empat puluh enam : Marah

1K 123 16
                                    

Raka dengan kepercayaan dirinya yang tinggi sudah menyiapkan mental dan batin untuk hal ini. Seminggu berlalu, ia merasa lega Kaila menikah dengan orang yang mencintai wanita itu dengan tulus. Raka melihat betapa bahagianya Kaila saat menatap suaminya di pelaminan hari itu.

Jaffar yang kebetulan bertugas di Makassar saat itu memberinya tumpangan gratis di kosan pria itu. Temannya yang satu itu mendukungnya sepenuh hati.

Namun, ia merasa usahanya selama ini mengkhianatinya. Marah dan kecewa menjadi satu melihat Tara sedang dilamar oleh pria lain di depan matanya.

Raka mengenal pria itu. Narendra. Tara pernah mengenalkannya pada Rendra dulu saat mereka masih kuliah. Katanya dia keponakan Gita—ibu tiri Tara—yang kebetulan sering berkunjung ke rumahnya. Mereka memang dekat. Sangat dekat karena Tara tidak punya teman dekat selain Rendra. Raka mengerti hal itu.

Tapi hari itu, Raka akhirnya tahu mengapa selalu ada Rendra di sisi Tara. Mengapa pria itu yang menjadi tempat ternyaman bagi Tara. Karena Rendra, memiliki hak yang tidak ia miliki.

"Makasih, Ren. Kalau nggak ada kamu semalam, aku nggak tahu apa yang terjadi sama papa." Tara terduduk lesu di kursi samping rumahnya, disusul Rendra duduk di sebelahnya.

Langkah Raka terhenti. Ia mendekat, sembunyi di balik pilar sembari mengantongi kotak kecil yang dibawanya.

Rendra mengangguk. "Kamu punya aku untuk berbagi banyak hal, Tar. Jangan merasa selama ini kamu sendirian."

"Kondisi papa setelah transplantasi hati malah memburuk. Aku takut. Aku takut kesehatan papa makin menurun."

Rendra meremat jemari Tara yang bertumpu di atas lutut wanita itu. "Om Farhan akan baik-baik aja."

Tara menggigit bibir bawahnya. Terlihat sekali wanita itu sedang ketakutan. Beberapa kali Tara menggeleng, terlihat tidak yakin dengan kalimat penenang itu. "Papa sembunyiin surat dari dokternya. Jelas ada apa-apa yang terjadi yang nggak aku tahu."

Untuk pertama kalinya, Raka melihat Tara begitu rapuh. "Om Farhan sakit?" gumamnya.

"Kita sama-sama jaga om Farhan dan membantunya di sini. Kamu nggak sendirian, Tar."

"Makasih, Ren. Kamu selalu ada selama ini. Kamu udah bantu banyak hal."

"Tara... will u marry me?" Rendra menatap Tara dengan dalam.

Wanita itu terkejut bukan main. Tidak menyangka Rendra akan mengatakan hal itu.

"Aku tahu ini bukan waktu yang tepat, tapi bersamaku, kamu akan selalu merasa aman. Aku akan selalu ada di samping kamu baik sedih maupun senang." Pria itu menggenggam jemari Tara, menatapnya penuh keyakinan. "Aku mencintai kamu, Tara."

Raka mengetatkan rahangnya. Tangannya terkepal kuat di sini tubuhnya. Ia berbalik arah menuju mobil sewaannya di depan gerbang rumah itu. Langkah terburu-buru meninggalkan rumah itu.

"Raka? Benar Raka, ya?" Suara itu membuatnya menatap lurus pria paruh baya—yang baru saja keluar dari mobil yang tak jauh darinya—tersenyum hangat padanya. Tubuhnya terlihat lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu.

"Om Farhan," gumamnya.

"Apa kabar? Gimana kerja di Jakarta?" tanya Farhan menghampirinya.

"Baik om." Raka mengangguk. "Ya, gitulah. Namanya kerja sama keluarga om," katanya. "Om apa kabar?"

"Jalani saja. Kadang kan kita nggak harus bekerja sesuai keinginan," ujar Farhan sembari mengusap bahu Raka. "Om ya gini-gini aja. Namanya udah tua ada aja yang dirasa," katanya.

"Iya, om." Raka memang sedang berusaha menyesuaikan dirinya dengan pekerjaan yang belum genap satu tahun ini ia tekuni.

"Kamu ke sini ada apa? Mau ketemu Tara? Tadi keluar dari sini kan?" tanya Farhan.

TARAKA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang