tujuh : Terror

1.5K 159 18
                                    

Tara sama sekali tidak bisa memejamkan matanya barang semenit pun. Ucapan Raka semalam terngiang di kepalanya. Kenapa pria brengsek itu lancang bertanya mengenai cinta pertama di saat hal itu sudah tidaklah penting bagi mereka.

Alih-alih menjawab, Tara justru mendengkus pelan, kemudian menyusul Karina ke meja dessert.

Ia pikir, pertanyaan itu hanya kebodohan tak terhindar dari Raka, namun nyatanya, bisa membuat ia tak bisa tidur hingga jam di dinding sudah menunjukan pukul dua pagi dini hari.

Sial!

Saat tatapannya tertuju pada langit-langit kamar yang gelap ponsel di sampingnya berdering nyaring, tertera nama Raka dengan profil pria itu. Lalu, tanpa pikir panjang ia mengomel, "Orang gila mana yang nelepon dini hari gini?!"

"Lah? Salah nih, gue?"

"Gak usah nanya!"

"Udah berbaik hati gue mau nemenin lo begadang."

Tara mendengus. "Kata siapa gue begadang?"

"Dio."

Untuk pertama kalinya, ia menyesal tinggal di sebelah kamar Dio. Dalam keremangan malam, ia membuka gorden jendela, dan di sebelahnya, pria itu terduduk di lantai balkon dengan laptop di pangkuannya. Dini hari dan adiknya masih bekerja? Hebat. Padahal besok libur.

"Tar? Lo masih melek 'kan?"

"Berisik."

"Besok balik jam sepuluhan, yuk."

"Gue bilang berisik."

"Gue mau mampir dulu sih ke kedai. Mau ngecek. Lo ikut, ya?"

"Azraka."

"Iya, sayang?"

Tut.

Demi Karina yang pengin segera dinikahi, si bodoh Raka ini apa tidak merasa bersalah sudah membuatnya susah tidur begini? Dan—apa katanya? Pulang? Mereka baru pulang kemarin siang, dan Tara sebenarnya masih merindukan rumah.

Ponselnya kembali menyala, menampilkan pesan.

Raka Tasena : Jam sepuluh gue jemput 😋

🍩


"Kamu yakin, Dek, mau pulang sekarang?"

Tara mengangguk. "Besok Tara harus kerja, Bu."

"Tapi ini masih pagi, lho. Dio aja mau berangkat abis Maghrib." Eva menunjuk Dio yang duduk manis menonton acara TV pagi ini. "Kamu bareng Dio aja, ya?"

"Dio kan bareng pacarnya, Bu. Aku males ah kalau jadi nyamuk," tolaknya.

Dio menoleh pada kakaknya, lalu memberikan ponselnya pada sang ibu. "Nih, Bu, kak Raka udah bilang kalau Tara harus pulang sama dia. Soal jadi nyamuk cuma alesan aja," jelasnya.

Sontak saja Eva tersenyum jahil. Ia tahu, hubungan keduanya membaik dan menjalin pertemanan, sedikit berharap mereka segera menikah—meskipun baik Tara maupun Raka tak pernah membahas hubungan serius tersebut. Namun, yang namanya orang tua selalu ingin yang terbaik untuk anak-anak mereka, termasuk perihal pasangan.

Pernah saat itu, Eva berkunjung ke apartemennya selama satu minggu, dan selama itu pula ia menanyai hubungan keduanya. Namun, respon Tara tak lebih dari; "Kami sama-sama udah dewasa, Bu, tahu mana yang cocok dijadikan teman, atau pasangan."

Eva membalasnya dengan helaan napas kasar. "Mau cari yang gimana lagi, Dek?"

"Nyari?" Tara mengernyit. "Aku nggak nyari. Kalaupun udah waktunya, pasti datang melamar 'kan?"

TARAKA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang