empat puluh tiga : Bimbang

952 120 8
                                    

Seharusnya Tara menikmati waktu liburnya dengan senang. Melupakan pertengkarannya dengan Raka dan menenangkan pikiran di sini karena terbebas dari omelan Sarah yang memekik telinga.

Sayangnya, seminggu ini Tara banyak diam. Ia hanya mengamati keseharian ayahnya yang kembali bekerja setelah kondisinya lebih baik. Melihat perkebunan kopi pada sore hari ditemani Ahza. Ia bahkan menolak ajakan Rendra untuk berjalan-jalan. Tara masih merasa harus waspada takut-takut Ganesh tiba-tiba muncul di hadapannya lagi.

Belum lagi gurat sedih ayahnya tak dapat dielak meskipun sudah tersenyum lebar. Melihat itu, ada rasa bersalah yang bersarang di hatinya karena belum bisa menuruti keinginan sang ayah.

"Kayaknya papa mau pensiun dini aja, Tar. Papa udah gak kuat. Mungkin hari Senin nanti papa urus ke kantor," tutur Farhan.

Tara tidak melarang ataupun menyetujuinya. Semua keputusan ada di tangan Farhan dan Tara akan selalu mendukung asal itu baik untuk kesehatan papanya.

Tara juga membiarkan ayahnya bercerita tentang Raka—orang yang selama berhari-hari ini menjadi topik obrolan mereka di meja makan. Bukan hanya membantu perkebunan ayahnya, pria itu juga menemani ayahnya bermain catur tiap kali ke Makassar. Menemani Ahza bermain lego, membantu pekerja kebun menanam kopi dengan benar. Entah bagaimana bisa pria itu begitu terlihat sempurna di mata ayahnya.

Dan ketika sang ayah mengatakan, "Ini rahasia kita berdua. Raka nggak mau kamu tahu dia sering ke sini jengukin papa." Tara merasa ada yang pria itu sembunyikan darinya.

Ia mulai berperang dengan pikirannya ketika Farhan menyuruhnya mempertimbangkan Raka di setiap obrolan mereka berakhir. Seperti; "Kalian udah sama-sama dewasa, tolong pertimbangkan Raka, Tar."

"Udah nelepon Raka? Kamu nggak mau ngobrolin tentang kalian dulu?"

"Dia dari keluarga yang terpandang, masa depan akan terlihat jelas kalau sama dia."

"Sejak dulu papa suka sama Raka."

"Papa baru bisa tenang kalau udah lihat Tara bahagia sama orang yang tepat. Yang sayang dan bisa menjaga Tara."

"Papa ngomong apa sih? Tara bisa jaga diri sendiri kok," ucap Tara ketika ia mulai merasa tersudutkan.

"Kamu terlalu lama menyimpan semuanya sendiri," gumam Farhan.

Semua itu terngiang di telinganya. Tara tidak tahu maksud dari perkataan Farhan. Apakah semua ini karena hutang Budi setelah Raka membantu usaha ayahnya? Atau memang Farhan percaya Raka adalah yang terbaik untuknya?

"Kalau kamu terima tawaranku beberapa tahun lalu, kamu nggak akan bingung kayak gini, Tar," ujar Rendra melihat Tara selama beberapa hari ini lebih pendiam dari biasanya. Ia tahu apa yang sedang wanita itu pikirkan. 

"Saat itu, yang aku mau bukan pernikahan, Ren. Lagi pula aku udah menganggap kamu kayak kakakku," ucap Tara.

Rendra mengamati Tara yang mulai melepas sabuk pengamannya, mengambil tasnya di jok belakang lalu membuka pintu. Terlihat tidak membutuhkan bantuan sama sekali meskipun barang-barangnya cukup banyak.

"Tar, kalau kamu berubah pikiran, kamu bisa menghubungiku."

Tara tersenyum membalas ucapan Rendra. "Makasih atas tumpangannya, Ren."

🍩

Entah sudah keberapa kalinya Tara menghela napas kasar. Mencoba tidak terlalu memikirkan ucapan ayahnya namun, ia tidak bisa.

"Kenapa, sih?" tanya Dio melirik ke samping. Sejak ia menjemput Tara di bandara, kakaknya itu terlihat murung, bahkan lebih buruk dibanding seminggu lalu mereka bertemu di Makassar.

TARAKA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang