empat belas : Usia seperempat abad

1.2K 134 6
                                    

"Nggak aneh, sih. Modelan Tisha dari zaman sekolah udah lumayan tenar di tiap angkatan. Pas tahu dia deket sama pak Dewa aja semuanya heboh. Wajar bikin banyak undangan. Kalah gue juga cucu yang punya sekolahan," gumam Raka sembari memutar gelas miliknya.

"Ya gimana, dong, lo tenar juga gara-gara berantem sama Tian!" seru Tara dengan kesal.

Raka tergelak. "Iya, ya... rebutin cewek ranking satu pararel, tapi gak ada yang dapet. Abis itu lo tiba-tiba pindah, heboh deh satu sekolah."

Ia menggeleng samar sembari memerhatikan tawa Raka yang perlahan surut, kemudian balas menatapnya. Tara tidak akan lupa hari itu. Hari di mana semua terjadi begitu cepat dan keputusan impulsifnya mengubah rencana masa depannya.

"Kangen Adipura gak, Tar?" tanyanya.

Tara mengedikan bahu tak acuh. "Nggak, tuh."

"Isinya kan gak cuma hal memalukan doang. Ada indahnya juga pas sama gue," ucap Raka percaya diri.

"Ya adaaa," ada sakit hatinya juga. "tapi biasa aja. Emang lo kangen?"

"Kangen." Raka menyeruput kopinya. "Kangen orang-orangnya. Sayang banget gak sampai lulus kita satu almamater. Gak punya kenang-kenangan."

Tara tersenyum kecil mendengar penuturan mellow pria itu. Tidak terlalu penting sebenarnya. Toh, setiap hari mereka bertemu.

"Kita kayaknya gak punya foto bareng deh setelah putus, Tar," ujarnya sembari merogoh saku celana bahannya mencari ponsel. "Gak ada kan?" Raka menggulir galeri ponselnya dan tak menemukan satu pun.

"Oh, ya?" Tara ikut melihat layar ponsel Raka. "Kayaknya tiap opening Taraka's Bakery kita selalu foto, deh."

Jemarinya berhenti menggulir ponsel, lalu menatap Tara. "Di kamera Nando?"

"Kayaknya iya."

"Harus kita cetak, kita pajang di Taraka's Bakery, Tar!"

Tara beranjak dari pantri tanpa menyahuti, ia kembali ke kamar untuk mencari ponselnya. Makin malam isi otak pria itu seperti sisa separuh akibat terbagi dua antara pekerjaan di kantor dan kedai rotinya. Untuk apa juga dicetak dan dipamerkan ke seluruh pengunjung kedai? Ia tidak punya campur tangan apapun—kecuali nama mereka yang sengaja Raka pakai untuk nama kedainya. Selebihnya? Tara hanya menjadi pelangganan tetap di kedai roti milik mantannya itu. Kadang ia akan datang jika Raka mengundangnya di acara grand opening cabang Taraka's Bakery seperti bulan lalu.

Tak lama Tara kembali, ia duduk di sofa dengan posisi membelakangi Raka. Ia sibuk mengetikan sesuatu di ponsel. Pria itu yakin, pasti ada urusan pekerjaan. Entah Sarah atau Tisha? Ia juga tak ambil pusing.

Lima menit berlalu. Merasa diabaikan, Raka berdecak dan ikut bergabung di sofa bersamanya. "Tar!"

"Hm?"

Melihat respon Tara yang masih bergeming membuat Raka melihat layar ponsel wanita itu. "Siapa, sih?"

"Dih, kepo lo." Tara menjauhkan ponselnya dari jangkauan Raka.

"Gue dicuekin."

Kini mereka duduk berhadapan.

"Lo gak penting, sih," katanya. "Sana pulang, udah malem. Gue mau tidur."

"Beneran tidur?"

"Menurut lo?"

"Nyari jodoh di Tinder?"

Tara melempar bantal tepat ke wajah Raka.

Suara tawa pria itu makin membuat Tara kesal. "Gue gak semenyedihkan itu, ya!"

TARAKA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang