sepuluh : Promosi

1.3K 152 3
                                    

Pagi ini Tara tidak dibuat kesal dengan kedatangan Raka yang minta sarapan, atau telepon Sarah yang mengharuskannya datang ke butik di Minggu yang cerah ini, atau bahkan telepon sang ayah yang lagi-lagi bertanya kapan nikah. Mereka seolah sepakat untuk memberinya ruang sendiri.

Lupakan masalah keluarga dan pekerjaan, kini saatnya Tara berkeliling mall seorang diri untuk menghibur dirinya. Kakinya baru saja keluar dari toko sepatu dengan menenteng beberapa paperbag. Sembari melirik jam di pergelangan tangan, ia juga menimang akan makan siang di mana kali ini. Biasanya Tara memilih memesan makanan lewat ponsel kalau di butik, atau menitipkan makan siang pada Edo atau asistennya. Cukup sudah seminggu ini ia menyiksa diri.

Kali ini, tatapannya tertuju pada restoran jepang yang sedang ramai. Wajar, jam makan siang sudah dekat. Sesekali tidak apa-apalah antre demi makanan tercinta. Dengan semangat ia memasuki restoran tersebut.

"Tara!"

Oh my God! Suara itu... jangan menoleh! Itu bisikan setan, Tar! rapalnya dalam hati.

"Stay cool," ia bergumam sembari kembali melangkah.

"Di sini aja, Tar!" Lagi.

Tara akhirnya menoleh ke sumber suara, memberi senyum tipisnya pada pria yang kini menghampirinya, lalu menggeleng. "Makasih kak. Aku ada janji sama orang."

"Oh? Siapa?" Pertanyaan itu seolah mengejeknya dengan nada menjengkelkan. "Aku lihat kamu sendiri aja dari tadi."

"Kak Ganesh ngikutin aku?" Tara menatapnya tak suka.

Pria itu meraih lengannya dan langsung Tara tepis. "Aku bisa jelasin."

"Belum cukup penolakan aku selama ini?"

"Aku tahu kamu cuma butuh waktu."

Sinting! "Nggak perlu. Jawaban aku masih tetap sama." Tara sudah akan pergi, selera makannya hilang. Ia tidak punya banyak waktu untuk membuat keributan yang tidak penting.

"Kamu balikan sama Raka?"

Pertanyaan itu membuat Tara jengah. "Bukan urusan kamu."

"Ujungnya kamu sama Raka lagi?"

Tara ingin sekali bilang, "urusannya sama lo apa?!" dengan wajah kesalnya. Namun, ia cukup bisa mengontrol dirinya untuk tidak membuat orang sekitar melirik mereka. Maka, ia hanya mendengus kasar.

"Babe!" Tisha berdiri tak jauh darinya, melambaikan tangannya pada Tara.

"Aku bilang, aku udah ada janji." Setelah itu, Tara menghampiri Tisha dan kedua pria dewasa di samping wanita itu. Mengabaikan panggilan Ganesh yang terdengar menyebalkan. "Kebetulan, gue mau makan di sini juga," katanya pada Tisha.

"Bareng aja, yuk! Sekalian bahas desain gaun," ajak Tisha.

Tara tersenyum menyapa Dewa dan Vian bergantian. Mereka akhirnya duduk di meja yang sama. Setelah memesan makanan, obrolan mengenai gaun pengantin yang mengalami revisian dari buku yang minggu lalu mereka lihat mulai mengalir. Sesekali, Dewa—calon suami Tisha sekaligus guru yang mengajar di Adipura—menyahut untuk memberi pendapat, dan Vian yang sesekali menimpali saat ditanya. Ya, untung saja, Tara selalu membawa iPad-nya ke mana pun, berjaga-jaga seperti saat ini, meskipun niat me time-nya harus gagal itu lebih baik ketimbang duduk bersama Ganesh membahas perasaan pria itu.

Setidaknya, sampai makanan tersaji dan pembicaraan berubah ke arah yang lebih santai, seperti saat Dewa dan Vian yang mulai membahas kemacetan ibu kota dan penyakit perut yang mulai sering terjadi. Nampaknya, kedua pria itu asyik bertukar pikiran, membuat Tisha menyikut lengan Tara yang menikmati baked salmon mentai rice-nya.

"Hm?" Tara menoleh.

"Yang tadi itu, yang dimaksud Karina pas Skype? Cowok yang ngejar-ngejar lo?" bisiknya.

"Gitu, deh."

"Dia ngelihatin ke sini mulu." Tisha menunjuk Ganesh dengan tatapan matanya.

"Cuekin aja."

"Dapet dari mana cowok modelan begitu?"

"Setelah dua tahun tinggal di Paris, lo lebih tertarik sama gue yang dapetin cowok kayak begitu?" tanya Tara yang langsung membuat Tisha terkekeh.

"Secara cover dia udah oke, Tar. Di atas rata-ratalah. Tapi ngelihat lo yang gak nyaman pas sama dia, gue jadi setuju kalau lo nunggu Raka putus aja," ujar Tisha dengan senyum lebar.

Tara mendelik tajam. "Kenapa jadi Raka?"

Tisha mengangkat bahu tak acuh. "Feeling gue, lo bakal married sama dia."

"Dasar dukun," cibir Tara.

"Dari lubuk hati yang paling dalam, lo harus jujur sama diri sendiri tentang perasaan lo," katanya.

Tara menggeleng samar. Ia menandaskan iced mango tea-nya setelah spicy sauce di piringnya dihabiskan.

Kemudian, saat Dewa mengikutsertakan namanya dalam perbincangan, Tara jadi kikuk sendiri melihat respon Vian. Katanya, "Tara ini salah satu murid saya dulu yang potensial untuk dijadikan calon istri masa kini."

Apa-apaan itu?! Kenapa dari macet dan kasus makanan tidak sehat jadi merembet ke situ?

"Ya kan, Sha?" katanya meminta persetujuan Tisha.

"Iya, dong. Tara ini udah siap lahir batin, Mas. Dari cara kerjanya udah oke banget, masak bisa, beresin rumah bisa, ngurus anak bisa, sifatnya juga keibuan banget," jelas Tisha seolah mempromosikan barang dagangannya.

Tara tersenyum tipis, lebih mirip ringisan karena terlihat tidak tulus. Ia balas menatap Vian yang kini mengangangguk paham. Sementara Tisha dan calon suaminya tersenyum lebar.

Apa segitu gak lakunya gue sampai dipromosikan segala?

"Hebat. Di usia yang masih muda, bisa melakukan semuanya dengan baik," tanggap Vian.

Mudah katanya. Ia tidak tahu saja kebiasaan buruk Tara yang sering menunda makan, membiarkan bahan makanan menumpuk di kulkas saking tidak sempatnya memasak setelah sampai di apartemen, dan menggerutu di belakang saat Sarah mulai mengomel ke sana-ke mari.

"Namanya juga hidup sendiri, ya dijalani aja, Mas," sahut Tara pada akhirnya.

Dewa menatap Vian dengan pandangan; "See? Apa gue bilang, dia ini cocok banget sama lo."

Yang tentu mendapat senyuman dari sang empunya.

Apa Tara boleh menyimpulkan kalau senyuman Vian menandakan pria itu tertarik padanya?

🍩


sedikittt, gak sampai 1k words tapi gak pa-pa yang penting update kan???

maz dokter ini setipe banget sama Tara, pembawaannya adem dan dewasa, gak kayak yang satu ituuu qkqkqk.

Kalau ini rame aku mau double update hwhw...


—salam donat💜
06/12/21

TARAKA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang