empat puluh delapan : Penolakan

995 120 8
                                    

Sepulang dari acara pertunangan Karina dan Nando semalam, Tara menemui ibunya pagi ini di meja makan. Dengan berbekal izin dari Sarah karena ia akan datang terlambat di Senin pagi ini, Tara memberanikan diri menceritakan masalahnya dengan Raka dan persoalan ayahnya. Beruntungnya, Dio sudah lebih dulu pulang ke Bekasi malam tadi setelah pulang dari acara Karina, dan Arsen pun pagi-pagi sekali sudah berangkat ke kantor. Hanya mereka berdua di ruang makan dan itu membuat Tara lebih merasa lega.

Meskipun Tara tidak pernah menceritakan masalahnya, kegelisahan wanita itu, dan kehidupan pribadinya, namun, Eva tahu ada yang tidak beres dengan anak sulungnya itu. Farhan berkali-kali menghubunginya, ia meminta Eva untuk membujuk Tara agar segera menikah. Namun, ia tidak melakukannya. Eva ingin Tara memutuskan hidupnya sendiri. Ia tidak mau menekan anak-anaknya seperti dulu dan membuat hubungan mereka jauh seperti saat ini.

Maka, yang ia lakukan setelah Tara menjelaskan semuanya, Eva memeluknya. "Adek nggak perlu mengorbankan apapun lagi. Semua keputusan ada di tangan kamu," gumamnya.

Tara tidak tahu mana yang harus ia pilih. Semalam ia tidak bisa tidur dan terus memikirkan keputusan besar ini.

"Ibu mendukung apapun keputusan kamu. Raka udah jujur tentang perasaannya, alasannya selama ini, dan itu nggak bisa mengubah masa lalu. Tapi, kalau kamu mau memberi kesempatan untuk Raka, untuk diri kamu kembali percaya sama dia, itu gak pa-pa. Nggak semua orang berhenti di kesempatan pertama. Tapi, kalau kamu merasa kemarin udah cukup, dan kamu mau egois untuk kali ini aja, its okay. Setiap orang punya batas sabar yang berbeda." Eva meyakinkan Tara bahwa apapun keputusannya nanti, itu tidak akan membuat wanita itu menyesal.

"Papa gimana?"

"Papa mau kamu menikah secepatnya, beliau mau melihat kamu bersama orang yang mencintai kamu dengan tulus, yang bisa menjaga kamu menggantikan papa. Tapi, terlepas dari itu semua, kamu juga harus bahagia. Papa akan sangat merasa sedih kalau ternyata kamu nggak bahagia karena keputusan spontan itu."

Tara memandang jemarinya yang digenggam hangat oleh sang ibu. Tangan yang sudah lama tak ia genggam karena terlalu sibuk dengan isi kepalanya sendiri. "Tara butuh waktu."

"Ya. Kamu butuh waktu untuk bisa menentukan pilihan yang tepat." Eva tersenyum, tangannya meraih wajah Tara. "Pernikahan yang berhasil tergantung tiap individu yang menjalankannya."

Eva benar. Tara tidak bisa mengklaim semua pernikahan akan berujung dengan perceraian. Terbukti semalam melihat Kanaya dan Frans, orang tua Karina yang harmonis, juga pernikahan ibunya dengan Arsen saat ini.

Pikirannya tidak berhenti sampai di situ. Bahkan saat taksi yang ditumpanginya berhenti di Serafin Beauty, jam di dinding berputar hingga waktu makan siang, dan rekan-rekan kerjanya mulai sibuk membereskan barang-barang mereka karena jam pulang sudah tiba, Tara masih memikirkannya.

"Tar? Belum pulang?" tanya Sarah di pintu ruangannya. Kehamilan wanita itu semakin terlihat dengan dress selutut yang Sarah kenakan.

"Iya, Mbak. Masih ada kerjaan," jawabnya kikuk.

Sarah menghampirinya. "Abis liburan kok malah tambah kusut muka lo?"

Tara terkekeh. "Ya, gue ngambil cuti niatnya healing, tapi malah makin pusing."

"Kadang, 'hidup perlu dijalani aja' itu bullshit," ujar Sarah. "Entah udah berapa lama waktu yang terbuang sia-sia karena kata 'jalani aja'. Nyatanya, ketika sadar, kita yang kebingungan bagaimana putar arahnya."

Tara tidak menyahut, namun, ucapan Sarah tentu memilki arti untuknya.

"Dulu, gue juga merasa hidup gue udah cukup banget, gue cuma perlu menikmati hasil dari kerja keras gue selama ini. Tapi ternyata gue salah, waktu yang gue nikmati itu ternyata berdampak buruk," katanya sembari tersenyum kecil. "Gue kehilangan semua teman-teman gue, keluarga gue, orang-orang yang gue sayang. Hanya karena keegoisan gue dulu."

Tara tahu betapa beratnya Sarah melalui semuanya sendirian. Di saat ia berhasil dengan gelar S2 nya sebagai designer, hasil kerja kerasnya memuaskan semua orang, terlena dengan semua nikmat yang diberikan-Nya karena 'menikmati waktu sendirian'.

"Saat itu yang gue sesalkan adalah nggak sempat ngelihat nyokap untuk terakhir kalinya. Beliau nggak pernah lagi ngehubungin semenjak gue pindah ke Paris. Dan saat gue pulang, yang gue temukan hanya bendera kuning dan orang berlalu lalang di depan rumah."

Tara bangkit dari kursinya dan memeluk Sarah. "Gue tahu masa-masa itu sangat berat buat lo, mbak."

Sarah tersenyum tipis, ia balas memeluk. "Saran gue, lo nikmatin masa-masa sekarang, tapi nggak lupa dengan kewajiban lo yang lain. Karena kebebasan itu nggak pernah benar-benar bebas, Tar."

Ya. Sarah benar. Tidak ada kebebasan yang benar-benar bebas sekalipun semua hal sudah bisa didapatkan. Karena di belakang sana ada tanggung jawab yang harus ia terima.

"Gue dengar om Farhan kemarin teleponan sama bokap. Cukup lama. Gue nggak memaksa lo untuk ini-itu, tapi gue harap lo nggak akan menyesal dengan keputusannya nanti."

Ketika Karina memintanya untuk memikirkan semuanya dengan kepala dingin, ibunya menyuruhnya untuk mengikuti kata hati dan memastikan bahwa apapun pilihannya nanti tidak akan membuatnya menyesal, sementara Sarah menyarankannya untuk menikmati semua hal yang dimilikinya saat ini tanpa melupakan tanggung jawabnya sebagai anak sebelum waktu terlambat.

🍩

Tara kembali menghela napas, menatap lampu jalanan yang mulai terang karena langit sudah gelap. Vian di sebelahnya mengerti suasana hati wanita di sampingnya, maka ia memilih diam. Mereka berencana makan malam di All Is Ten seperti janji Vian dulu sebelum ia mengajukan cuti.

Mereka memasuki ruangan VIP, sudah ada pesanan yang terhidang karena Vian sengaja tidak mau mereka menunggu lama.

"Maaf, Mas."

Vian menatap Tara dengan dahi mengernyit. "Kenapa?"

"Saya tahu kalau maksud dari semua perlakuan mas Vian selama ini mau mengenal saya lebih dekat lagi. Tapi saya nggak bisa melanjutkannya."

Ucapan Tara membuat Vian bingung. Sebelumnya mereka masih baik-baik saja. Di bandara terakhir kali mereka bertemu pun Tara masih menggenggam tangannya. Tapi... kenapa? "Saya minta maaf kalau sebelumnya acara kita batal beberapa kali. Malam itu, kamu beneran langsung pulang?" tanya Vian.

Tara berusaha menutupi perubahan raut wajahnya. "Ya. Saya langsung pulang. Nggak masalah dengan malam itu. Saya maklum karena Mas Vian juga sibuk, pekerjaan itu nomor satu," tegas Tara. "Tapi keputusan saya nggak ada hubungannya dengan malam itu."

"Kenapa? Bisa beri saya alasannya?"

"Karena saya belum selesai dengan masa lalu," jawab Tara. "Saya nggak mau memberikan harapan kepada mas Vian di saat saya masih bingung dengan perasaan saya sendiri."

"Saya bisa menunggu."

"Nggak, Mas. Nggak seharusnya Mas Vian menunggu itu. Karena saya pun nggak tahu apa langkah yang akan saya ambil nantinya."

"Gitu, ya?" Vian tersenyum tipis. "Oke, deh. Kita masih bisa berteman 'kan?"

Tara mengangguk.

"Makan dulu, Tar. Nanti saya antar pulang," titah Vian sembari menyantap makan malamnya yang rasanya sudah tidak karuan karena penolakan barusan.

Vian pikir, semua akan berjalan dengan semestinya. Perasaannya pada Tara terbalaskan, hubungan mereka kian dekat, bahkan Vian berencana untuk mengajak wanita itu masuk ke jenjang yang lebih serius. Namun, siapa yang sangka bahwa Tara masih terjebak dalam masa lalunya, yang Vian sendiri tidak tahu bagaimana harus menerobosnya karena Tara sudah memberinya sekat.

🍩

H

aloo, maaf ya mas Vian harus datang dan gagal :)

Jangan lupa vote + komen yang banyak ya!

—Salam donat💜
29/12/22

TARAKA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang