empat puluh tujuh : Luapan

982 123 9
                                    

"Gue nggak menerima lamaran itu," ucap Tara.

"Maksudnya?"

"Rendra emang melamar gue, tapi gue nggak menerimanya," tegasnya. "Lo nggak mendengar semuanya. Lo menyimpulkan semuanya sendirian dan marah gitu aja tanpa tanya ke gue."

"Gue keburu emosi saat itu," bela Raka.

"Kenapa, sih? Kenapa lo nggak bilang kalau lo ke Makassar? Kenapa lo nggak jujur sama gue sejak awal?" tanya Tara. "Lo menyimpulkan semuanya sendirian tanpa mikirin perasaan gue juga."

"Lo pikir gue harus jujur setelah tahu apa yang lo sembunyiin dari gue?" Raka bertanya balik. "Lo nggak pernah bilang om Farhan sakit parah, lo nggak pernah jujur tentang perasaan lo, tentang masalah lo. Apa gue masih harus bilang alasan gue ke sana?

"Gue merasa nggak penting di hidup lo, Tar. Ego gue terluka ngelihat lo lebih nyaman cerita tentang perasaan lo ke orang lain. Gue bahkan kayak orang tolol di sana, tiba-tiba datang nggak tahu situasi keluarga lo yang lagi kacau. Apa gue masih harus ngelanjutin rencana gue setelah tahu kalau selama ini gue nggak tahu apa-apa tentang hidup lo? Gue cuma orang asing yang nggak berhak tahu apa yang lo alami selama ini, Tar."

"Ka, gue nggak bermaksud menyembunyikan kondisi papa sama lo."

"Terus kenapa, Tar? Kenapa bahkan sampai saat ini lo nggak ngasih tahu gue? Gue selalu nunggu buat lo jujur tapi entah kapan gue harus nunggu lagi. Gue mau marah tapi gue siapa? Gue bahkan nggak berhak, Tar!" Raka mengepalkan tangannya berusaha meredakan emosinya.

Tara menghela napas kasar. "Gue nggak mau menambah beban lo. Kalau gue bilang pasti lo akan bantu dan mengabaikan masalah lo sendiri. Bukan karena gue menganggap lo orang asing atau siapapun yang gak berhak tahu." Tara menundukkan kepalanya, menatap heels silver yang terpasang di kakinya. "Terbukti sekarang kan? Lo bantuin papa di belakang gue, lo keluarin uang entah berapa buat perkebunan itu. Lo repot-repot datang ke sana buat papa padahal di sini kerjaan lo banyak. Bahkan lo keteteran membagi waktu antara Taraka's Bakery dan kerjaan kantor. Dan tiba-tiba lo memutuskan untuk mengadopsi Sabrina demi orang lain... bahkan mengabaikan masalah lo sendiri," lirih Tara.

"Errash dan Sesha bukan orang lain." Nada suara Raka berubah dingin. "Mereka keluarga gue. Mereka yang bantu gue untuk bisa bertahan di Dirgantara dan terus lanjut jadi arsitek. Lo tahu Sesha bukan cuma sekadar keluarga buat gue, Tar."

"Sorry. Maksud gue bukan gitu, Ka," sesal Tara. Ia memberanikan diri kembali menatap manik tajam Raka yang menatapnya lurus. "Kalau keputusan gue untuk nggak cerita semua masalah gue ke elo, bikin ego lo tersinggung, sorry."

"Gue mengadopsi Sabrina bukan semata-mata amanah Errash. Semua udah gue pertimbangkan. Menurut lo ini mungkin terkesan nggak punya otak. Gue terlalu sering improvisasi dan gak mikir ke depannya. Tapi untuk Sabrina, gue yakin gue akan mengurusnya," jelas Raka. "Selagi gue mau dan mampu, gue akan selalu bantu orang-orang yang ada di sekitar gue. Gue bantu om Farhan karena gue mau, Tar. Karena gue merasa gue bisa bantu, maka gue melakukannya."

"Tapi lo lebih memilih menyelesaikan masalah orang lain daripada masalah lo sendiri."

"Terus gimana sama lo? Lo simpan semuanya sendirian."

"Gue bisa mengatasinya sendiri."

Raka terkekeh. "Oh, ya?" Bahkan di saat keadaan mereka sama-sama terhimpit pun Tara masih enggan merepotkan orang lain. "Gue udah di sini, Tar. Gue di depan lo. Azraka Tasena, yang akan selalu ada buat lo kapan pun lo butuh."

"Raka, gue bisa-"

"Gue akan sangat senang kalau lo mau membagi masalah lo sama gue."

"Karena lo merasa gue gak mampu?"

TARAKA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang