tiga puluh sembilan : Cuti

990 114 8
                                    

Tara menolak di bawa ke rumah sakit. Maka, Raka membawanya ke unit wanita itu. Beruntungnya lift sedang sepi saat ia dan Tara memasukinya. Sepanjang jalan tadi wanita itu masih enggan bicara.

Ia menekan beberapa digit angka untuk membuka pintu unit apatermen milik Tara, lalu membuka pintu di depannya. Langkahnya langsung menuju kamar, membaringkan Tara di atas tempat tidur wanita itu. Ia keluar dari kamar, kemudian kembali dengan air es di dalam wadah kecil yang dibawanya dari dapur.

Rahang pria itu mengeras melihat bekas biru di pipi halus Tara dan darah di sudut bibirnya. Raka menyentuhnya dengan handuk kecil yang sudah dingin karena air es, lalu membuka laci nakas bagian paling bawah, menemuka kotak obat di sana. Raka mengoleskan obat pada sudut bibir Tara.

Wanita itu meringis.

"Ada lagi yang luka?"

Tara menggeleng.

Ia merapikan obat itu dan memasukannya kembali ke dalam laci. "Gue akan pastikan si anak setan itu nggak akan berani lagi munculin muka sampahnya di depan lo lagi."

"Makasih." Tara menunduk. Ia malu.

"Lo tahu Tar, lo selalu punya gue dalam keadaan apapun." Raka menghela napas kasar. "Maaf karena nggak datang lebih cepat."

Tara membalikkan tubuhnya memunggungi Raka, memeluk dirinya sendirinya sambil terisak.

"Tar, hei... " Raka menyentuh lengan wanita itu. "Gue salah ngomong?"

"Gue kotor... gue kotor Raka. Bajingan itu udah nyentuh gue...," ucapnya dengan bahu bergetar.

"Hei, nggak ada yang menganggap lo kotor. Itu semua murni kecelakaan. Lo nggak menginginkan itu terjadi." Raka mengusap bahu itu menenangkan.

"Dia brengsek... dia—"

"Sssttt... udah, udah. Jangan sebut nama dia." Raka membaringkan tubuhnya di belakang Tara, menenangkan wanita itu. "Lo aman sekarang."

Raka diam-diam menyumpahi Ganesh dan tingkah bejad pria itu. Kalau saja ia tidak menuruti maminya untuk melihat keadaan Tara, ia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada Tara.

Jarinya mengepal, menahan amarah yang begitu dalam hingga buku-buku jarinya memutih. Ia harus melakukan sesuatu.

🍩

Paginya Tara mendapati dirinya bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah menangis menyesali kebodohannya yang tidak bisa melawan Ganesh, ia ketiduran dipelukan Raka.

Ah, pria itu sepertinya pulang setelah memastikan Tara baik-baik saja. Ia meraih ponselnya di atas nakas, ada beberapa pesan dari Vian semalam bertanya keadaannya.

Mas Vian : Tar kamu sudah sampai rumah?

Mas Vian : Saya melewati Serafin, tapi lampunya sudah padam. Kamu sudah pulang kan?

Tara Givanka : Sudah, Mas. Semalam saya langsung istirahat.

Mas Vian : Syukurlah. Jalanan di sana selalu sepi kalau sudah malam. Saya berniat mau antar kamu pulang dulu semalam.

Tara tidak membalas pesan itu. Ia harus membersihkan tubuhnya dan mencuci kemeja Raka yang masih ia pakai sejak semalam.

Di pantri sudah ada semangkuk sup ayam beserta nasi yang masih hangat dan notes kecil di sisinya saat Tara keluar dari kamar dengan keadaan yang sudah lebih segar.

Kalau ia bangun lebih pagi hari ini, apa kabar Raka yang sudah masak? Bangun jam berapa pria itu?

Tara mengetikan pesan pada Silvia mengenai pekerjaan yang sudah ia tinggalkan. Data dan desainnya sudah dia print out dan diselipkan di tiap bahan yang sudah dijahit.

TARAKA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang