dua puluh enam : Perasaan

1.1K 132 23
                                    

Ballroom hotel bintang lima malam ini terasa benar-benar hidup. Para tamu riuh bertepuk tangan saat cincin berlian itu tersemat pada jari manis Seila dengan pas. Budi mendekap tunangannya, kemudian mengecup sisi kepala Seila yang kini berganti warna rambut menjadi cokelat terang. Seisi ballroom kembali ramai dengan sorak-sorai yang lebih lama ketika Seila balas memeluk Budi.

Di pojok ballroom yang sedikit jauh dari keramaian, Tara menikmati pertunjukan dengan segelas mocktail yang sisa sedikit di tangannya. Menatap spotlight dengan senyum bahagia juga. Ia akhirnya memutuskan untuk datang ketika Seila mengirimkan gaun rose gold ke kediamannya di Bogor. Tak lupa juga notes yang terselip di bagian bawah kotak menuliskan nomor Raka sebagai sopirnya.

Dipikir-pikir, mereka minim kontak. Kenal karena beberapa kali bertemu di acara Kiera, atau di lobi apartemen. Undangan dalam bentuk gaun itu terlalu berlebihan menurutnya. Namun, demi menghargai niat baik sang ratu malam ini, Tara akhirnya memutuskan untuk datang.

Kiera menghampirinya dengan menggandeng seorang gadis muda yang sama mengenakan gaun berwarna rose gold ke arah Tara dengan senyum lebar.

Kerabat merekakah?

"Tar! I miss you so bad!" Kiera memeluknya tanpa aba-aba. Beruntung Tara segera menyimpan gelasnya di atas meja dan membalas pelukan wanita itu.

"Miss you too, Mi." Ia balas memeluk.

"Akhirnya kamu datang juga. Mami cari-cari dari tadi nggak ketemu," ucap Kiera. "Kamu beneran dijemput Raka 'kan? Udah ketemu Seila?"

Tara tersenyum mendapat pertanyaan beruntut tersebut. "Iya, Mi. Tadi Raka juga nganter ketemu Seila sama Budi."

Kiera mengusap bahu Tara yang tidak tertutupi kain. "Maaf ya kamu jadi sendirian gini."

"Nggak pa-pa, kok, Mi. Tara enjoy." Tatapan Tara kembali pada gadis belia yang dibawa Kiera.

"Ah, iya, kenalin, ini Luna. Anak koasnya om Bian, Luna juga anaknya temen mami pas zaman sekolah dulu. Temennya om Petra juga. Mereka baru pulang dari Prancis tahun lalu, kalau Luna ini udah beberapa tahun lebih dulu pindah karena kuliah di IPB." Kiera merangkul bahu Luna dengan hangat, kontras dengan ucapannya di telepon dengan Raka minggu lalu.

Tara mengangguk. Tidak tahu maksud Kiera menjelaskan hal tersebut padanya, namun ia tetap tersenyum ramah. "Hai! Tara," ia menyodorkan tangannya pada gadis bernama Luna itu.

"Halo. Luna," sapanya dengan senyum tipis.

"Tara ini tetangganya Raka di Jakarta, mereka kenal sejak SMA, kenal sama keluarga tante yang lain juga, Lun. Tara udah tante anggap anak sendiri karena anaknya baik banget. Kalau nggak ada Tara, Raka bakal jadi ampas kopi di Taraka's Bakery," jelasnya.

Luna tertawa mendengar penuturan Kiera.

Tara menggeleng samar. "Nggak mungkin, Mi."

"Oh, iya, Tar, menurut kamu, Luna cocok nggak sama Raka?" tanya Kiera.

Bukan hanya Tara yang terkejut, namun Luna juga. "Tante..." Ia menatap Tara dengan malu.

"Azraka Tasena, Mi?"

Pertanyaan itu sontak membuat Kiera tertawa. "Iya, dong, sayang. Gimana?"

Bibirnya terkatup rapat, sementara tatapannya tertuju pada ujung heels yang dipakainya. Merasa aneh dengan perasaan yang tiba-tiba datang dibenaknya.

"Tar? Mau balik sekarang?" Pertanyaan itu sontak mengalihkan atensi ketiga wanita itu pada pria berjas putih di sana.

"Buru-buru banget, sih, Luna aja baru datang, lho!" ujar Kiera. "Kamu ajak Luna dulu ketemu keluarga yang lain sana, Tara sama mami."

TARAKA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang