagunya dengan gestur mengusir.

Edo menghampirinya selepas keluar dari ruangan bosnya. "Kenapa? Dia berantem sama Aksel?"

Tara melengos ke mejanya. "Otak lo isinya gosip mulu, Do." Ia membuka surel di komputer lalu membalas inbox Vian tadi pagi.

"Ih, lo gimana sih, Tar, kalau tu nenek lampir masih gak jelas mood-nya pasti kita kena omel seharian!" ujarnya yang menggeser kursi putar ke meja Tara lalu duduk dengan anggun. Seperti siap mendengar gosip terbaru.

"Dia gak bilang apa-apa." Tara menoleh sekilas pada rekannya. "Udah, sana!"

Edo mendengkus sebal. "Susah banget ngajak lo mengamati permasalahan orang lain."

"Kerjaan kita banyak, mengamati yang lo maksud itu gak berfaedah," sahutnya.

"Kalau sampai kena omel, gue gak mau ikutan, ya!" Edo kembali mendorong kursi ke mejanya.

"Tapi, Do,"

Edo membalikan tubuhnya dengan cepat. "Ape, ape?"

"Bos kayak yang gak semangat gitu sama Tisha."

"Masa sih? Kan doi sendiri yang gercep ngasih waktu kalian ketemuan minggu lalu."

"Gak tahu. Dia bahkan gak ketemu sama Tisha kan hari itu. Malah nyuruh elo siapin ruangan dan gue yang ditumbalin."

"Kan dia emang temen elo, gimana sih, Tar."

"Ya harusnya dia turun sendiri dong saat tahu Tisha ini anak konglomerat. Celah buat promosi ke temen sosialitanya banyak."

Edo menatap ke jendela ruangan bos besar di mana Sarah sedang termenung. "Jangan-jangan calonnya Tisha mantan pacar deseu!"

Suara Edo cukup keras membuat Tara menoleh ke ruangan bosnya. Beruntungnya, Sarah tidak terpengaruh.

"Pelanin suara lo!"

Edo meringis. "Sorry."

"Setahu gue, pak Dewa sama Tisha itu pacaran dari SMA, mbak Sarah sama mas Aksel juga udah lima tahun pacaran terus tahun lalu menikah. Asumsi lo gak mendasar." Tara menggeleng.

TARAKA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang