enam puluh : Batas Sabar

836 133 5
                                    

Waktu tiga bulan terasa lebih cepat mereka lewati. Tara menutup telinga dengan beberapa sindiran yang ia dengar tentang hubungannya dengan Raka. Edo mulai menatapnya tak suka secara terang-terangan, dan Tara tidak memedulikan itu. Ia memutuskan untuk terus percaya pada Raka dan melibatkan pria itu dalam setiap hal yang terjadi.

Semua persiapan pernikahan pun sudah mencapai delapan puluh lima persen. Kiera dan Eva mengurus acara anak-anak mereka dengan totalitas. Meskipun garden party tidak dilaksanakan tapi mereka mengusahakan semua sesuai keinginan Tara.

Beberapa bulan terakhir ini pun Tara lebih sering menghubungi Farhan, bertanya mengenai kesehatan sang ayah, kegiatan yang dilakukannya setelah pensiun, juga hal-hal kecil yang membuat ayahnya merasa lebih baik. Tara berusaha untuk membuat Farhan merasa lebih tenang dan tidak mengkhawatirkan pernikahannya. Karena Tara tidak mau Farhan merasa cemas berlebihan dan hal itu akan berdampak pada kesehatannya.

Beberapa kali Tara ke Bogor sendirian untuk melihat langsung semua proses yang hampir selesai itu karena Raka tidak bisa ikut hadir. Pria itu sering keluar kota karena proyek yang dikerjakannya. Ia mengejar semuanya demi mendapat jatah cuti setelah mereka menikah.

Kabar pernikahan Tara dan Raka yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat pun telah menyebar ke seluruh karyawan di butik. Semua berkat Raka yang tidak sengaja bertemu Sandra di parkiran tiga hari lalu.

Pria itu tersenyum ramah pada Sandra meskipun sudah tahu sikapnya yang kurang baik pada Tara beberapa waktu lalu. Awalnya Sandra menyapanya, dan dengan sok akrabnya Raka bertanya mengenai Tara pada wanita itu. "Tara masih lama nggak ya, San?"

Sandra mengerjap. "Hm... kurang tahu, sih. Kita jarang ngobrol, beda ruangan."

"Oh, gitu..." Raka mengangguk. "Jadi... Tara pasti belum bilang, ya?" Ia menatap Sandra yang kini mengernyit bingung. "Gue sama Tara mau menikah. Undangannya nyusul, ya. Gue minta doa yang baik-baik aja semoga acaranya lancar. Kasih tahu teman lo yang lain juga, biar ikutan ngasih doa yang baik."

Sandra tampak terkejut. Ia belum menjawab saat Tara datang menghampiri mereka.

"Udah lama? Kok nggak telepon?" tanya Tara.

Raka merangkul bahu Tara dengan mesra, mengecup pelipis wanita itu. "Duluan, Sandra," katanya seraya membuka pintu penumpang untuk Tara.

Dan besoknya, semua teman-teman kantornya mulai menanyakan hal itu. Tatapan tak suka terlihat jelas dari beberapa orang penghuni ruangan di sana. Tara mengabaikannya, memusatkan perhatiannya pada seluruh pekerjaannya karena besok hari terakhir ia bekerja.

"Masih kerja aja lo, Tar. Padahal udah mau jadi istri orang kaya," ujar Edo saat mereka makan siang di pantri.

"Biar kalau mau liburan ke Eropa langsung berangkat gak usah repot nadahin tangan ke suami," ketusnya.

Tawa yang lainnya meledak. Jawaban Tara benar-benar membuat mereka merasa puas karena kini raut Edo tampak sebal.

"Tapi orang tua lo kan tajir melintir," ujar Dewi.

"Orang tua Raka."

"Kan sekarang orang tua lo juga kali," imbuh Sandra. "Lagian Raka pasti bisalah biayain liburan lo sebulan di Eropa. Dianya juga pengusaha kok. Loyal gitu sama lo."

"Kelihatan cinta banget, ya?" sahut yang lain.

Tara tersenyum pada mereka. Meja panjang itu terisi penuh, semua karyawan hadir di sana dan menyaksikan senyum Tara yang kelewat tipis. "Raka emang kelihatan cinta banget, ya?" Ia terkekeh. "He treat me like a queen."

Edo mendengkus. "Lo tahu nggak kabarnya Rissa sekarang? Kayaknya dia masih sakit hati banget, tuh."

Ah, itu lagi. Edo menyalakan api diobrolan mereka.

TARAKA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang