enam puluh satu : Maaf

821 121 1
                                    

Raka membuka pintu mobil untuk Tara, lalu mengecup pelipis wanita itu sebelum Tara keluar dari mobil.

"Ka!" Tara melotot.

Pria itu memamerkan giginya. "Kan mau official."

"Malu dilihat orang," dengkusnya.

"Malu apaan? Cuma cium dikit, nggak yang vulgar," Raka menahan Tara saat wanita itu akan memasuki butik. "Nanti sore jemput Sabrina sendiri gak pa-pa?"

"Lembur lagi?"

"Iya. Ga pa-pa 'kan?"

Tara mengangguk. "Nanti gue pesan Go-Car."

"Okay. I love you."

"Iyaa."

"Jawab dulu. Yang serius."

"Azraka, ini tempat umum," bisik Tara.

Raka melihat sekitar. Waktu makan siang sudah berakhir, ada beberapa orang yang memasuki butik. "Makanya jawab dulu."

"I love you."

Jarinya terkepal kuat di kedua sisi tubuhnya. Raka menahan dirinya untuk tidak memeluk Tara saat ini juga. Wajah Tara memerah, entah karena panas matahari atau malu mengatakannya. Namun, ekspresinya sekarang benar-benar membuat Raka gemas.

Tara mendorong bahu Rak menjauh. "Sana. Entar dimarahin atasan lo."

"Iya, iyaa. Saltingnya jelek banget," ejek Raka.

Tara tidak meresponnya. Ia menunggu Raka memasuki mobilnya dan keluar dari parkiran Serafin Beauty. Bertepatan dengan Sarah yang keluar dari mobil suaminya. Aksel membukakan pintu untuk Sarah, membantu wanita itu keluar dari sana.

"Tar," panggil Aksel. "Bisa tolong bantuin Sarah masuk? Gue buru-buru."

Tara menghampiri mereka. "Pelan-pelan aja, Mbak."

Sarah menepis tangan Aksel lalu berjalan dengan bantuan Tara tanpa melihat kembali pada suaminya. Sepertinya suasana hati bosnya sedang tidak baik-baik saja setelah makan siang.

Saat mereka tiba di lantai dua, para karyawan lain masih terdengar ramai di pantri. Diam-diam Tara menghela napas lega karena tidak ada yang mengintipnya dari sini saat keluar dari mobil Raka tadi. 

"Gimana interviewnya, Mbak? Lancar?" Tara membantu Sarah berjalan ke ruangannya. Wanita yang sedang hamil tua itu baru saja bertemu beberapa kandidat yang akan menggantikan Tara di restoran yang tak jauh dari butik.

"Ada tiga orang. Gue cuma sreg sama satu orang. Dia berpengalaman di bidang yang sama, cukup pintar jawab pertanyaan dan kreatif." Sarah duduk di kursinya, terlihat tak nyaman meskipun sudah menyandarkan punggungnya di sana. "Tapi dia mantannya Aksel."

Tara tahu kegundahan itu. Sarah mungkin merasa keberadaan wanita itu mengancam posisinya. Atau paling sedikitnya membuatnya tak nyaman selama mereka berada di dalam satu ruang yang sama. Mungkin itu juga yang dirasakan Rissa saat tahu Raka masih berhubungan dekat dengan mantan pacarnya.

"Aksel tahu mantannya ngajuin CV ke sini?"

Wajah Sarah berubah masam. "Justru dia yang nyuruh mantannya ngirim CV ke sini!"

Tara mengerjap beberapa kali. "Sengaja?"

"Iya!" Sarah mendengkus kesal. "Dia tahu gue lagi nyari designer baru, katanya niatnya mau bantuin gue, tapi kalau kayak gini namanya dia nyari mati gak, sih?!" Napasnya memburu.

"Tenang dulu, mbak, tenang." Tara mengangsurkan segelas air pada Sarah. "Pelan-pelan, Mbak."

Sarah meneguk airnya hingga sisa setengah. "Gue harus gimana, Tar?"

TARAKA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang